Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sawah Pak Jenderal

Pejabat-pejabat dari jakarta yang membeli tanah di desa sukamekar, karawang. tanah sukamekar memang laku. opstib menertibkan urusan tanah disana.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI mulut Desa Sukamekar, 4 kmdari jalan raya Jakarta-Cirebon, ada sebuah bangunan berukuran 8 x 5 meter, bercat putih. Penduduk mengenalnya sebagai "villa Pak Jenderal." "Dulu kalau lagi melihat sawahnya, bapak itu mengaso di villa itu," ujar Abudin, Pamong Tani desa itu. Yang mereka sebut sebagai "Pak Jenderal", waktu itu mempunyai beberapa bidang sawah di desa itu, atas nama anak-anaknya yang berdiam di Jakarta. Tetapi mereka tidak terkena peraturan tanah absensi, karena dalam surat tanah, anak-anaknya itu disebut berdiam di Sukamekar. Domisili anakanak itu tertulis di Sukamekar, diketahui penduduk setelah tanah dan sawah itu dijual kembali oleh "Pak Jenderal", kepada seorang penduduk desa, Kacut Bin Irem. Rupanya setelah Opstib turun tangan," Pak Jenderal" buru-buru menjual kembali tanahnya kepada penduduk, bahkan ada yang dihibahkan. Villanya dihibahkan kepada Sunu, Camat Jatisari ketika itu. Tetapi Opstib yang turun tangan tahun 1980 lalu, melarang penghibahan itu, sehingga Sunu mengembalikan villa itu kepada pemiliknya. "Kami akan mengirim utusan kepada "Pak Jenderal", agar villa itu bisa dijadikan balai desa," kata Abudin. Bukan "Pak Jenderal" saja yang membeli tanah di desa itu. Juga "bapak-bapak" lain, baik atas nama anak, atau istri, bahkan penduduk desa itu sendiri. Serbuan tuan tanah dari Jakarta itu diawali kedatangan seorang pelawak ibukota pada 1972. Ia membeli sawah di Sukamekar. Kemudian, menurut seorang penduduk, pelawak itulah yang menjajakan tanah Sukamekar kepada "orang-orang Jakarta." Ternyata tanah Sukamekar memang laku. Masih tahun itu juga, datang serombongan pembeli yang terdiri dari bapakbapak atau nyonya-nyonya. Mereka memborong 56 hektar sawah penduduk, masing-masing antara 3 sampai 5 ha. Yang terluas memang kepunyaan "Pak Jenderal", 23 ha. Setelah rombongan ini, menyusul rombongan-rombongan berikutnya, sehingga nyaris setiap jengkal tanah Sukamekar, milik orang kota. " Untunglah tahun 1980-an, Opstib mencium permainan dan penyelundupan hukum untuk memiliki tanah-tanah di desa itu. Hasilnya: "Semua penjualan tanah di desa itu dilarang," kata Camat Jatisari, Suyitno. Berbagai penyelundupan hukum terjadi, bukan hanya melalui surat kuasa mutlak, juga dengan pemalsuan alamat pembeli agar tidak terkena absnsi. "Jual beli banyak dilakukan di bawah tangan, sebab hampir semua tanah berstatus tanah girik (belum sertifikat)," ujar Suyitno lagi. Sebab itu pula bekas Menteri Agraria Sadjarwo tidak begitu yakin masa lah tanah akan tertib, walaupun kuasa mutlak tidak ada lagi. Sadjarwo lebih menginginkan adanya sanksi yang keras terhadap notaris atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), kalau mareka membuat akta untuk jual beli tida sah. Begitu terhadap para pejabat se perti lurah dan camat yang membet izin jual beli kepada orang yang tidak berhak. Segampang itukah? Letnan Dua, Wahyu yang menjadi Kepala Desa Sukamekar ketika jual beli tanah itu ramai berlangsung, membenarkan ada permainan--seperti pemalsuan alamar pembeli yang sebenarnya orang Jakarta. "Saya mau bilang apa? Maeka kan babe-babe," ujar Wahyu yang sudah dipensiun 2 tahun lalu. Karena mengurusbabe-babe itulah, Wahyu kena getah juga. Berkali-kali ia dipanggil Opstib tahun 1980 yang lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus