ADOPSI terhadap Kurniati alias Niah, kini 7 tahun, telah
dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang semula
mengesahkannya, karena anak itu "hasil penculikan". Tapi Pieter
Frederick de Best, ayah angkatnya di Negeri Belanda,
mempertahankannya. "Kami sangat menyayanginya," katanya.
Yus Amir, ayah kandungnya, sudah memberi kuasa kepada Departemen
Kehakiman mengurus soal itu. KBRI di Den Haag pun sudah mencari
pengacara untuk meneruskannya ke pengadilan. Tapi sampai saat
ini, perkara Mijah de Best - demikian nama barunya - masih
terkatung-katung.
Kasus seperti Mijah tergolong langka karena sejak saat itu
adopsi anak Indonesia oleh orang asing lancar-lancar saja.
Misalnya yang terjadi pada dua anak Indonesia yang diadopsi
keluarga Eppo Tar-vaan, 42, pemilik toko pakaian wanita dan anak
di Borger, Belanda.
Yang pertama lelaki berusia 10 tahun - berasal dari Jawa
Tengah dan diadopsi 1979 - kini dengan nama baru Stefan. Yang
kedua, wanita berusia 9 tahun - dari Jakarta dan diadopsi 1980 -
kini bernama Marjareika. "Kini mereka sudah menjadi warga
negara Belanda, bahkan bahasa Indonesianya hampir hilang," ujar
Ny. Tieneke Tar-Vaan, 41.
Sehari-hari mereka berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda.
Stefan duduk di kelas V, adik angkatnya di kelas III SD. "Mereka
sehat dan tumbuh dengan wajar. Hanya waktu pertama kali datang
mereka memang sulit menyesuaikan diri," kata Ny Tieneke.
Tapi, dalam waktu singkat, mereka mulai akrab dengan keluarga
baru itu. Luciana, 14, gadis anak kandung keluarga itu, senang
dengan kehadiran kedua adik angkatnya. Ketika ditanya apakah
ingin pulang ke Indonesia, mereka menjawab serempak "tidak mau."
Marjareika sering bercerita mengenai masa lampaunya di Jakarta.
"Saya sering dipukul Ayah. Ayah suka marah dan mabuk," katanya.
Orangtuanya rupanya miskin, tidak mampu menghidupi keluarganya.
Katanya, sering Marjareika makan di rumah tetangganya.
Memang menarik apa yang mendorong keluarga Tar-Vaan mengadopsi.
"Kami melihat banyak anak-anak di dunia terlantar. Bukan hanya
di Indonesia, tapi juga di mana-mana," kata Ny. Tieneke.
"Sebenarnya, kami ingin pula mengadopsi anak dari negara lain,
tapi tidak diizinkan pemerintah karena usia kami dianggap
terlalu tua," tuturnya.
Suami-istri Tar-Vaan belum pernah tinggal di Indonesia. Mereka
baru dua kali kemari ketika mengambil Stefan dan Marjareika.
Lain halnya dengan suami-istri Astier dari Paris, Prancis.
Mereka pernah tinggal di sini selama empat tahun sejak 1977.
Bahkan saling berkenalan di Indonesia pula.
Pasangan ini, yang masing-masing hampir berusia 45 tahun, sudah
dikaruniai seorang anak lelaki, Emmanuel, 6 tahun. "Tapi kami
masih ingin memiliki seorang lagi. Sayang, karena pertimbangan
kesehatan, saya tidak mungkin melahirkan lagi. Padahal, kami
mampu membesarkan beberapa anak lagi," ujar Ny. Astier, yang
ditemui Nasir Tamara koresponden TEMPO, di Paris.
Itulah sebabnya, pertengahan tahun lalu, mereka mengadopsi
seorang bayi berusia 1« bulan dari sebuah yayasan - Ny. Astier
enggan menyebut namanya - diJakarta. "la lahir di luar
pernikahan. Ibunya masih ada, tapi kami tak pernah berhubungan
dengannya," tutur Ny. Astier. Kini anak itu, Marie namanya,
berusia 18 bulan.
Ia tampak sehat, gigi-giginya mulai tumbuh. Sifatnya periang dan
lincah, suka lari ke sana kemari. "Marie suka bergaul dengan
anak-anak sebayanya. Mula-mula ia agak cengeng dan tak bisa
melawan bila diganggu. Tapi sekarang malah ia yang suka
mengganggu," tutur Ny. Astier tertawa.
Ada kebiasaan Marie yang terbawa dari kampungnya: senang
digendong dan diayun-ayun. "Bayi Prancis tidak begitu. Tapi saya
pikir ini kebiasaan yang baik juga. Suami saya suka menggendong
dan mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia," katanya
lagi.
Ia ingin memberi kesempatan kepada Marie melihat negeri asalnya.
"Tapi di samping itu janganlah mereka sampai punya perasaan
seolah-olah sebagai anak tiri atau warga negara kelas dua,"
katanya. Sikap seperti ini mungkin membikin tenteram hati
ibu-ibu kandung yang ditinggalkan.
Misalnya Emma (nama samaran), 24, yang merelakan bayinya,
Jefferson, diadopsi Daniel dari Negeri Belanda. Gadis cantik ini
terpaksa berpisah dengan anak yang lahir di luar nikah, "demi
kehormatan keluarga". Sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan
di Pasuruan, Jawa Timur, setiap malam Emma bersembahyang
tahajjud memohon kepada Tuhan agar anaknya menjadi anak saleh.
Ia juga tidak mengkhawatirkan keselamatan anaknya. "Sebab,
setiap tahun, ada reuni anak-anak adopsi yang diselenggarakan
KBRI di Den Haa." katanya. Ia yakin, suatu ketika bisa berjumpa
dengan anaknya. "Sebab, dia darah daging saya," ujarnya mantap.
Perasaan seperti itu juga menghinggapi Poniti (bukan nama
sebenarnya), 30 tahun, pembantu rumah tangga asal Lamongan, Jawa
Timur.
Dua tahun lalu, bayi perempuan hasil hubungan gelap dengan
majikannya diadopsi Jeans Lanting - juga dari Negeri Belanda,
lewat RS MKGR - Sukorejo, Jawa Timur. "Soal kangen sih, memang
kangen. Tapi saya serahkan kepada Tuhan . KaIau Tuhan
menghendaki, pasti kelak kita bisa bertemu," katanya. Anak itu
kini bernama Kelly.
Tidak demikian dengan Ny. Nonik (bukan nama sebenarnya) yang
tinggal di sebuah gubuk diCipinang Besar, Jakarta Timur. Dari 10
anaknya, dua diserahkan kepada sebuah yayasan. Seorang di
antaranya, 1979, diadopsi sebuah keluarga dari Negeri Belanda.
Sudah dua kali, 1981 dan 1982, Ny. Nonik - yang sehari-hari
berjualan kue-kue dari sekolah ke sekolah itu - mendapat kiriman
foto anaknya yang kini bernama Lena. "la anak yang manis,
pertumbuhannya baik. Bulan Agustus 1981 sekolah di SD. Dia
cerdas," tulis ayah angkatnya dalan sebuah surat.
"Saya tidak mengira sekarang ia kelihatannya begitu sehat. Dulu
badannya kurus, hanya matanya yang besar," kata Ny. Nonik.
"Kalau kelak ia dapat membaca dan menulis saya ingin menulis
surat kepadanya, bercerita tentang kcadaan di sini. Perasaan itu
selalu terlintas di benak - sewaktu hendak tidur," katanya lagi
dengan mata berkaca-kaca. . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini