PASAR modal mulai merangkak lagi sesudah devaluasi. April lalu,
misalnya, dari 159 ribu saham yang dilepas di pasar modal, 130
ribu (82%) dibeli kembali oleh masyarakat.
Maret lalu, tingkat pembelian itu baru mencapai 98 ribu (67%)
dari 145 ribu saham yang dilepas. Menurut J.A. Sereh, dirut PT
Danareksa, peningkatan itu terjadi karena kini "semakin luas
yang percaya menyimpan dalam saham."
Sudah sejak dua tahun ini sesungguhnya, saham dari pelbagai
perusahaan yang go public, punya daya tarik yang lumayan sebagai
instrumen investasi. Itu mulai ketika Pr Merck Indonesia, Multi
Bintang, dan Unilever menjual sebagian saham mereka di tahun
1981. Untuk penjualan 9,2 juta saham Unilever dengan nilai Rp
29,2 milyar, misalnya, terjadi kelebihan permintaan 55%. Bahkan
untuk saham Multi Bintang, produsen Bir Bintang, terjadi
kelebihan permintaan sampai 92%.
Kelebihan permintaan, yang tak bisa dipenuhi itu, hingga kini
masih terjadi. Bahkan untuk obligasi PT Jasa Marga, pengelola
jalan tol, yang menawarkan 200 ribu lembar obligasi dengan nilai
Rp 23 milyar, konon terjadi pula kelebihan permintaan.
Trsedianya dana yag cukup besar di masyarakat, menurut Ida
Bagus Putu Sarga, sekretaris Badan Pelaksana Pasar modal
(Bapepam), memungkinkan itu. "Devaluasi tidak selalu menjadi
faktor yang mempengaruhinya," ujar Sarga. "Sebab para penanam
modal bisa saja menyalurkn kelebihan rupiah mereka ke lembaga
keuangan, perbankan, atau pasar uang."
Tapi kini gejala kelebihan rupiah sesudah devaluasi tampak luar
biasa. Pelbagai bank dan lembaga keuangan nonbank sampai
kewalahan menampung membanjirnya rupiah. Dalam upaya membatasi
mengalirnya dana rupiah yang pulang dari luar, mereka merasa
perlu menurunkan tingkat bunga deposito berjangka. Citibank,
misalnya, mulai awal bulan ini menurunkan bunga deposito satu
bulan dari 17% ke 15%. Untuk yang tiga bulan dari 16,5% ke
14,5%, dan untuk enam bulan dri 16% ke 15%. Seorang pejabat
sebuah bank Amerika di Jakarta memperkirakan, bunga deposito
bakal turun lagi dalam waktu dekat ini, "karena simpanan rupiah
terus saja membanjir," katanya.
Sampai minggu ketiga Maret lalu, posisi deposito berjangka pada
pelbagai bank pemerintah, asing, dan swasta nasional mencapai Rp
2,9 trilyun lebih. Jumlah ini jelas besar sekali dibandingkan
dengan dana masyarakat yang ditanamkan pada saham dan obligasi
yang hanya Rp 152,7 milyar.
Dr. Sudrajad Djiwandono, ahli moneter yang sehari-hari bertugas
di Bappenas, yakin bahwa uang yang berada di tangan masyarakat
cukup besar. Karena itulah dalam ceramah di Universitas
Pancasila Jakarta pekan lalu, dia menganjurkan agar pemerintah
lebih menggalakkan lagi mobilisasi dana itu, antara lain lewat
penjualan obligasi. Di saat dunia usaha kini kekurangan dana,
karena kredit modal kerja mahal. "peranan dana-dana, yang berada
di masyarakat itu cukup besar," katanya.
Persoalannya kini: Banyakkah perusahaan yang bersedia menjual
saham dan obhKasi lewat pasar modal? Sampai pertengahan bulan
ini, menurut catatan pihak Bapepam baru 19 perusahaan yang go
public dengan menjual saham dan obligasi. Jika segalanya lancar,
awal tahun depan jumlah perusahaan yang memasyarakat diharapkan
akan mencapai 30.
Dibandingkan dengan pemilik rupiah yang mendepositokan dangannya
di lembaga keuangan, kata Sereh, pemegang saham sebenarnya lebih
beruntung. Sebab, katanya, saham yang mereka pegang setiap tahun
nilainya rata-rata naik antara 16-17% lebih besar sedikit
daripada bunga deposito. Pemegang saham pun setiap waktu juga
mendapat dividen. Keuntungan yang diberikan pelbagai perusahaan
itu, rata-rata 10% setahun.
Tentu tidak semua perusahaan mampu memetik keuntungan setiap
tahun. PT Good Year Indonesia, yang dikenal sebagai produsen ban
terkemuka, misalnya, tahun lalu hanya memperoleh laba bersih Rp
4.920 juta, sedang tahun 1981 mencapai Rp 5.042 juta. Persaingan
dengan ban eks Jepang, yang sudah banyak digunakan secara
build-up oleh perakit mobil, memang menyebabkan perusahaan itu
agak mundur. Resesi, kata Dirut Good Year, Sjahfiri Alim, juga
menjadi penyebabnya.
Dan penurunan laba Good Year sebesar 2,4% itu, ternyata telah
menyebabkan sejumlah pemilik sahamnya ramai-ramai melepasnya. Di
bulan Maret, misalnya, tercatat 21.650 saham Good Year yang
dilepas di pasar modal. Sampai kapan kecenderungan itu akan
terjadi belum jelas benar. "Direktur Good Year sudah menjanjikan
keuntungan lebih baik nanti bila pasaran ban radialnya, dengan
teknologi mutakhir, mampu merebut pasar," kata Sereh.
Mudah-mudahan. Tapi di zaman resesi ini, bukan mustahil akan
lebih banyak perusahaan yang berkurang untungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini