Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kronologi Bolong Tim Sembilan

Sebelas anggota Kopassus menjadi tersangka penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman. Tim investigasi TNI Angkatan Darat dituding menyembunyikan sejumlah fakta.

7 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pria di dalam pertemuan itu awalnya saling mengumbar senyum. Lalu mereka pun melempar salam khas mereka, salam komando. Tangan mengepal ke atas, sembari berseru: komando! Selasa, 19 Maret lalu, pukul 13.00, para pejabat Komando Daerah Militer Diponegoro bertandang ke markas Kepolisian Daerah Yogyakarta di Jalan Lingkar Utara, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka adalah Komandan Daerah Militer (Dandim) Sleman, Dandim Kota Yogyakarta, Kepala Resor Militer, dan Kepala Detasemen Polisi Militer. Komandan Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan hadir pula. Dari kepolisian, ada Kepala Kepolisian Resor Sleman dan Yogyakarta serta Kepala Polda Yogyakarta Brigadir Jenderal Sabar Rahardja.

Itu bukan pertemuan biasa. Tak banyak bicara, mereka langsung menanyakan perkembangan kasus pembunuhan Sersan Kepala Heru Santoso, anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan yang saat itu tengah bertugas di Komando Daerah Militer Diponegoro. Santoso dibunuh di Hugo's Cafe, Yogyakarta, Selasa dinihari, dua belas jam sebelum pertemuan itu. "Mereka lalu nonton bareng rekaman CCTV saat Santoso dibunuh di Hugo's Cafe," kata sumber Tempo.

Direktur Reserse Kriminal Polda Yogyakarta Komisaris Besar Kris Erlangga membenarkan adanya pertemuan tersebut. Ia mengatakan para tentara itu datang sebagai pelapor karena korban pembunuhan adalah rekan mereka. Tim Kris lantas memaparkan hasil penyidikan. Kepada para tamunya diputar pula rekaman CCTV peristiwa di Hugo's Cafe. Kris menyuguhkan rekaman itu agar mereka tahu bagaimana pembunuhan tersebut terjadi. Saat itu, memang gencar beredar kabar Santoso dibantai seorang polisi.

Namun tak seluruh rekaman CCTV tersebut diputar, hanya potongannya. Pada saat itulah terdengar celetukan dari para tentara: rekaman tersebut sudah dimanipulasi. Kris menampik tudingan itu. Pihaknya, ujar dia, hanya menunjukkan cuplikan yang penting: saat adegan Santoso dianiaya para pelaku. Rekaman asli, kata Kris, sudah diambil tim Pusat Laboratorium Forensik. "Kami ingin menunjukkan bahwa pelakunya bukan cuma polisi. Ia dibunuh secara bersama-sama oleh empat orang," ucap Kris, Jumat pekan lalu.

Menurut Kris, polisi bergerak cepat mengungkap kasus Hugo's Cafe itu. Satu jam setelah pembunuhan Santoso, polisi menangkap Hendrik Angel Sahetapy alias Deki. Beberapa jam kemudian, ditangkap pula Yohanis Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Saat ditangkap, Juan masih berstatus polisi meski tengah tersangkut kasus kepemilikan narkoba. "Setelah beberapa jam diperiksa di Polres Sleman, mereka diboyong ke tahanan Polda," kata Kris.

Nonton bareng itu rupanya benar-benar tak bisa meredakan kegalauan para pemimpin korps baret merah tersebut. Sumber Tempo mengatakan, dalam pertemuan itu, tentara meminta polisi menyerahkan Deki cs agar merekalah yang "mengurus" para tersangka tersebut. Permintaan ini ditolak. Sumber Tempo yang lain menyebutkan, saat para reserse berburu Deki cs, mereka sempat berhadapan dengan segerombolan pria berambut cepak.

Para pria itu diduga ingin mendahului polisi menangkap Deki, tapi gagal. Mereka sempat mendatangi Polres Sleman saat para tersangka pembunuh Santoso ditahan di sana. Kepala Polres Sleman Ajun Komisaris Besar Hery Sutriman terlihat gagap saat Tempo meminta konfirmasi tentang hal ini dua pekan lalu. "Jangan saya yang bicara…," ujarnya sambil berjalan menjauh dengan suara terpatah-patah.

Deki dan kawan-kawan pada Jumat tiga pekan lalu dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan. Sabtu diniharinya, mereka tewas ditembus peluru senapan AK-47 saat berada di sel. Pelakunya belasan pria bertopeng yang memaksa masuk ke penjara. Keesokan harinya, Panglima Kodam Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso mengatakan tidak ada anggota TNI yang terlibat penyerangan itu. Namun sudah santer berembus kabar anggota Kopassus berada di balik penyerbuan tersebut.

Peristiwa ini memancing reaksi berbagai pihak. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk tim investigasi yang diterjunkan ke Yogya untuk menelisik kasus ini, termasuk mendatangi asrama mahasiswa Nusa Tenggara Timur—tempat Deki cs sering bertemu—dan sel tempat pembantaian itu terjadi, sel A5, Blok Anggrek. "Ada pelanggaran hak atas hidup dalam peristiwa ini," kata Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila.

Empat hari kemudian, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo ikut membentuk tim investigasi, yang beranggotakan sembilan orang. Tim dipimpin Wakil Komandan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Unggul K. Yudhoyono. "Ada indikasi anggota TNI Angkatan Darat terlibat dalam peristiwa ini," ujar Pramono, Jumat dua pekan lalu. Polisi ikut bergerak menyelidiki kasus ini. Sejumlah personel Detasemen 88 Antiteror dikirim ke Yogyakarta. Tiga lembaga negara ini kemudian saling "berburu penyerbu" LP Cebongan.

n n n

Kamis pekan lalu, tim sembilan mengumumkan hasil kerja mereka selama enam hari di Yogyakarta. Unggul mengatakan sebelas anggota Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan terlibat penyerbuan itu. Sembilan orang menyerbu ke dalam penjara, sedangkan dua orang diduga berperan hanya mencoba menghalangi penyerbuan. Keduanya tetap dianggap terlibat karena mengetahui penyerbuan itu. Mereka berpangkat bintara dan tamtama. Seorang pelaku yang berperan sebagai eksekutor, berinisial U, bekas anak buah Santoso. "Santoso pernah menyelamatkan nyawa U saat mereka latihan komando," kata Unggul. Mereka kini ditahan di POM Kodam Diponegoro.

Dalam penyerangan ini, ujar Unggul, para penyerbu menggunakan tiga unit mobil, yaitu Toyota Avanza, Suzuki APV, dan Daihatsu Feroza. Mereka menggunakan tiga pucuk AK-47, dua pucuk replika AK-47, dan satu pucuk pistol SIG-Sauer, yang juga replika. Senjata aktif dan replika ini dibawa para pelaku dari tempat latihan mereka di Gunung Lawu. Tim tidak menemukan CCTV penjara Cebongan yang mereka rampas karena sudah dibakar dan dibuang ke Sungai Bengawan Solo. "Para pelaku langsung mengaku saat tim datang ke Markas Grup 2," katanya.

Motif penyerangan, ucap Unggul, murni karena spontanitas. Para pelaku adalah teman seangkatan selama pelatihan komando. Mereka tak terima bila Santoso, yang menjadi "teman senasib-sepenanggungan", dibunuh preman, yakni Deki cs. Sebelum membantai Santoso, kelompok Deki dianggap berperan terhadap penganiayaan Sersan Satu Sriyono, yang juga teman seangkatan para pelaku saat pelatihan. Kepala mantan anggota Kopassus yang bertugas di Kodim Yogyakarta ini dibacok sehari setelah Santoso dibunuh.

Hasrat ingin menghabisi Deki cs semakin berkobar karena mereka menganggap harus menjaga semangat corsa, yaitu semangat korps kesatuan militer, yang dianggap telah dilecehkan para tersangka. Karena itulah, kata Unggul, penyerbuan tersebut tak direncanakan. Para pelaku sebagian turun dari Gunung Lawu dan langsung menyerbu LP Cebongan. Mereka mengetahui Deki cs ditahan di sana karena tak sengaja lewat dan bertanya kepada penduduk sekitar. "Semuanya serba spontanitas," ujarnya.

n n n

Meski disambut positif oleh berbagai pihak, hasil investigasi tim sembilan tak memuaskan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar. Apa yang diungkapkan Unggul, kata dia, hanya mengungkap sebagian fakta. Sebagian lagi disembunyikan. Ada gap besar antara temuan TNI dan temuan Kontras. "Penyerbuan itu pasti direncanakan," ujar Haris, Jumat pekan lalu. Ia menduga TNI berkukuh mengatakan penyerbuan itu tak direncanakan agar meringankan hukuman para pelaku.

Sumber Tempo mengatakan tim sembilan banyak "mengarang cerita" dalam kronologi penyerbuan itu. Jumlah penyerbu bukan sebelas orang seperti yang diungkapkan Unggul. Saat peristiwa itu terjadi, kata sumber Tempo, ada 14 orang yang masuk ke penjara. "Belum lagi yang berjaga di luar," ujarnya. Mereka semua menenteng senjata api laras panjang, sehingga total senjata api pasti lebih dari enam pucuk.

Para penyerbu juga membawa granat di bawah dan di atas rompi mereka. Granat itu, sumber Tempo melanjutkan, juga sempat digelindingkan saat sipir menyatakan tak ada kunci sel di sana. Granat untuk menakut-nakuti itu manjur. Sipir kemudian mengantar para penyerbu ke rumah Kepala LP Cebongan Sukamto untuk meminta kunci sel A5, Blok Anggrek, tempat Deki cs mendekam. Saat menghabisi empat tahanan, sang eksekutor bahkan sempat mengganti magasin. "Dari mana semua senjata ini kalau tidak dipersiapkan?" kata sumber ini.

Dari penyerbuan itu, ujar sumber Tempo lain yang juga sudah menelisik ke Cebongan, masih banyak penggalan kronologi yang belum diungkap. Ia mengatakan para penyerbu tampaknya menggunakan alat khusus untuk mengacak CCTV di sepanjang jalan agar tak terlacak. Mereka juga mematikan lampu di depan LP Cebongan tanpa merusak sekring. "Kronologi versi tim sembilan masih bolong," katanya.

Kontras melihat tim sembilan terkesan hanya berfokus pada saat penyerbuan di penjara. Padahal ada indikasi lain yang tak kalah penting, yakni penyerbuan tersebut diduga diketahui pejabat TNI di Yogyakarta dan kepolisian. Haris mengatakan ada pertemuan antara jajaran TNI dan polisi sebelum penyerbuan penjara Cebongan, termasuk nonton bareng CCTV saat Santoso terbunuh. Ini membuat suasana semakin tegang. Polisi dan TNI, kata Haris, bisa disebut mengetahui adanya aksi balas dendam dari teman-teman Santoso dan Sriyono, tapi tak mencegah. "Seharusnya atasan sebelas anggota Kopassus itu ikut bertanggung jawab," ujarnya.

Motif pelaku yang diungkap tim sembilan juga dibantah oleh Hillarius, pengacara Marcelinus Bhigu alias Marcel, yang didakwa telah membacok Sriyono. Deki dan Marcel tidak berteman. Mereka bahkan pernah berkelahi setahun lalu. Di persidangan, penganiayaan Sriyono tak ada hubungannya dengan kasus Santoso dan dilakukan dua kelompok berbeda. "Salah kalau TNI mengatakan kasus Sriyono dan Santoso berhubungan," katanya.

Sabar Rahardja, yang ditemui seusai salat Jumat pekan lalu, mengaku kaget saat tim sembilan mengumumkan anggota Kopassus-lah yang menyerbu LP Cebongan. Selama ini, ujar Sabar, dia dan anak buahnya masih mencari siapa penyerbu itu, termasuk tak bisa memastikan berapa jumlah mereka. Sabar juga menampik tudingan bahwa dia sebenarnya mengetahui akan adanya pembunuhan empat tahanannya itu sehingga kemudian mengirim mereka ke LP Cebongan. "Demi Allah saya tidak tahu," katanya. Jumat pekan lalu, beberapa jam setelah salat Jumat itu, Markas Besar Kepolisian RI memberhentikan Sabar dari jabatannya sebagai Kepala Polda Yogyakarta.

Brigadir Jenderal Unggul juga membantah berbagai temuan versi lain di luar timnya. Dalam suasana tegang, ucap dia, saksi bisa saja keliru menghitung para pelaku. Para anggota Kopassus, kata Unggul, sudah sejujurnya menceritakan kronologi penyerbuan itu. Tak ada perwira dan atasan mereka yang terlibat. "Kalau penyerbuan itu direncanakan, hasilnya pasti akan berbeda," ujarnya.

Mustafa Silalahi, Febriyan (Jakarta), Muh. Syaifullah, Pito Agustin (Yogyakarta)


Lahir untuk Bertempur
  • Komando Pasukan Khusus (Kopassus) merupakan pasukan tempur elite TNI Angkatan Darat. Anggotanya memiliki kemampuan khusus, seperti bertempur di segala medan, menembak tepat, melakukan pengintaian, dan menumpas terorisme. Termasuk salah satu pasukan komando terbaik di dunia.
  • Lahir pada 16 April 1952, awalnya bernama Kesatuan Komando Tentara Teritorium III/Siliwangi dengan Mochamad Idjon Djanbi sebagai komandan pertama.
  • Anggotanya kini sekitar 5.000 personel. Markasnya, antara lain, di Jakarta, Serang, dan Kartasura.
  • Sejumlah operasi sukses dilakukan pasukan ini dan mendapat pujian, di antaranya menumpas gerakan Republik Maluku Selatan pada 1952, membebaskan pesawat Garuda Indonesia yang dibajak Komando Jihad di Bangkok pada 1981, dan menangkap tokoh Fretilin Timor Timur, Xanana Gusmao, pada 1992.

    Jejak Berdarah

    Kopassus dikaitkan dengan sejumlah kasus pembunuhan yang di antaranya tidak pernah terungkap. Kasus-kasus yang melibatkan nama Kopassus antara lain:

  • Pembunuhan pentolan Organisasi Papua Merdeka, Theys H. Eluay, pada 1999.
  • Penembakan tokoh Front Hizbullah, Cecep Bustomi, pada 2000.
  • Wartawan Amerika Serikat, Allan Nairn, menulis Kopassus berada di balik meninggalnya delapan aktivis Partai Aceh pada 2009.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus