Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOS selalu benar. Begitulah agaknya yang terjadi di dunia kewartawanan kita. Untuk kesekian kalinya, seorang wartawan harus menanggung beban tanggung jawab bos, yaitu pemimpin redaksi dan penanggung jawab medianya. Men dung itu kini menggelayuti H. Abdul Wahid, 63 tahun, wartawan dan redaktur ekonomi hatian Berita Buana. Ia, Sabtu pekan lalu, divonis majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Sulaiman Efendi, dengan hukuman 1 tahun penjara. Dosa apakah sehingga Wahid harus dibui? Hakim menganggap Wahid terbukti menyiarkan berita yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat, padahal sepatutnya ia mengetahui bahwa berita itu bohong. "Berita yang dapat menimbulkan keonaran" itu tak lain dari berita Berita Buana edisi 14 Oktober 1988, dengan judul: Banyak makanan yang dihasilkan ternyata mengandung lemak babi. Pada awal bulan ini, Wahid mendapat bahan berita berupa enam lembar fotokopi hasil penggandaan cendekiawan muslim Al Falah, Surabaya. Bahan itu disebut sebagai kutipan majalah Canopy terbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Isinya -- ini yang gawat -- daftar 63 jenis makanan "mengandung bahan yang dicurigai". Belakangan ketahuan bahwa ada penambahan jumlah daftar jenis makanan. Sebab, tulisan asli yang merupakan penelitian Dr. Tri Susanto, baik yang disiarkan Al Falah maupun Canopy, hanya memuat 34 macam makanan. Cukup lama bahan itu di tangan Wahid. Baru pada 14 Oktober -- dua minggu setelah menerima bahan itu -- Wahid membuat berita tentang itu. Berita itu dilengkapinya dengan mempertanyakan ketegasan sikap pemerintah, dan sekaligus pemberitahuan agar konsumen hati-hati dengan makanan yang syubhat (diragukan). Sedang kata "ternyata" diakui Wahid sebagai salah ketik, "mestinya berbunyi diragukan," kata Wahid. Jaksa Soeryadi W.S. menganggap Wahid ceroboh, tanpa konsultasi atasan, langsung saja menyerahkan naskah beritanya ke bagian komputer untuk dicetak. Akibat berita itu, timbul reaksi keras masyarakat. Dampaknya, kata jaksa, sejumlah produk mengalami penurunan omset drastis. Kecap ABC, misalnya, menurut saksi F.X. Budiman, mengalami penurunan 25 persen. Sedang Bango lebih parah, penjualannya turun sampai 75 persen. Wahid secara jantan mengaku sebagai penulis berita itu. Tapi yang menjadi persoalan mengapa bukan pemimpin redaksi yang diseret ke pengadilan -- seperti yang tersebut dalam pasal 15 ayat 1 UU Pokok Pers. "Bukan wewenang majelis untuk menilai produk undang-undang. Dan kami mengadili Wahid berdasar pelimpahan tanggung jawab dari pemimpin redaksi. Di persidangan terbukti dia penulis berita itu," kata Sulaiman. Sementara itu, Prof. Oemar Senoadji, bekas ketua MA dan ahli hukum pers, berbeda pendapat dengan hakim. Dulu, katanya, asas pidana tidak mengenal pertanggungjawaban suksesif (bisa diwakilkan) dan Sktif (si wakil harus siap menanggung risiko). "Lo, kok sekarang dikenal pertanggungjawaban fiktif dan suksesif. Ini bertentangan dengan asas hukum pidana." Katanya, sebaiknya UU Pokok Pers, khususnya pasal 15, ditinjau kembali. Soal pelimpahan tanggung jawab, menurut pengacara terdakwa, T.M. Abdullah, sangat tidak wajar bahkan hipokrit dan munafik. "Yang bisa dilimpahkan adalah hak dan kewajiban, bukan kewajiban saja. Ini tidak adil," ujarnya. Sebagai komandan, katanya, tidak semestinya pemimpin redaksi cuci tangan. "Saya kasihan pada reporter. Tidak ada kepastian hukum untuk ketenangan kerja mereka," katanya. Tak kalah keras Wahid sendiri. Ia, yang sejak 1971 bekerja di Berita Buana, menganggap penyidangan dirinya tidak tepat. Katanya, setiap titik, koma, bahkan sampai iklan, semua yang bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi. "Saya diinterogasi karena tulisan, tapi pimpinan diam saja." Ia juga menyesalkan, mereka yang terlibat pembuatan Undang-Undang Pokok Pers, tak satu pun yang bersuara. "Bicara dong pembuatnya, Dewan Pers, Menpen, DPR, Kehakiman. Kenapa mereka diam?" katanya. Atasannya sendiri, Sk. H. Wibowo, menolak ditemui TEMPO. Ternyata, selain Wahid, sudah ada sejumlah wartawan diadili mewakili pemrednya. Misalnya Syukri Burhan, ketua redaktur pelaksana Pos Kota yang sekarang tengah diadili karena dianggap mencemarkan nama baik seorang jaksa. Sebelumnya, pada 1967, wartawan Merdeka Alimudin Arahirn divonis hukuman percobaan 2 tahun, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Agaknya, daftar ini akan terus bertambah, selama pasal pelimpahan tanggung jawab itu masih dipertahankan. Siapa menyusul? ARM ~~dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo