SAWAH-SAWAH yang membentang luas di Desa Sukamekar, Karawang,
bulan ini baru selesai panen adu. Namun tidak ada pesta-pesta
panen sebagaimana lazimnya. Bahkan desa itu sepi. "Kalau habis
panen, sulit mencari laki-laki di sini, karena pekerjaan habis
dan mereka kembali menarik becak di Jakarta," kata Abudin,
seorang Pamong Tani di desa itu. Sebagian besar penduduk tesa
itu memang menjadi buruh tani di sawah-sawah milik "orang
Jakarta"--atau yang mereka sebut "babe-babe".
Lebih dari 4.000 jiwa penduduk desa itu sebagian besar hidup
dari menerima upah sebagai buruh tani. Adapun penduduk pemilik
sawah hanya menguasai sekitar 4000 dari tanah pertanian seluas
570 hektar di Sukamekar. "Sisanya milik orang kaya di Jakarta,
Purwakarta, atau Bandung," ujar Kepala Desa, Adang. Malah,
"kalau saja Opstib tidak turun, tidak sejengkal pun tanah yang
dimiliki penduduk desa ini," sambung Abudin.
Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) yang disahkan 21 tahun yang
lalu --berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya--memang
membatasi pemilikan tanah pertanian hanya 2 hektar untuk setiap
orang. Ditentukan pula, tanah pertanian di satu daerah tidak
bisa dimiliki orang yang berdiam di daerah lain, atau yang
dikenal sebagai tanah absensi. Namun yang disebut "babe-babe"
itu, punya akal banyak untuk tetap memiliki tanah pertanian
secara terselubung, seperti yang terjadi di Desa Sukamekar,
Kecamatan Jatisari, Karawang, Jawa Barat. (lihat box).
Kedok yang paling banyak digunakan untuk menutupi pemilikan
tidak sah itu adalah surat kuasa mutlak. "Kedok itu justru
banyak digunakan orang-orang ang tahu hukum," ujar Dirjen
Agraria, Daryono, yang bertekad menghapuskan lembaga kuasa
mutlak itu.
Ada yang menunjuk surat kuasa mutlak itu terjadi akibat
disalahgunakannya peraturan yang diciptakan Menteri Agraria
tahun 1961. Kuasa mutlak dalam peraturan itu adlah semacam
surat kuasa dari penjual tanah, kepada pembeli, untuk menjual
kembali tanah itu, atau menghipotekkannya, sampai sertifikat
atau izin jual beli keluar. Tapi dengan kuasa itu pembeli sudah
mempunyai hak penuh walau sertifikatnya belum keluar.
Menurut bekas Menteri Agraria, Sadjarwo, peraturan -- pasal 3,
lampiran peraturan Menteri Agraria no. 11/1961 dibuat dengan
niat baik. Yaitu agar orang yang sudah telanjur membeli tanah
tidak sah, tidak dirugikan. Misalnya karena seseorang membeli
tanah melebihi batas maksimum menurut UU PA, atau membeli tanah
absensi. Pembeli itu bisa saja meminta uangnya kembali kepada
penjual pemilik tanah walaupun mungkin uang itu sudah habis.
Bila si penjual tak dapat mengembalikan uang tadi, ada jalan:
dengan peraturan itu, penjual memberi surat kuasa agar pembeli
bisa menjual tanah itu kepada orang lain yang lebih berhak.
Dengan begitu, uang si pembeli patama dapat kembali.
Maksud lain dari peraturan itu untuk melindungi pembeli tanah
dari penjual yang nakal. Sebab, untuk mendapat izin jual beli
atau sertifikat tanah, pemilik baru terpaksa menunggu lama.
"Waktu itu, karena lemahnya aparat, bisa mencapai empat tahun,"
ujar Sadjarwo. Dikhawatirkan, kalau ada penjual yang nakal, ia
bisa menjual berkali-kali tanah yang masih atas namanya itu.
"Jadi dibuat surat kuasa, agar pemilik baru bisa tenang sampai
sertifikat keluar," katanya.
Namun maksud baik yang dikandung peraturan itu, belakangan ini
menurut Sadjarwo, disalahgunakan untuk kedok pemilikan tanah
tidak sah. "Tuan-tuan" tanah baru sengaja membeli tanah dari
petani, dengan surat kuasa saja, tanpa mengurus sertifikatnya.
Padahal pemilik sebenarnya, sudah berganti. "Sebab itu, lebih
baik peraturan itu dicabut saja," usul Sadjarwo.
Tetapi usul bekas Menteri Agraria ini, ditampik banyak ahli dan
praktisi. "Kuasa yang dimaksud dalam paaturan menteri itu belum
kuasa mutlak, sebab ada syarat: kuasa berlaku kalau izin jual
beli tanah tidak keluar," bantah Singgih, seorang Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Singgih sendiri mengaku tidak pernah
membuat akta dengan menggunakan pasal 3 Peraturan Menteri
Agraria itu. "Saya kira itu jarang tajadi," katanya.
Budi Harsono, Dosen Hukum Agraria dan Dosen Notariat FHUI
menunjuk, asas kebebasan berkontrak di hukum perdata kita adalah
sumber kuasa mutlak itu. Menurut asas itu, setiap orang bebas
mengikatkan dirinya dalam kontrak asal tidak bertentangan dengan
kesusilaan dari kepentingan umum. "Asas ini kemudian yang
digunakan untuk menciptakan kuasa mutlak," ujar Budi Harsono .
Menyalahi Hukum
Asas ini disalahgunakan orang, kata Budi. Misalnya, dalam kuasa
mutlak, kuasa tidak bisa dicabut kembali, dan tidak pernah
berakhir. "Ini menyalahi hukum, sebab setiap kuasa harus ada
batasnya," ujarnya. Kedua: dalam kuasa mutlak, si penerima kuasa
bisa berbuat apa pun, padahal seharusnya setiap kuasa menentukan
batas wewenang penerima kuasa. Terakhir, penerima tidak perlu
memberikan patanggungjawaban. "lni terang bukan pemberian kuasa,
tapi pemindahan hak," ujar Budi Harsono.
Undang-undang mana pun yang manjadi sumber kuasa mutlak, yang
pasti Dirjen Daryono bertekad manghapuskan lembaga itu.
Kebijaksanaan Menteri Agraria, kata Daryono, akan diubah dengan
peraturan Menteri Dalam Negeri. Sementara asas kebebasan
berkontrak perlu dibatasi dengan undang-undang.
"Tapi undang-undang terlalu lama, karena itu akan dibuat produk
hukum di bawah undang-undang, " katanya, "yaitu peraturan
Menteri Dalam Negeri."
Agaknya yang penting, usul bekas Menteri Agraria Sadjarwo:
dibentuk suatu lembaga untuk mengawasi pemindahan hak atas
tanah, dan pelaksanaan UU PA. Di zaman Belanda saja, kata
Sadjarwo, ada pengawasan atas larangan penjualan tanah kepada
golongan Timur Asing. Sebab, "dulu golongan ini yang punya uang,
kalau sekarang kan pejabat-pejabat," ujarnya. Dan ternyata lebih
sukar mengawasi ulah pejabat-pejabat, seperti yang terjadi di
Desa Sukamekar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini