Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Soal Mengimpor Fulus

Sesudah devaluasi, permintaan akan saham dan obligasi meningkat. juga pelbagai bank dan lembaga keuangan nonbank kebanjiran rupiah. (eb)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASAR modal mulai merangkak lagi sesudah devaluasi. April lalu, misalnya, dari 159 ribu saham yang dilepas di pasar modal, 130 ribu (82%) dibeli kembali oleh masyarakat. Maret lalu, tingkat pembelian itu baru mencapai 98 ribu (67%) dari 145 ribu saham yang dilepas. Menurut J.A. Sereh, dirut PT Danareksa, peningkatan itu terjadi karena kini "semakin luas yang percaya menyimpan dalam saham." Sudah sejak dua tahun ini sesungguhnya, saham dari pelbagai perusahaan yang go public, punya daya tarik yang lumayan sebagai instrumen investasi. Itu mulai ketika Pr Merck Indonesia, Multi Bintang, dan Unilever menjual sebagian saham mereka di tahun 1981. Untuk penjualan 9,2 juta saham Unilever dengan nilai Rp 29,2 milyar, misalnya, terjadi kelebihan permintaan 55%. Bahkan untuk saham Multi Bintang, produsen Bir Bintang, terjadi kelebihan permintaan sampai 92%. Kelebihan permintaan, yang tak bisa dipenuhi itu, hingga kini masih terjadi. Bahkan untuk obligasi PT Jasa Marga, pengelola jalan tol, yang menawarkan 200 ribu lembar obligasi dengan nilai Rp 23 milyar, konon terjadi pula kelebihan permintaan. Trsedianya dana yag cukup besar di masyarakat, menurut Ida Bagus Putu Sarga, sekretaris Badan Pelaksana Pasar modal (Bapepam), memungkinkan itu. "Devaluasi tidak selalu menjadi faktor yang mempengaruhinya," ujar Sarga. "Sebab para penanam modal bisa saja menyalurkn kelebihan rupiah mereka ke lembaga keuangan, perbankan, atau pasar uang." Tapi kini gejala kelebihan rupiah sesudah devaluasi tampak luar biasa. Pelbagai bank dan lembaga keuangan nonbank sampai kewalahan menampung membanjirnya rupiah. Dalam upaya membatasi mengalirnya dana rupiah yang pulang dari luar, mereka merasa perlu menurunkan tingkat bunga deposito berjangka. Citibank, misalnya, mulai awal bulan ini menurunkan bunga deposito satu bulan dari 17% ke 15%. Untuk yang tiga bulan dari 16,5% ke 14,5%, dan untuk enam bulan dri 16% ke 15%. Seorang pejabat sebuah bank Amerika di Jakarta memperkirakan, bunga deposito bakal turun lagi dalam waktu dekat ini, "karena simpanan rupiah terus saja membanjir," katanya. Sampai minggu ketiga Maret lalu, posisi deposito berjangka pada pelbagai bank pemerintah, asing, dan swasta nasional mencapai Rp 2,9 trilyun lebih. Jumlah ini jelas besar sekali dibandingkan dengan dana masyarakat yang ditanamkan pada saham dan obligasi yang hanya Rp 152,7 milyar. Dr. Sudrajad Djiwandono, ahli moneter yang sehari-hari bertugas di Bappenas, yakin bahwa uang yang berada di tangan masyarakat cukup besar. Karena itulah dalam ceramah di Universitas Pancasila Jakarta pekan lalu, dia menganjurkan agar pemerintah lebih menggalakkan lagi mobilisasi dana itu, antara lain lewat penjualan obligasi. Di saat dunia usaha kini kekurangan dana, karena kredit modal kerja mahal. "peranan dana-dana, yang berada di masyarakat itu cukup besar," katanya. Persoalannya kini: Banyakkah perusahaan yang bersedia menjual saham dan obhKasi lewat pasar modal? Sampai pertengahan bulan ini, menurut catatan pihak Bapepam baru 19 perusahaan yang go public dengan menjual saham dan obligasi. Jika segalanya lancar, awal tahun depan jumlah perusahaan yang memasyarakat diharapkan akan mencapai 30. Dibandingkan dengan pemilik rupiah yang mendepositokan dangannya di lembaga keuangan, kata Sereh, pemegang saham sebenarnya lebih beruntung. Sebab, katanya, saham yang mereka pegang setiap tahun nilainya rata-rata naik antara 16-17% lebih besar sedikit daripada bunga deposito. Pemegang saham pun setiap waktu juga mendapat dividen. Keuntungan yang diberikan pelbagai perusahaan itu, rata-rata 10% setahun. Tentu tidak semua perusahaan mampu memetik keuntungan setiap tahun. PT Good Year Indonesia, yang dikenal sebagai produsen ban terkemuka, misalnya, tahun lalu hanya memperoleh laba bersih Rp 4.920 juta, sedang tahun 1981 mencapai Rp 5.042 juta. Persaingan dengan ban eks Jepang, yang sudah banyak digunakan secara build-up oleh perakit mobil, memang menyebabkan perusahaan itu agak mundur. Resesi, kata Dirut Good Year, Sjahfiri Alim, juga menjadi penyebabnya. Dan penurunan laba Good Year sebesar 2,4% itu, ternyata telah menyebabkan sejumlah pemilik sahamnya ramai-ramai melepasnya. Di bulan Maret, misalnya, tercatat 21.650 saham Good Year yang dilepas di pasar modal. Sampai kapan kecenderungan itu akan terjadi belum jelas benar. "Direktur Good Year sudah menjanjikan keuntungan lebih baik nanti bila pasaran ban radialnya, dengan teknologi mutakhir, mampu merebut pasar," kata Sereh. Mudah-mudahan. Tapi di zaman resesi ini, bukan mustahil akan lebih banyak perusahaan yang berkurang untungnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus