HANYA tiga pekan anak itu mengalami sesuatu yang selama ini tak
pernah dikenalnya: dicintai oleh seorang ibu. Sampai pekan lalu,
Iwan Setiawan, anak itu, tidak pernah lepas dari pangkuan Nyonya
Venning, yang khusus datang dari Belanda untuk mengadopsi Iwan.
Namun, Senin pekan ini, Nyonya Venning terpaksa meninggalkan
Indonesia. Ia kembali ke negerinya dengan tangan hampa.
Iwan pun tak akan lagi bisa bergantung di leher si calon ibu
yang biasanya asyik merajut sweater di lobi Hotel Raden Saleh,
Jakarta Pusat- sebuah sweater untuk si bocah. Dalam umur yang
sangat muda, empat tahun, Iwan harus mengalami kehilangan. "Saya
merasakan ini sebagai malapetaka, " ujar Nyonya Venning, 45
tahun. Wanita Belanda ini memang bermaksud menjadi ibu Iwan. Ia
tidak mendapatkan seorang anak pun dari perkawinannya yang sudah
11 tahun.
Sumber malapetaka yang dimaksud Nyonya Venning tidak lain adalah
Surat Edaran Mahkamah Agung No.6/ 1983 yang dikeluarkan tanggal
30 September lalu. Surat itu praktis menutup sama sekali pintu
bagi orang asing untuk mengadopsi anak-anak Indonesia. Sebab,
salah satu syarat untuk pengangkatan anak dalam peraturan itu:
calon orangtua angkat sudah harus berdiam di Indonesia
sedikitnya tiga tahun.
Lahirnya surat edaran setebal 25 halaman dengan lima halaman
lampiran itu - surat edaran terpanjang dalam sejarah Mahkamah
Agung - membuyarkan segala kemudahan untuk adopsi bagi orang
asing. Ketua Mahkamah Agung, Mudjono, tidak bersedia berkomentar
banyak atas lahirnya produk yudikatif yang menyerupai
undang-undang itu. "Yang jelas, adopsi itu ternyata lebih banyak
akibat negatif daripada positifnya," ujar Mudjono pendek.
Namun, yang pasti, surat edaran itu merupakan perbaikan dari
peraturan sebelumnya yang dikeluarkan tahun 1979. Peraturan lama
itu muncul akibat semakin banyaknya yayasan yang mengusahakan
adopsi anak untuk orang asing sejak tahun 1970. Sementara itu,
peraturan yang ada, peninggalan Belanda, Staatsblad tahun 1917 -
yang dijadikan dasar hukum untuk mengadopsi anak Indonesia oleh
orang asing waktu itu - terasa tidak sesuai lagi dengan keadaan.
Namun surat edaran 1979 itu ternyata masih mengandung
lubang-lubang untuk disalahgunakan. Ekses buruk akibat banyaknya
permintaan orang asing untuk mengangkat anak Indonesia sering
terjadi. Misalnya, beberapa kasus penculikan anak dan bayi
terungkap di pengadilan. Salah satu peristiwa penculikan yang
menghebohkan adalah kasus Kurniaty alias Mijah yang diangkat
anak oleh keluarga Belanda, De Best. (TEMPO, 13 November 1982).
Kasus semacam Kurniaty terjadi pula di berbagai daerah. Seorang
gadis kecil, Halimah, 6 tahun, hilang dari rumah orangtuanya di
Desa Sampang, Madura, Maret 1981. Selama enam bulan ayah gadis
itu, seorang petani bernama Tegil, sibuk mencari anaknya.
Ternyata, si gadis telah sampai di Negeri Belanda dan menjadi
anak angkat di sana.
Dari pengusutan polisi kemudian, Halimah rupanya dicuri
Muslimah, seorang wanita yang masih punya hubungan keluarga
dengan Tegil. Muslimah kemudian menyerahkan gadis itu kepada
seseorang dengan harga Rp 100 ribu. Dalam akta notaris Muslimah
mengaku sebagai ibu anak itu dan mendapatkan Halimah dari
hubungan luar nikah dengan seorang lelaki yang melarikan diri,
Dari orang itu kemudian Halimah berpindah tangan ke Yayasan
Anak Sejahtera di Surabaya yang kemudian diadopsi orang Belanda
(TEMPO, 21 Agustus 1982).
Praktek semacam itulah yang akhirnya membuat pemerintah turun
tangan. Dimulai oleh gubernur Jawa Timur, Sunandar Priosudarmo,
April 982, yang memerinahkan semua pengdilan di wilayahnya
menghentikan adopsi anak oleh orang asing. Perintah itu
diperkuat oleh surat edaran dari Pengadilan Tinggi Jawa Timur.
Nah, dari peraturan itulah pemerintah pusat kemudian tertarik
untuk melihat masalah ramai-ramai adopsi itu secara nasional.
Tahun itu juga diadakan rapat antar departemen dengan
mengikutsertakan aparat keamanan. Hasilnya, Mahkamah Agung
diminta menata kembali aturan hukum untuk adopsi sambil menunggu
undang-undang baru dari DPR.
Barulah September lalu surat edaran itu dikeluarkan setelah
digarap hampir setahun. Sejak hari itu semua kegiatan adopsi
anak oleh orang asing dihentikan. "Usaha yayasan semacam itu
telah mengarah ke komersialisasi," ujar Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Alamsyah menjelaskan kebijaksanaan
pemerintah. Menteri Sosial Nani Soedarsono bahkan menyebutkan,
ada yayasan yang kini sudah berpraktek seperti "peternakan
bayi" di Malang, Jawa Timur. la tidak menyebut secara persis
yayasan apa yang dimaksudnya.
Alamsyah mengakui, tidak mempunyai data pasti tentang jumlah
bayi yang sudah dikirim ke luar negeri selama ini. Setiap
yayasan mempunyai angka berlainan tentang anak-anaknya yang
sudah diangkat orang asing. Namun, diperkirakan berkisar 20
sampai 30 anak setiap bulan. Di Pengadilan Negeri Surabaya saja
tercatat 400 anak yang diadopsi orang asing selama tahun 1981.
Dan, menurut seorang sumber di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
tahun ini saja ada 19 orang anak Indonesia yang pindah ke
negara orang.
Hasrat memungut anak Indonesia tampaknya memang besar. Setelah
surat edaran Mahkamah Agung keluar,ternyata masih saja ada
orang-orang yang datang ke Indonesia untuk menjemput calon
anak angkat mereka. Di antaranya Nyonya Venning yang gagal
menjemput Iwan. Juga empat keluarga Eropa lainnya yang pekan
lalu masih mencoba menunggu permohonan mereka untuk minta
dispensasi dari Mahkamah Agung. Mereka telah telanjur datang ke
Indonesia. Di antaranya Yolanda Elsener, 33 yang datang bersama
suaminya untuk menjemput "adik" bagi anak angkatnya, Nadine, 4
tahun. Nadine, anak angkat pertama keluarga Elsener, juga
berasal dari Indonesia.
"Kami mencarikan Nadine adik yang satu asal, dari Indonesia,
agar ia benar-benar merasa mempunyai adik," ujar Yolanda sambil
memberikan susu kepada si calon adik seorang bayi laki-laki
berkulit cokelat, berambut hitam. Soleh, nama bayi itu yang
berusia tiga bulan, beberapa menit kemudian terlelap di pangkuan
Yolanda.
Harapan Yolanda dan para calon ibu angkat lainnya ternyata juga
sia-sia seperti harapan Ny. Venning. Permohonan dispensasi
mereka telah diperkuat oleh perwakilan negara-negara asal
mereka, toh Mahkamah Agung sampai pekan lalu tidak bergeming.
"Tidak satu pun yang akan diberi dispensasi," ujar ketua
Mahkamah Agung, Mudjono, kepada TEMPO.
Yolanda menangis. Si Nadine tak akan mendapatkan adik sebangsa.
Sang ibu angkat harus berpisah dengan Soleh. Sabtu pekan lalu,
di Hotel Raden Saleh. Matanya masih berkaca-kaca ketika menunggu
keberangkatan Garuda ke Amsterdam sore itu di Lapangan Udara
Halim Perdanakusuma. "Saya merasa sedih dan kehabisan akal. Saya
meninggalkannya karena terpaksa tanpa pilihan lain," ujar
Yolanda sesaat sebelum meningalkan Indonesia.
Hanya ia belum putus berharap: ia meninggalkan surat kuasa
seperti yang dilakukan rekan-rekannya yang lain kepada
Pengacara O.C. Kaligis untuk mengurus kemungkinan pengangkatan
anak-anak itu. Kalau kemungkinan itu ada.
Malapetaka, kata Nyonya Venning. Tapi yang terburuk barangkali
dialami oleh Iwan, oleh Soleh, dan oleh ratusan anak dan bayi
yang telanjur diterima belasan yayasan di beberapa kota besar.
Apalagi surat edaran Mahkamah Agung disusul oleh keputusan
Menteri Sosial yang hanya mengizinkan lima yayasan beroperasi
dalam hal adopsi di lima kota di Jawa.
Berarti, yayasan-yayasan lainnya harus menyetop segala usahanya
untuk mengadopsi anak bagi orang asing. "Mau saya kemanakan 74
anak dan bayi terlantar yang ada dalam asuhan kami?" ujar
penasihat Yayasan Bina sejahtera Nyonya Jeanne Marie Tumewu,
yang terkena peraturan itu.
Ny. Tumewu, 50, mengatakan telah menghubungi Yayasan Sayap Ibu -
satu-satunya yayasan yang mendapat Izin Departemen Sosial untuk
Kota Jakarta - dengan maksud menyerahkan anak-anak yang
ditampungnya. Tapi, kata Ny. Tumewu, Sayap Ibu pun ternyata
sudah kewalahan. Mereka menolak diberi beban tambahan yang
datang dari Yayasan Bina Sejahtera.
Nasib yang sama dengan anak-anak dari Bina Sejahtera juga
dialami 30 bayi di Yayasan Budi Wahyuni. Bidan Budi Wahyuni,
yang mengelola yayasan itu mengatakan, juga pernah ingin
memindahkan asuhannya ke sayap Ibu. Tapi tanpa hasil. "Dengan
keadaan seperti saat ini, saya hanya bisa bertahan sampai enam
bulan. Sesudah itu kita lihat saja nanti," ujar Wahyuni, yang
membuka yayasannya di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang.
Akibat yang tak kalah buruknya juga dialami oleh pihak lain:
para calon Ibu yang berniat menyerahkan bayinya ke
yayasan-yayasan itu. Sampai pekan lalu, mereka yang ingn
menyerahkan anak ke Yayasan Bina Sejahtera masih berdatangan.
Misalnya Nani (bukan nama sebenarnya). Ia seorang wanita yang
baru tiga hari melahirkan anak. Ibu muda, berusia 17 tahun ini -
dan masih duduk di bangku sebuah SMP di Solo - mengatakan tidak
punya pilihan lain kecuali menyerahkan anaknya itu ke yayasan.
Sebab, pacarnya - bapak dari anak itu - telah tewas beberapa
bulan lalu karena kecelakaan lalu lintas. "Habis, bagaimana mau
saya bawa pulang ke kampung. Saya malu," ujarnya.
Bayi korban "kecelakaan" seperti anak Nani itu memang yang
terbanyak ditampung oleh yayasan selama ini. Menurut Ny. Tumewu,
sebagian besar dari bayi yang diterima Yayasan setiap bulan
(rata-rata 40 anak) berasal dari hubungan di luar nikah.
Cerita yang sama diungkapkan pula oleh Ida Bagus Agung, pengurus
Yayasan Panca Dharma yang memiliki Rumah Sakit MKGR di dekat
Malang, Jawa Timur Ida mengaku saat ini masih menampung 20 orang
wanita hamil yang menunggu kelahiran di rumah sakit itu.
"Sebetulnya, yang mendaftar hampir seribu orang, tapi saya
tolak karena ada larangan adopsi itu," ujar Ida. Ia khawatir,
wanita-wanita yang hamil di luar nikah.itu akan banyak yang
bunuh diri akibat ditutupnya pintu untuk adopsi bayi atau anak
bagi orang asing.
Jika larangan itu diteruskan, menurut Ida banyak anak akan
telantar, dan itu membahayakan masyarakat. Mereka tumbuh jadi
besar tanpa ada yang merawat dan tidak diterima lingkungannya.
"Ini akan menimbulkan gejolak sosial karena jumlahnya banyak
sekali," tutur Ida lagi.
la membantah keras tuduhan Menteri Sosial Nyonya Nani Soedarsono
bahwa usahanya itu seperti "beternak manusia." "Kalau memang
sengaja mengawinkan lelaki dan perempuan agar menghasilkan
keturunan di rumah sakit, itu baru artinya beternak," kata Ida
dengan keras. Ia tetap meyakinkan, usahanya itu semata-mata
didorong oleh rasa kemanusiaan. Rekannya, Suryonegoro,
sekretaris MKGR Jawa Timur - sebuah organisasi pendukung Golkar
- cepat-cepat menambahkan, "kalau usaha kemanusiaan ini
diributkan, lebih baik saya tutup saja."
Tapi rupanya rasa kemanusiaan itu tergantung dari sisi mana
orang melihatnya. Bagi para pengurus yayasan penampung bayi
terlantar, adopsi oleh orang asing lebih bermanfaat dibanding
dengan keadaan miskin dan tak terurus di dalam negeri.
Sebaliknya, Nani Soedarsono justru melihat adopsi anak oleh
orang asing itu seperti melepaskan anak kandung ke tangan orang
lain. "Kita jangan melihat dari segi uangnya saja," ujar Menteri
sosial.
Segi uang itu pula yang dilihat Alamsyah sebagai "tidak
manusiawi." Terutama, kata Alamsyah, adopsi yang dilakukan orang
-orang asing melalui "bidan-bidan dan oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Alamsyah juga khawatlr anak-anak yang
diadopsi orang asing itu tidak akan dipelihara sebaik-baiknya.
"Yang jelas, orang asing akan tetap memiliki rasa perbedaan ras
dan warna kulit," kata Alamsyah dalam wauancaranya dengan TEMPO
pekan lalu. Diskriminasi semacam itu, menurut Alamsyah, masih
terdapat di Eropa dan Amerika. "Si anak nantinya akan menderita
seumur hidup dan tetap sebagai warga negara kelas dua. Itu 'kan
menyedihkan," katanya.
Segi lain yang diingatkan Alamsyah adalah martabat bangsa
Indonesia di mata dunia luar. "Kita 'kan terkenal sebagai bangsa
yang suka bergotong-royong, berkepribadian luhur, din religius.
Setidaknya, kita harus punya kebanggaan nasional," ujar
Alamsyah. Jika semua ini bisa disadari, menurut bekas menteri
agama itu, bangsa kita sendiri bisa mengatasi soal anak
terlantar itu tanpa menunggu uluran orang asing. "Saya tetap
menolak adopsi oleh orang asing," katanya. Ia hanya bisa
menerima adopsi oleh orang Indonesia dengan cara-cara yang
wajar dan tidak ada kasan "jual beli bayi".
Banyak organisasi wanita menyatakan mendukung "pelarangan"
adopsi oleh orang asing. Ketua Persatuan Wanita Islam
Indonesia (PWII), Nyonya Aisyah Amini, sama sekali menentang
adopsi oleh orang asing.
Menurut Aisyah, dari segi politis, adopsi semacam itu
bertentangan dengan kebanggaan kita sebagai bangsa. "Buat apa
penataran P4 kalau tidak diamalkan," ujar Aisyah.
Dari segi agama, tokoh wanita Islam itu tidak melihat adanya
pertentangan mutlak. "Sebab, disebutkan kita semua bersaudara,"
katanya. Tapi buru-buru diingatkannya, adopsi hanya dibenarkan
agama asal saja tidak memutuskan hubungan darah antara si anak
dan orangtuanya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia, Dr K.H.E.Z. Muttaqien, sependapat
dengan Aisyah. Ia hanya menambahkan agar yayasan dan keluarga
orangtua angkat, "tidak memaksakan ajaran agama yang berbeda
dari si anak bila anak angkat itu dewasa." Sebenarnya, menurut
Muttaqien, persoalan anak telantar itu merupakan tanggung jawab
umat Islam. "Sebab kebanyakan dari anak-anak itu dari keluarga
Islam," ujarnya.
Soalnya, selama ini anak-anak telantar tetap lahir, dan uluran
tangan dari kalangan Islam tampaknya belum memadai. Juga
usaha-usaha pemerintah. Sementara itu, tidak semua pihak bisa
menerima alasan mereka yang tidak setuju adopsi oleh orang asing
- setelah melihat kenyataan yang ada.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soedijono, yang pernah
mengunjungi anak-anak angkat itu di Belanda tahun lalu, cukup
gembira melihat keadaan mereka. Ia berada di negara itu selama
seminggu dan menyaksikan acara reuni anak-anak angkat yang
diselenggarakan yayasan yang menghimpunkan semua orangtua angkat
dari anak Indonesia. "Tanpa bermaksud merendahkan martabat
bangsa, saya bisa mengatakan bahwa anak-anak itu lebih baik
hidupnya daripada bila mereka masih berada pada orangtua mereka
sendiri di Indonesia,"ujar Soedijono.
Hakim itu juga tidak melihat adanya kemungkinan diskriminasi
akibat perbedaan warna kulit antara anak angkat dan orang-orang
di negara itu. Ia, katanya, sempat mengunjungi seorang insinyur
yang mengangkat juga anak Vietnam dan Afrika, selain Indonesia.
"Semua mereka bahagia kok. Baik si anak maupun orangtuanya,"
kata Soedijono.
Namun, Soedijono siap untuk melaksanakan surat edaran yang
dikeluarkan atasannya itu. "Tidak ada persoalan bagi kami, dan
kami hanya tinggal melaksanakannya," kata Soedijono. Hanya
diakui, akibat surat edaran itu praktis orang asing yang bisa
mengangkat anak Indonesia hanyalah staf kedutaan atau tenaga
ahli yang bisa berdiam lama.
Seorang hakim lainnya, Ali Budiarto, juga tidak menyangsikan
motivasi orang asing mengangkat anak di Indonesia. "Untuk
mengabulkan adopsi semacam itu, saya tidak gegabah," ujar
Budiarto, hakim yang sering memproses permohonan adopsi. Ia,
katanya, selalu meneliti persyaratan yuridis serta motif si
calon orangtua angkat. "Rata-rata salah satu dari suami atau
istrinya mandul," ujarnya.
Meskipun demikian, hakim itu mengakui sering juga terasa konflik
batin ketika ia akan mengesahkan pengangkatan anak oleh orang
asing itu. Berat rasanya, "karena anak kita akan diangkat orang
asing," katanya sambil menghembuskan asap rokoknya. Tapi yang
disayangkan Budiarto sampai kini ia belum pernah menerima
permohonan pengangkatan anak dari orang Indoneia asli. "Mungkin
karena orang Indonesia mengambil dari anak saudaranya atau
memilih-milih anak angkatanya.
Suara setuju adopsi jelas-jelas datang dari mereka yang terlibat
dalam urusan itu. "Kalau benar ada unsur kriminal dari usaha
pengangkatan anak, seharusnya unsur itu saja yang ditindak,"
ujar Kaligis, kuasa Yayasan Bina Sejahtera. Ia juga mewakili
ibu-ibu "bule" yang gagal membawa anak angkatnya pekan lalu.
Kaligis tidak bisa menerima alasan anak-anak itu akan menjadi
korban diskriminasi di luar negeri. "Justru di negara-negara
maju itu orang tidak peduli lagi tentang warna kulit," katanya.
Ia malah menyatakan keheranannya bila pemerintah mengkhawatirkan
nasib anak-anak Indonesia di luar negeri. "Mereka lebih makmur
daripada saudara mereka yang ada di negeri kita," ujar Kaligis.
Pendapat Kaligis didukung oleh wanita-wanita yang ingin
menyerahkan anaknya kepada orang asing, atau ibu-ibu yang sudah
telanjur anaknya diadopsi dan tmggal di negara lain. Seorang
pembantu rumah tangga, Upit (bukan nama sebenarnya), 22 tahun,
yang pekan lalu melahirkan bayi, masih berniat menyerahkannya ke
Yayasan Bina Sejahtera. "Biar hidupnya nanti senang. Kalau
diambil orang kita sendiri, sama saja nanti nasibnya," ujar
Upit yang mengaku bayinya lahir karena hubungan gelap dengan
majikannya sendiri.
Pendapat Upit dikuatkan oleh rekannya sesama pembantu, Narsih
(bukan nama sebenarnya), 24 tahun, yang pernah menyerahkan
anaknya kepada seorang dokter dari Jerman Anaknya yang lahir
akibat ia diperkosa di kampungnya, Solo, menurut Narsih, kini
telah berusia tiga tahun. Ia mengaku sering berkirim surat
kepada orangtua angkat anaknya itu dan juga mendapat kiriman
foto. Beberapa kali ia mendapat bingkisan dari orangtua angkat
si anak. Namun terkadang, katanya, ia diserang rasa rindu pada
anaknya. "Obatnya foto itu," katanya.
Kapokkah Narsih ? Ternyata tidak. Pekan lalu ia datang lagi ke
Yayasan Bina Sejahtera membawa perutnya yang sudah 7 bulan.
Kali ini ia mengaku dihamili kekasihnya seorang mahasiswa, anak
majikannya. Harapannya, anaknya yang akan lahir itu diangkat
lagi oleh ayah angkat yang sama agar bisa serumah dengan
saudaranya yang sudah Iebih dulu di sana.
Seorang wanita cantik berumur 35 tahun dan mengaku bekas wanita
"panggilan" dengan tarif Rp 3Q sampai Rp 40 ribu, Tuti (bukan
nama sebenarnya), juga menyatakan dua orang anaknya diangkat
suatu keluarga di Belanda. Ibu enam anak - hasil tiga kali
perkawinan - itu mengaku kedua anaknya terpaksa diserahkannya
kepada orang asing karena diperolehnya dari prakteknya sebagai
pelacur. "Saya lebih baik memisahkan kedua anak itu dari
saudara-saudaranya agar tidak menjadi omongan orang," ujarnya.
Dan kini, mereka, menurut Puti, telah berusia setahun dan tiga
tahun. "Orangtua angkatnya sering mengirimkan bingkisan untuk
kakak-kakak kedua anak itu," tutur Puti yang kini mengaku insaf
dari praktek P-nya dan kembali ke suami pertamanya.
la juga tidak menyesal anaknya diadopsi orang Belanda. "Kalau
dipikir-pikir, lebih senang jika semua anak itu dalam asuhan
saya. Tapi, demi masa depan mereka sendiri, saya harus
merelakannya,'ujar Puti.
Seperti Puti, Suryati menyerahkan tiga anaknya kepada keluarga
asing di Belanda. Ini terpaksa, katanya, karena keadaan
ekonommya yang payah "Saya harap mereka bisa mendapatkan
pendidikan yang baik dengan jalan begitu, " ujar Suryati yang
kini tinggal dengan tiga anaknya yang lain. Ketiga anak yang
tetap dipeliharanya itu kini mendapat santunan setiap bulan
masing-masing Rp 10 ribu dari orangtua angkat anaknya yang di
Belanda. Suryati tidak pernah menerima kiriman surat dari
orangtua angkat anaknya. Kiriman yang datang hanya berupa foto.
Mata wanita itu berair ketika membuka album anaknya, Ibrahim,
yang kini ada di negeri orang. "Tapi biarlah agar hidupnya lebih
baik," katanya menghibur diri.
Setuju pada adopsi pasti tidak cuma merupakan sikap Puti,
Suryati, dan lain-lain. Orang-orang asing, yang jauh-jauh datang
untuk memungut anak, punya alasan yang tak kalah kuatnya.
Yolanda Elsener, wanita Swiss itu, misalnya. Motivasinya
mengangkat anak adalah karena rasa kemanusiaan - dan kehidupan
keluarganya sendiri yang tidak punya keturunan. Kami merasa
perkawinan kami hambar tanpa anak. Dengan mengangkat anak,
sekaligus kami menolong anak-anak terlantar," ujar Yolanda.
Rekan Yolanda, De Bruyen, malah menganggap aneh peraturan yang
tiba-tiba dikeluarkan pemerintah Indonesia itu. "Tidak ada yang
kami sembunyikan kepada anak-anak itu, bahkan nama Indonesianya
tetap kami cantumkan. Mereka boleh pilih dipanggil nama Belanda
atau Indonesia," kata De Bruyen yang mengaku mempunyai dua anak
angkat, Irwansyah, 5 tahun, dan Melani, 3 tahun.
De Bruyen juga tidak keberatan bila anak-anak itu nanti harus
kembali ke Indonesia. "Agama pun mereka bebas memilih," katanya.
Untuk kedua anaknya itu, menurut De Bruyen, ia mengeluarkan uang
hampir Rp 7,5 juta. Sebagian uang itu diakuinya untuk Yayasan
Bina Sejahtera asuhan Nyonya Tumewu.
Soal uang inilah yang sebenarnya menjadi alasan utama dari pihak
pemerintah untuk memperketat usaha adopsi. Usaha berbagai
yayasan yang sepintas lalu kelihatan mulia itu terkadang di mata
pemerintah memperlihatkan kecenderungan komersial. Nyonya
Tumewu, misalnya, membenarkan memasang ongkos Rp 2 sampai Rp 3
juta untuk setiap orang asing yang ingin mengangkat anak. Selain
itu, ia masih mendapat sumbangan dari donatur asing di luar
negeri. Uang itu, menurut Tumewu, ia gunakan untuk
kegiatan-kegiatan sosial dari yayasannya.
Selain untuk kegiatan sosial, seperti memelihara anak-anak
cacat, Tumewu merasa kegiatannya tidak merendahkan martabat
bangsa. Menurut penelitian PBB, kata Tumewu, pada abad mendatang
benua Eropa akan kosong, sebaliknya Asia terlalu padat.
Akibatnya, bisa terjadi kekurangan makanan di Asia, termasuk
Indonesia, karena tanah terlalu sempit. "Jadi, adopsi
antarnegara itu sebenarnya bukan persoalan gengsi nasional,
bahkan usaha itu berguna untuk kepentingan umat manusia,"
katanya.
Namun, pihak yayasan masih saja bisa dituduh pemerintah
mengkomersialkan bayi. Bayi yang dibeli murah dari ibu
kandungnya kemudian dijual mahal kepada orang asing. Sebuah
sumber yang pernah menawarkan bayi ke yayasan milik Tumewu
menyebut angka Rp 200 ribu sebagai imbalan untuknya. Padahal,
orang asing harus merogoh kocek sekitar Rp 3 juta untuk
mendapatkan bayi itu.
Tapi tentu tidak semua uang itu masuk ke kas yayasan. Sebuah
sumber menceritakan praktek yang terjadi di Yayasan Budi Wahyuni
di Kebon Kacang, Tanah Abang. Yayasan itu benar menerima harga
Rp 3 juta tu dan orang asing. Tapi sebagian uang itu, "melalui
seorang pengacara habis di pengadilan dan dinas sosial," ujar
sumber itu.
Akan selesaikah persoalan semacam itu dengan sebuah surat
edaran? Baik Nani Soedarsono maupun Alamsyah mengaku tidak. "Itu
hanya lecutan agar undang-undang untuk pengangkatan anak itu
segera keluar," ujar Alamsyah. Sementara itu, Ny.Soedarsono
merencanakan lembaga foster parent (orangtua angkat lihat
Membagi Cinta ...) sebagai alan keluar bagi anak angkat yang
kini nasibnya terkatung-katung.
Tapi semuanya itu belum sepenuhnya memecahkan masalah. Hampir
semua yayasan mengkritik cara itu. "Setiap anak tidak hanya
membutuhkan makan dan minum, tapi juga kasih sayang," ujar
Tumewu lagi.
Kasih sayang, perasaan yang paling dalam pada diri manusia,
memang tak bisa diatur dengan undang-undang atau surat edaran.
Juga transaksi terlarang tidak dapat diawasi sepenuhnya oleh
birokrasi. Jangan heran bila usaha menerobos larangan adopsi
itu akan selalu dicoba. Sebuah yayasan kecil di kawasan
Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta, menurut salah seorang sumber
TEMPO, sampai kini masih bisa melakukan adopsi untuk orang
asing. Yayasan itu mengesahkan pengangkatan anak melalui aparat
hukum di Semarang. "Untuk itu mereka keluarkan biaya Rp 700
ribu, dan semua urusan tinggal beres," ujar sumbre itu.
Keserakahan saja sudah susah diatur pemerintah, apalagi
kerinduan manusia untuk cinta kasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini