Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Di negeri jauh itu

Adopsi terhadap kurniati, 7, dibatalkan pengadilan negeri jakarta pusat yang semula mengesahkannya karena anak itu "hasil penculikan". berbagai cerita tentang adopsi oleh orang asing. (hk)

5 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADOPSI terhadap Kurniati alias Niah, kini 7 tahun, telah dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang semula mengesahkannya, karena anak itu "hasil penculikan". Tapi Pieter Frederick de Best, ayah angkatnya di Negeri Belanda, mempertahankannya. "Kami sangat menyayanginya," katanya. Yus Amir, ayah kandungnya, sudah memberi kuasa kepada Departemen Kehakiman mengurus soal itu. KBRI di Den Haag pun sudah mencari pengacara untuk meneruskannya ke pengadilan. Tapi sampai saat ini, perkara Mijah de Best - demikian nama barunya - masih terkatung-katung. Kasus seperti Mijah tergolong langka karena sejak saat itu adopsi anak Indonesia oleh orang asing lancar-lancar saja. Misalnya yang terjadi pada dua anak Indonesia yang diadopsi keluarga Eppo Tar-vaan, 42, pemilik toko pakaian wanita dan anak di Borger, Belanda. Yang pertama lelaki berusia 10 tahun - berasal dari Jawa Tengah dan diadopsi 1979 - kini dengan nama baru Stefan. Yang kedua, wanita berusia 9 tahun - dari Jakarta dan diadopsi 1980 - kini bernama Marjareika. "Kini mereka sudah menjadi warga negara Belanda, bahkan bahasa Indonesianya hampir hilang," ujar Ny. Tieneke Tar-Vaan, 41. Sehari-hari mereka berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda. Stefan duduk di kelas V, adik angkatnya di kelas III SD. "Mereka sehat dan tumbuh dengan wajar. Hanya waktu pertama kali datang mereka memang sulit menyesuaikan diri," kata Ny Tieneke. Tapi, dalam waktu singkat, mereka mulai akrab dengan keluarga baru itu. Luciana, 14, gadis anak kandung keluarga itu, senang dengan kehadiran kedua adik angkatnya. Ketika ditanya apakah ingin pulang ke Indonesia, mereka menjawab serempak "tidak mau." Marjareika sering bercerita mengenai masa lampaunya di Jakarta. "Saya sering dipukul Ayah. Ayah suka marah dan mabuk," katanya. Orangtuanya rupanya miskin, tidak mampu menghidupi keluarganya. Katanya, sering Marjareika makan di rumah tetangganya. Memang menarik apa yang mendorong keluarga Tar-Vaan mengadopsi. "Kami melihat banyak anak-anak di dunia terlantar. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di mana-mana," kata Ny. Tieneke. "Sebenarnya, kami ingin pula mengadopsi anak dari negara lain, tapi tidak diizinkan pemerintah karena usia kami dianggap terlalu tua," tuturnya. Suami-istri Tar-Vaan belum pernah tinggal di Indonesia. Mereka baru dua kali kemari ketika mengambil Stefan dan Marjareika. Lain halnya dengan suami-istri Astier dari Paris, Prancis. Mereka pernah tinggal di sini selama empat tahun sejak 1977. Bahkan saling berkenalan di Indonesia pula. Pasangan ini, yang masing-masing hampir berusia 45 tahun, sudah dikaruniai seorang anak lelaki, Emmanuel, 6 tahun. "Tapi kami masih ingin memiliki seorang lagi. Sayang, karena pertimbangan kesehatan, saya tidak mungkin melahirkan lagi. Padahal, kami mampu membesarkan beberapa anak lagi," ujar Ny. Astier, yang ditemui Nasir Tamara koresponden TEMPO, di Paris. Itulah sebabnya, pertengahan tahun lalu, mereka mengadopsi seorang bayi berusia 1« bulan dari sebuah yayasan - Ny. Astier enggan menyebut namanya - diJakarta. "la lahir di luar pernikahan. Ibunya masih ada, tapi kami tak pernah berhubungan dengannya," tutur Ny. Astier. Kini anak itu, Marie namanya, berusia 18 bulan. Ia tampak sehat, gigi-giginya mulai tumbuh. Sifatnya periang dan lincah, suka lari ke sana kemari. "Marie suka bergaul dengan anak-anak sebayanya. Mula-mula ia agak cengeng dan tak bisa melawan bila diganggu. Tapi sekarang malah ia yang suka mengganggu," tutur Ny. Astier tertawa. Ada kebiasaan Marie yang terbawa dari kampungnya: senang digendong dan diayun-ayun. "Bayi Prancis tidak begitu. Tapi saya pikir ini kebiasaan yang baik juga. Suami saya suka menggendong dan mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia," katanya lagi. Ia ingin memberi kesempatan kepada Marie melihat negeri asalnya. "Tapi di samping itu janganlah mereka sampai punya perasaan seolah-olah sebagai anak tiri atau warga negara kelas dua," katanya. Sikap seperti ini mungkin membikin tenteram hati ibu-ibu kandung yang ditinggalkan. Misalnya Emma (nama samaran), 24, yang merelakan bayinya, Jefferson, diadopsi Daniel dari Negeri Belanda. Gadis cantik ini terpaksa berpisah dengan anak yang lahir di luar nikah, "demi kehormatan keluarga". Sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan di Pasuruan, Jawa Timur, setiap malam Emma bersembahyang tahajjud memohon kepada Tuhan agar anaknya menjadi anak saleh. Ia juga tidak mengkhawatirkan keselamatan anaknya. "Sebab, setiap tahun, ada reuni anak-anak adopsi yang diselenggarakan KBRI di Den Haa." katanya. Ia yakin, suatu ketika bisa berjumpa dengan anaknya. "Sebab, dia darah daging saya," ujarnya mantap. Perasaan seperti itu juga menghinggapi Poniti (bukan nama sebenarnya), 30 tahun, pembantu rumah tangga asal Lamongan, Jawa Timur. Dua tahun lalu, bayi perempuan hasil hubungan gelap dengan majikannya diadopsi Jeans Lanting - juga dari Negeri Belanda, lewat RS MKGR - Sukorejo, Jawa Timur. "Soal kangen sih, memang kangen. Tapi saya serahkan kepada Tuhan . KaIau Tuhan menghendaki, pasti kelak kita bisa bertemu," katanya. Anak itu kini bernama Kelly. Tidak demikian dengan Ny. Nonik (bukan nama sebenarnya) yang tinggal di sebuah gubuk diCipinang Besar, Jakarta Timur. Dari 10 anaknya, dua diserahkan kepada sebuah yayasan. Seorang di antaranya, 1979, diadopsi sebuah keluarga dari Negeri Belanda. Sudah dua kali, 1981 dan 1982, Ny. Nonik - yang sehari-hari berjualan kue-kue dari sekolah ke sekolah itu - mendapat kiriman foto anaknya yang kini bernama Lena. "la anak yang manis, pertumbuhannya baik. Bulan Agustus 1981 sekolah di SD. Dia cerdas," tulis ayah angkatnya dalan sebuah surat. "Saya tidak mengira sekarang ia kelihatannya begitu sehat. Dulu badannya kurus, hanya matanya yang besar," kata Ny. Nonik. "Kalau kelak ia dapat membaca dan menulis saya ingin menulis surat kepadanya, bercerita tentang kcadaan di sini. Perasaan itu selalu terlintas di benak - sewaktu hendak tidur," katanya lagi dengan mata berkaca-kaca. . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus