TAK hanya tuduh-menuduh terbuka antara suami-istri Nur Usman yang ramai dibicarakan. Juga kecepatan pihak kepolisian menanggapi laporan keluarga korban tentang adanya ancaman terhadap Roy sebelum ia dibunuh. Menurut versi Ny. Thea Kirana, ibu kandung korban, bersama dr. Bharya dan Irwan, ia melaporkan kepada polisi Sektor Gambir bahwa ada ancaman dari Jhoni Ayal 8 Agustus. "Kalau saja esoknya polisi membuat surat panggllan kepada pihak pengancam, saya yakin peristiwa yang dialami Roy tak akan terjadi. Dengan sendirinya pengancam itu akan takut. Soalnya, mereka pikir polisi sudah tahu," kata Ny. Thea. Roy, panggilan Irwan, diambil dan dihabisi "komplotan" Jhoni Ayal pada 10 Agustus, dua hari setelah pengaduan itu. Tapi, kapolsek Gambir, Kapten Polisi Hadi Sucipto, dalam wawancara telepon dengan TEMPO menyebutkan, "Laporan yang saya terima itu adalah laporan penhinaan, ukan adanya ancaman penculikan dan pembunuhan." Menurut Hadi, Ny. Thea melaporkan soal penghinaan suaminya (Nur Usman) terhadap dirinya di Bank of America. "Tentang ancaman penculikan dan pembunuhan, kami tak menerima laporan itu, sehingga kami tidak memperkirakannya. Semua ini ada hitam putihnya," kata Hadi lagi. Kekeliruan menuliskan laporan bisa saja terjadi. Artinya, bisa saja si pengusut salah menyimpulkan: yang diadukan cuma kasus penghinaan, seperti yang kemudian dilaporkan ke Kapolsek. Ny. Thea, ketika disodori laporan yang sudah diketik itu, anehnya, menandatangani begitu saja. Belakangan baru ia menuduh, polisi yang menetik itu memutarbalikkan pengaduan. Padahal, kalau laporan tidak cocok, atau kurang, bisa dtambah saat itu juga. Soal uang Rp 300.000 yang diberikan dr. Bharya untuk biaya operasi dibantah Hadi Sucipto. "Kalau ada anggota saya meminta uang kepada pelapor, jelas akan saya tindak. Dan hal ini sampai sekarang tidak pernah ada," kata kapolsek Gambir itu. Pengaduan masyarakat ke polisi memang tak pakai embel-embel uang. Tetapi kapolda Metro Jaya, Mayjen Soedjoko, kepada TEMPO mengatakan, boleh saja anak buahnya menerima pemberian dari masyarakat pelapor apabila itu dimaksudkan ikut menunjang pekerjaan polisi. "Polisi 'kan dananya terbatas juga," katanya. Namun, uang bukan ukuran bai polisi untuk tanggap atau tidak terhadap laporan. Kepala Pusat Koordinasi dan Pengendalian Operasi (Puskodalops) Polda Metro Jaya, Letkol Pol. Tri Wibowo, menyebutkan, setiap laporan diteliti dulu, mendesak atau tidak. Kalau sifatnya tidak mendesak, laporan dimasukkan data komputer, lantas data ini dikirimkan ke Direktorat Reserse, ke Puskodalops, dan lembaga ini memberi perintah ke pos terdekat. Jika sifatnya mendesak, penerima laporan terus menyampaikan ke Puskodalops. Kemudian piket reserse meluncurkan pasukan, jua satuan Sabhara yang sedang berpatroli diribatkan. Yang penting buat polisi, laporan itu benar dan lengkap. Jika lewat telepon 510110, polisi minta identitas pelapor. "Sebab, sering terjadi telepon palsu," kata Tri Wibowo lagi. Untuk yang datang sendiri, pelapor bisa mengecek setelah diproses, apakah laporannya sudah lengkap atau kurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini