DI mulut Desa Sukamekar, 4 kmdari jalan raya Jakarta-Cirebon,
ada sebuah bangunan berukuran 8 x 5 meter, bercat putih.
Penduduk mengenalnya sebagai "villa Pak Jenderal." "Dulu kalau
lagi melihat sawahnya, bapak itu mengaso di villa itu," ujar
Abudin, Pamong Tani desa itu.
Yang mereka sebut sebagai "Pak Jenderal", waktu itu mempunyai
beberapa bidang sawah di desa itu, atas nama anak-anaknya yang
berdiam di Jakarta. Tetapi mereka tidak terkena peraturan tanah
absensi, karena dalam surat tanah, anak-anaknya itu disebut
berdiam di Sukamekar. Domisili anakanak itu tertulis di
Sukamekar, diketahui penduduk setelah tanah dan sawah itu dijual
kembali oleh "Pak Jenderal", kepada seorang penduduk desa, Kacut
Bin Irem.
Rupanya setelah Opstib turun tangan," Pak Jenderal" buru-buru
menjual kembali tanahnya kepada penduduk, bahkan ada yang
dihibahkan. Villanya dihibahkan kepada Sunu, Camat Jatisari
ketika itu. Tetapi Opstib yang turun tangan tahun 1980 lalu,
melarang penghibahan itu, sehingga Sunu mengembalikan villa itu
kepada pemiliknya. "Kami akan mengirim utusan kepada "Pak
Jenderal", agar villa itu bisa dijadikan balai desa," kata
Abudin.
Bukan "Pak Jenderal" saja yang membeli tanah di desa itu. Juga
"bapak-bapak" lain, baik atas nama anak, atau istri, bahkan
penduduk desa itu sendiri. Serbuan tuan tanah dari Jakarta itu
diawali kedatangan seorang pelawak ibukota pada 1972. Ia membeli
sawah di Sukamekar. Kemudian, menurut seorang penduduk, pelawak
itulah yang menjajakan tanah Sukamekar kepada "orang-orang
Jakarta."
Ternyata tanah Sukamekar memang laku. Masih tahun itu juga,
datang serombongan pembeli yang terdiri dari bapakbapak atau
nyonya-nyonya. Mereka memborong 56 hektar sawah penduduk,
masing-masing antara 3 sampai 5 ha. Yang terluas memang
kepunyaan "Pak Jenderal", 23 ha. Setelah rombongan ini, menyusul
rombongan-rombongan berikutnya, sehingga nyaris setiap jengkal
tanah Sukamekar, milik orang kota. "
Untunglah tahun 1980-an, Opstib mencium permainan dan
penyelundupan hukum untuk memiliki tanah-tanah di desa itu.
Hasilnya: "Semua penjualan tanah di desa itu dilarang," kata
Camat Jatisari, Suyitno.
Berbagai penyelundupan hukum terjadi, bukan hanya melalui surat
kuasa mutlak, juga dengan pemalsuan alamat pembeli agar tidak
terkena absnsi. "Jual beli banyak dilakukan di bawah tangan,
sebab hampir semua tanah berstatus tanah girik (belum
sertifikat)," ujar Suyitno lagi.
Sebab itu pula bekas Menteri Agraria Sadjarwo tidak begitu yakin
masa lah tanah akan tertib, walaupun kuasa mutlak tidak ada
lagi. Sadjarwo lebih menginginkan adanya sanksi yang keras
terhadap notaris atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), kalau
mareka membuat akta untuk jual beli tida sah. Begitu terhadap
para pejabat se perti lurah dan camat yang membet izin jual beli
kepada orang yang tidak berhak.
Segampang itukah? Letnan Dua, Wahyu yang menjadi Kepala Desa
Sukamekar ketika jual beli tanah itu ramai berlangsung,
membenarkan ada permainan--seperti pemalsuan alamar pembeli yang
sebenarnya orang Jakarta. "Saya mau bilang apa? Maeka kan
babe-babe," ujar Wahyu yang sudah dipensiun 2 tahun lalu. Karena
mengurusbabe-babe itulah, Wahyu kena getah juga. Berkali-kali ia
dipanggil Opstib tahun 1980 yang lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini