Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengkaji lereng kembang cirebonan

H. ibnu hajar dituduh menjiplak batik buatan cv gunung jati, cirebon, milik h. abed menda, sejumlah 6000 potong. ibnu berpendapat bahwa ciptaan abed itu tradisional yang sudah menjadi milik umum.

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATIK Cirebonan sedang meledak. Tak hanya di pasaran, tapi juga di pengadilan. Pengadilan Negeri Sumber, Cirebon, Jawa Barat, misalnya, pekan-pekan ini terpaksa menyidangkan seorang produsen batik, H. Ibnu Hajar. Pengusaha itu dituduh telah menjiplak batik buatan CV Gunung Jati di Trusmi, Cirebon, milik H. Abed Menda, yang telah didaftarkan di Direktorat Paten dan Hak Cipta. Jaksa Uri Hasan Basri menuduh Ibnu, 42 tahun, telah menjiplak batik kontemporer paksinagaliman berlogo Pemda Cirebon, lereng kembang Cirebonan berlogo PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), dan lereng sirkit juga berlogo PGRI. Namanya menjiplak, stempel CV Gunung Jati pada kain batik itu juga diganti dengan stempel H. Ibnu Hajar. Selain itu, Ibnu juga mengganti logo PGRI menjadi logo YPLP (Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan, sebuah yayasan milik PGRI). Sedang batik paksinagaliman berlogo Pemda Cirebon diubah menjadi logo Pemda Tangerang. Begitu juga, batik lereng sirkif dengan logo PGRI diganti logo YPLP. Total batik yang dijiplaknya, kata jaksa, tak kurang dari 6.000 potong. Masih menurut jaksa, Ibnu menjual produk contekannya itu rata-rata Rp 500 lebih murah dibanding bikinan Abed. Tapi bukan itu yang menjadi soal bagi Abed. "Bagi saya, soal keuntungan material nomor dua. Tapi ciptaan yang dijiplak itu tak bisa dinilai dengan uang," kata Abed. Desain itu, cerita Abed, diciptakan pada 1984. Dua tahun kemudian PGRI menyetujui motif tersebut untuk dipakai seragam guru di seluruh Indonesia. Pada 1986 Abed mendaftarkan desainnya ke Direktorat Paten dan Hak Cipta. Celakanya, sebelum Abed memasarkan batik kontemporernya, ~uru-~uru di beberapa daerah telah memakai batik Cirebonan tersebut, yang berlogo YPLP. Abed baru sadar ciptaannya telah dijiplak setelah pihak PGRI menegurnya dan memerintahkan agar ia menghentikan produksi batik berlogo YPLP itu. Padahal, Abed tak pernah memproduksinya. Setelah diselidiki, ternyata penjiplaknya pengusaha asal Trusmi juga, Ibnu Hajar. Tak ada jalan lain, Abed melaporkan Ibnu kepada polisi. Berkat pengaduan itu, Ibnu terpaksa menghentikan produk batiknya yang berlogo YPLP, Pemda Tangerang d~n Cirebon. walau pesanan terus mengalir. "Saya sendiri tak tahu Abed punya batik dengan motif yang sama dengan saya," kata Ibnu. Dan sudah jadi kebiasaan di kalangan pengusaha batik, khususnya di Trusmi, memproduksi motif yang lagi ngetrend. "Motif begitu kan sudah ada sejak nenek moyang," ujarnya. Toh akhirnya Ibnu harus duduk sebagai terdakwa. Sampai kini ia tetap berpendirian bahwa motif batik Cirebonan Abed adalah tradisional. Maksudnya, ciptaan semacam itu sudah menjadi milik umum (public domain). "Ciptaan Abed itu sepenuhnya tradisional, yang tak jelas siapa penciptanya. Dan karena itu, semua orang boleh memproduksinya. Seni batik itu warisan nenek moyang kita," kata Ibnu. Karena itu, Ibnu Hajar menuding Ditjen Paten dan Hak Cipta sebagai biang masalah, karena menerima saja pendaftaran hak cipta Abed. "Biang sengketa sebenarnya Ditjen Paten dan Hak Cipta. Kenapa tidak dicek dulu apakah barang yang didaftarkan itu tradisional atau kontemporer," ujar Ibnu. Sebaliknya Abed beranggapan bahwa batiknya kontemporer, walau ciri khas lereng tetap dipertahankan. Sebab, kalau tanpa lereng, bukan lagi batik. Hanya saja, lereng tradisional umumnya lurus-lurus atau lereng rusak. "Saya mengubahnya menjadi meliuk-liuk, dan ujungnya lancip. Saya yakin, batik tradisional tak ada motif begitu," katanya. Selain itu, pada ciptaannya, Abed memunculkan gunungan - pada batik tradisional tak dikenal. "Gunungan itu identitas khas Cirebonan yang berarti bercita-cita tinggi," katanya. Yang bisa dijelaskan lagi adanya kembang patron. Gambar itu dimaksudkan sebagai lambang keharuman abadi citra guru. "Tombak-tombak lereng yang meliuk-liuk itu merupakan lambang pendobrak kebodohan," tambahnya. Siapa yang benar? Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik Departemen Perindustrian, Nyonya Ir. T.T. Suryanto, di persidangan dengan tegas mengatakan motif batik buatan Abed adalah motif batik tradisional yang sudah dikembangkan. "Bukan motif tradisional murni," katanya. Sedang batik kontemporer adalah produk batik yang sama sekali tak mengandung ornamen tradisional. Saksi ahli, Subekti Hadikusumo, yang mahir mengenai batik Cirebonan, punya pendapat lain lagi. Menurut Subekti, batik tradisional ciptaan nenek moyang itu tak pernah tumbuh dan beberapa jenis malah sudah menghilang. Soal hak cipta, ia mengumpamakan irama tarling (kesenian khas Cirebon). "Iramanya masih tarling tapi aransemennya sudah disesuaikan dengan selera masa kini," katanya. Jadi, pada irama tarling, siapa pun tak berhak mengklaim sebagai penciptanya. Tapi si pembuat aransemen berhak mengaku sebagai penciptanya. "Penciptaan itu merupakan proses berkesinambungan. Tapi produk akhir, ya, itu hak cipta yang menciptakannya," kata Subekti. Pengacara Abed Menda, Ricky Umar Angkawijaya, lebih melihat kasus ini bukan dari motif batik kontemporer atau tradisional. Masalah pokok, katanya, karya Abed itu sudah dipatenkan di Direktorat Paten dan Hak Cipta yang dilindungi UU Hak Cipta. "Pembajakan hak cipta ini akan menghambat kreativitas, sehingga batik sebagai ciri budaya bangsa tidak akan berkembang," katanya. W~Y d~an H~asan S~yukur (Biro ~Bandun~g)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus