Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Satu nusa, satu bangsa

Jaya suprana ditanya kenapa tidak pakai sumpit ketika makan di restoran cina, kenapa tidak jual obat tradisional cina, dan kenapa tidak menampilkan mu- sik cina. dia menjawab: "tanah air saya indonesia".

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA saya meninjau warung-warung penjualan jamu di pedesaan sekitar Semarang, anak-anak kecil mengerumuni saya sambil bersorak-sorai, "Cino lemu, Cino lemur' (Cina gendut, Cina gendut). Berdasarkan hasil pengamatan diri sendiri di kaca, saya menarik kesimpulan bahwa anak-anak itu memang nakal, tetapi mereka tidak keliru! Secara medis, bentuk perut saya memang merupakan indikasi obesitas atau hamil. Secara antropologis, bentuk mata dan warna kulit saya memang termasuk ciri ras Mongoloid. Akibat doyan makan, saya memang gendut, dan walaupun lahir di Bali, saya memang kebetulan -- di luar kemauan saya sendiri keturunan Cina. Ketika tiba di Bandara Polonia, memenuhi undangan Permanin (Perhimpunan Manajemen Indonesia) Medan untuk ceramah masalah "Manajemen Perusahaan Keluarga", saya terharu atas keramahtamahan panitia. Selusin tokoh pengusaha dan pejabat setempat menjemput dengan konvoi tiga sedan mengkilap, lalu membawa saya ke -- mungkin karena melihat bentuk mata dan warna kulit saya -- sebuah restoran Cina terkemuka di Medan. Di saat mulai makan, para tuan rumah yang kebetulan mayoritas "pribumi" (maaf, terpaksa saya pergunakan sebutan ini sekadar demi memperjelas konstelasi suasana) secara serentak menggenggam sumpit, sementara saya seorang diri memegang sendok-garpu. Setelah saling melirik heran, akhirnya salah seorang tuan rumah tidak tahan bertanya, "Kenapa Pak Jaya makan tidak pakai sumpit?" Ketika lunch bersama beberapa pengusaha Singapura, termasuk salah seorang ketua Chinese Chamber of Commerce setempat, untuk menjajaki pemasaran produk jamu, aneka pertanyaan gencar diajukan kepada saya. Di samping kenapa saya tidak bisa makan pakai sumpit, juga kenapa nama saya kok tidak khas Cina, dan kenapa tidak bisa bicara Mandarin. Tetapi terutama kenapa produk yang saya jual bukan obat tradisional Cina. Ini sama dengan ajuan penanyaan Malcolm Fraser, yang masih menjabat Perdana Menteri Australia ketika mampir di stand Jamu Jago di ASEAN Trade Fair, Sydney, 1979. Ketika berdiskusi falsafah bisnis di Akademie fuer Fuehrungskraefte der Winschaft Bad Harzburg, Jerman, dengan bangga saya mengulas Ojo Dumeh dan Eling. Beberapa peserta diskusi dari mancanegara bertanya, "Kenapa Anda tidak mengulas Im-Yang atau Tao?" Mirip akibat dalam berbagai ceramah saya sering menganalisa karakter para tokoh pewayangan seperti Bisma, Kumbakarma, atau Semar, lalu banyak yang bertanya, "Mengapa Pak Jaya tidak bicara soal Kwan Kong, Giam Lo Ong, atau Bie Lik Hud?" Dalam pameran kartun saya, sekelompok karya menampilkan tema Gatotkaca. Mulai dari Gatotkaca jail mengguntingi tali layang-layang sampai bayi Gatotkaca terbang minggat dari kamar bersalin dikejar juru rawat panik. Ada yang bertanya, "Kenapa Pak Jaya tidak bikin kartun tentang Sun Go Kong?" Istri saya, Julia, kebetulan mesosopranis dan saya pianis. Maka, atas prakarsa berbagai pihak sepeni KBRI, Gubernur Ja-Teng, Menko Kesra, dan lembaga kebudayaan mancanegara, kami berdua mempergelarkan konser vokal-piano di AS, Selandia Baru, Jerman, Norwegia, Aljazair, Singapura, Hong Kong, dan lain-lain. Di samping menampilkan repertoar standar karya Schumann, Brahms, Debussy, kami menampilkan juga karya komponis Indonesia seperti Marzuki, Embut, Iskandar, Maladi, dan komposisi saya sendiri yang banyak mempergunakan idiom karawitan Jawa, suasana titi-nada slendro, pelog, dengan syair bahasa Indonesia atau kromo inggil. Seusai konser di Hong Kong, seorang pencinta musik setempat bertanya, "Kenapa Anda tidak menampilkan karya musik Cina?" Sebelum meninggalkan dunia fana ini, saya ingin meninggalkan sesuatu yang bisa bermanfaat untuk menolong sesama yang menghadapi kesulitan. Saya ingin mendirikan sebuah panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu di Kota Semarang. Ada yang bertanya, "Kenapa harus di Semarang?" Pertanyaan-pertanyaan memang perlu jawaban. Tetapi jawaban jangan dicari di rumput bergoyang atau di bentuk mata atau warna kulit saya. Karena jawaban sederhana sudah lestari hadir di lubuk sanubari saya, yaitu: "Tanah air saya adalah Indonesia!" ~ Pianis, komponis, kartunis, penulis, pengusaha jamu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus