Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ladang baru, membajak batik

Lukisan batik paling rawan bajakan. untuk melindungi ciptaan seorang seniman batik harus mendaftar di dir. paten dan hak cipta. biasanya penjiplakan akan berdalih bahwa yang disonteknya batik tradisional.

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI semua karya seni, sastra dan ilmu pengetahuan~ bidang mana yang rawan dibajak hak ciptanya? Jawabannya ternyata seni batik. Seniman batik terkenal, Iwan Tirta, membenarkan bahwa batik paling rawan bajakan. "Diubah sedikit saja, sudah lain," kata pengusaha batik itu. Apala~gi jika motifnya tradisional. Misalnya batik tradisional pa~ang rusak atau sid~mukti dari Keraton Yogyakarta. Kalau saja desain motif tersebut diubah sedikit saja, lalu didaftarkan ke Direktorat Paten dan Hak Cipta, maka si pemohon akan bisa dianggap menciptakan desain baru. Kasus pembajakan di bidang seni batik ini, dulu, kata Iwan, memang belum seberapa. Sebab, sebelum 1982, Undang-Undang Hak Cipta 1912 tidak memasukkan seni batik sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi. Untungnya, ketika itu, penjiplak paling hanya melakukan peniruan untuk dua atau tiga potong kain. Sekarang, seiring dengan kemajuan teknologi, dan batik ternyata telah menjadi komoditi menarik -- hingga perlu diproduksi beratus~-ratus ribu meter -- maka menjiplak lebih menggiurkan dibanding mencipta sendiri. Celakanya, itu tadi, sejak 1982 seni batik sudah termasuk dalam daftar karya yang dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Buntutnya, jika ada pihak (pengusaha) yang dirugikan, maka jalan yang ditempuh adalah memperkarakan. Sebab, tutur Iwan~ banyak pengusaha batik tak memegang etika bisnis. Mestinya, kalau mau bisnis, harus rela mengeluarkan uang penelitian. membayar desainer, dan mengeluarkan biaya untuk pendaftaran hak cipta. Tapi, "ini nggak. Malah, sebisa-bisanya nggak usah mengeluarkan duit, untung banyak, hoo. . .," kata lulusan Fakultas Hukum UI tahun 1958 mi. Satu-satunya cara untuk melindungi ciptaan seorang seniman batik tentulah dengan mendaftarkannya di Direktorat Paten dan Hak Cipta. Tapi, untuk itu, harus dibuktikan bahwa motif tersebut benar-benar baru, baik ukuran, gambar? maupun nama desainnya ~Tapi banyak seniman yang kekurangan bukti-bukti itu. Agar gampang, mereka hanya bilang desain itu tradisional tapi sudah dik~mbangkan. Sebab, dengan menyatakan demikian, "si pemohon tak usah lagi membuktikan hal~hal tersebut tadi." kata Iwan pada Andy Reza Rohadian dari TEMPO. Akibatnya, itu tadi. Penjiplakan batik tradisionai, yang sudah dikembangkan itu, sangat mudah dan merajalela. Dan biasanya si penjiplak akan berdalih bahwa yang disonteknya adalah motif batik tradisonal, bukan motif yang sudah dikembangkan itu. Sebenarnya, menurut ahli hukum hak cipta, Prof. J.C.T. Simorangkir, jika si penjiplak menyebut produksinya tradisional, ia harus membuktikan dulu motif ketradisionalannya. Misalnya, gambar burung atau gunung memang tradisional. Semua orang boleh menjiplaknya kar~ena memang sudah milik umum. Namun, jika pada desain baru seseorang sudah menambahi gambar gunung dengan bulan bersinar, atau matahari terbit, "maka itu sudah milik si penciptanya, dan tak seorang pun boleh menirunya lagi.~" Yang prinsipil lagi, menurut Simorangkir, jika seseorang mengaku mencipta haruslah dipertanyakan, apakah betul karya itu ciptaannya. "Adakah karya itu dibuat berdasar ilmunya, prakarsanya, dan tidak menjiplak ciptaan orang lain," katanya. Nah, andai ia mendaftarkan ciptaannya itu, ia harus pula membuktikan, antara lain, dengan saksi dan foto-foto. Jika semua terpenuhi, barulah orang itu dapat dikatakan sebagai pemegang hak ~cipta. Persoalan lain dalam bidang hak cipta batik ini adalah banyaknya seniman yang tak mendaftarkan ciptaannya. Sebab, ~pendaftaran itu memang bukan keharusan. Akibatnya, ketika persoalan bajak-membajak itu menjadi sengketa, pihak penyidik kesulitan menentukan siapa yang benar-benar pencipta dan siapa yang tidak. ~Sebab itu, Simorangkir menyarankan agar seniman-seniman batik membiasakan diri mendaftarkan ciptaannya. Pendaftaran itu memang tidak wajib, tapi perlu," ujar Simorangkir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus