PENGURUS klaim pembayaran asuransi Jasa Raharja bisa berjalan mulus - tapi terkadang berbelit. Tapi jika lewat perantara, semua urusan bisa cepat dan mudah, namun sering menimbulkan kasus. Bulan lalu, misalnya, di PT Jasa Raharja Cabang Denpasar, Bali, terbongkar kasus penipuan pembayaran klaim karena pemalsuan surat-surat yang sempat merugikan perusahaan milik pemerintah itu sampai puluhan juta rupiah. Menurut kepala Bagian Humas Jasa Raharja Pusat, Paulus Supardjo, kejadian di Bali itu bukan kasus yang pertama. Di beberapa daerah sudah sering dijumpai. "Bahkan di Medan jumlahnya lebih besar," kata Paulus tanpa menyebutkan angka. Kejadian di Medan itu pada tahun 1983. Kasus di Bali juga terjadi sekitar tahun lalu - bahkan diduga jauh sebelumnya. Otaknya, untuk sementara, baru diketahui seorang, yang kebetulan oknum polisi lalu lintas di Polres Gianyar. Oknum itu, Sersan Dua (Pol.) Sutapa (bukan nama sesungguhnya), diduga punya )aringan yang meli atkan orang daram di Jasa Raharja. Belum diketahui pasti kapan Sutapa memulai aksinya. Namun, sebuah sumber di Kepolisian menyebutkan, penipuan itu sudah berlangsung selama lima tahun. Sutapa, yang dikenal pula sebagai calo urusan klaim ihi, seak pertengahan Agustus 1984 diusut dan ditahan. Cara penipuannya ternyata tak berbelit. Polisi ini, yang dikatakan gemar main judi sabung ayam, mengajukan nama korban kecelakaan fiktif yang terjadi d Kabupaten Gianyar, wilayah kesatuannya. Surat-surat identitas korban dipalsukan semua. Ia memiliki sejumlah stempel, dari stempel perbekel (setingkat kelurahan), camat, sampai stempel rumah sakit. Tanda tangan kepala RSU Gianyar, dr. I Gusti Lanang Rudiarta, juga dipalsukan, seolah-olah dokter ini mengeluaran visum kematian karena kecelakaan lalulintas. Dengan pengantar surat-surat palsu ini, Sutapa berangkat ke Denpasar mengambil formulir model K-I, yakni formulir untuk menuntut asuransi kematian. Setelah formulir itu disiapkan, Sutapa baru mencari orang yang bisa dijadikan ahli waris fiktif pula. Biasanya, dipilihnya orang desa yang buta huruf, tetapi punya KTP. Dengan mengajak orang ini ke kantor Jasa Raharja, tanpa diberi penjelasan untuk maksud apa, klaim asuransi pun keluar. Wayan Leteng, 45, pesuruh sebuah sekolah swasta di Gianyar, pernah dijadikan Sutapa sebagai ahli waris palsu. "Mula-mula KTP saya dipinjam, esok harinya saya diajak ke Denpasar," kata Wayan Leteng menuturkan. Di kantor Jasa Raharja, Wayan Leteng disuruh menunggu sebentar di luar, sementara Sutapa, yang memang sudah dikenal akrab dengan karyawan Jasa Raharja, masuk. Tak lama kemudian, Leteng dipanggil masuk oleh pegawai Jasa Raharja. Ia diminta menandatangani sejumlah formulir dan kuitansi dengan cap jempol - maklum, buta huruf. Selesai itu, ia menerima bungkusan. "Saya tak tahu apa isi bungkusan ltu. Begltu sampai di luar kantor, bungkusan diambil polisi itu," tutur Leteng. Tentu saja bungkusan itu berisi uang. Dan untuk cap jempol itu, Wayan Leteng mendapat "honor" Rp 5.000. Ia senang, apalagi ongkos bis Gianyar- Denpasar ditanggung Sutapa. "Saya baru tahu itu penipuan setelah kemudian dipanggil polisi, dimintai keterangan," katanya pula. Sudah banyak "ahli waris fiktif" yang diperiksa polisi Gianyar. Namun, Kapolres Gianyar, Letnan Kolonel (Pol.) Yusuf Naeran, tak bersedia memberikan keterangan hasil pelacakan yang sudah dilakukan. "Masalahnya sudah ditangani langsung Polda Nusa Tenggara. Tunggu saja hasil pemeriksaan Kapolda," kata Naeran. Terbongkarnya kasus ini semula dari berita Bali Post, koran terbesar di Nusa Tenggara yang terbit di Denpasar. Pada halaman pertama terbitan pertengahan Juli 1984, koran ini memuat erita tentang berbedanya angka korban kecelakaan lalu lintas yang ada di kepolisian dan di Jasa Raharja. Untuk tahun 1983, korban yang mati, menurut data di Polisi, 261 orang. Tetapi di Jasa Raharja, klaim asuransi kematian yang dibayarkan untuk tahun yang sama tercatat 314 asuransi kematian. Ada kelebihan 53 korban - satu hal yang mustahil terjadi, karena pembayaran asuransi justru karena surat pengantar dari polisi. Besarnya asuransi kematian per 1 Januari 1983, sesuai dengan SK Menteri Keuangan 30 Desember 1982, adalah Rp 1 juta per korban. Namun, data di Jasa Raharja tak persis, karena tahun 1983 perusahaan ini membayar klaim kematian Rp 295.250.000 - sedangkan klaim perawatan Rp 59 juta lebih, klaim cacat Rp 17 juta lebih, dan klaim penguburan Rp 100 ribu. Bali Post mempertanyakan jumlah klaim yang begitu besar.Padahal, kata koran itu, berbagai keluhan datang: mengurus asuransi di Jasa Raharja selalu berbelit-belit kalau tidak lewat calo. Koran itu mempertanyakan lagi: Apakah benar semua korban kecelakaan di seluruh Nusa Tenggara klaim asuransinya diurus oleh keluarga korban? Menurut sumber TEMPO di kepolisian Denpasar, berita Bali Post ini menggugah kepohslan untuk mengusut kasus ini, karena hal itu berkaitan erat dengan laporanlaporan kepolisian. Maka, terbongkarlah kasus Serda Sutapa. "Mustahil ia bekerja sendirian tanpa dibantu orangdalam di Jasa Raharja," ujar sumber TEMPO itu. "Juga bisa pula terjadi pemalsu-pemalsu lain di kabupaten yang lain." Polisi sedang mengusut tuntas perkara ini. Kepala Jasa Raharja Cabang Denpasar, R.D.T. Silalahi, tak bersedia memberi komentar. Pejabat yang dikenal ramah ini mendadak tertutup. Tapi berbeda halnya dengan Kepala RSU Gianyar. "Saya minta kasus ini dituntaskan segera," kata dr. I Gusti Lanang Rudiarta, yang visumnya dipalsukan. Ia menyayankan, Jasa Raharja kurang cermat memeriksa keabsahan surat visum, apalagi yang menyangkut kematian. Sutapa, menurut sumber TEMPO, sudah mengantungi sekitar Rp 36 juta dari "permainan" ini. Tapi melihat selisih kelebihan pembayaran klaim tahun 1983 saja ada 53 santunan mati, ke mana lagi klalm asuransi ini nyasar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini