SETELAH tuduhan PKI, kini ada momok baru yang tak kalah menakutkan bagi sebagian penduduk: dicap sebagai tukang santet. Sampai akhir Agustus lalu, tercatat 15 orang - delapan di antaranya dari Situbondo - mengadu ke LBH Yogyakarta karena merasa terancam. Mereka mengaku nyaris dibunuh orang-orang bertopeng yang tidak dikenal, setelah sebelumnya diisukan sebagai tukang santet. Abdul Gani, 45, termasuk orang yang hampir dihabisi. Di tengah malam buta, dua malam berturut-turut rumahnya di Desa Curah Kalak, Situbondo, didatangi tamu tak dikenal. Mereka menggedor dan membuka pintu secara paksa. Tapi ayah lima anak yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cukur itu bisa menyelamatkan diri. Ia lolos dari pintu belakang. Pada 20 Agustus lalu, ia muncul di LBH Yogyakarta menemui direkturnya, Artijo Alkostar, yang memang berasal dari Situbondo. Sewaktu hendak dibawa orang bertopeng, menurut Abdul Gani, ia sempat berteriak. Tapi tidak seorang pun yang berani keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Penduduk rupanya masih dicengkam ketakutan setelah Nurhasim, penduduk desa itu, terbunuh entah oleh siafa. Pada 4 Agustus lalu, mayat petani itu dltemukan penuh luka. Abdul Gani memang menduga, orang yang hendak membunuh dia adalah juga yang telah membunuh Nurhasim, ayah tiga anak itu. Paling tidak, mereka satu komplotan. Soalnya, sewaktu menghadiri upacara pemakaman Nurhasim, Haji Ibrahim, seorang tokoh agama dan pemuka masyarakat kata Abdul Gani, berbisik kepadanya, "Setelah ini, segera tiba giliranmu." Lalu Ibrahim menambahkan, bila ia ingin selamat, harap menyediakan uang Rp 100.000. Menurut Nur Ismanto dari LBH, cerita tentang "uang selamat" itu juga didengarnya dari keluarga Suriame, 55, petani yang jugatinggal di Curah Kalak. Karena takut dibunuh, lewat seorang keponakannya, setelah mengumpulkan uang engan susah payah, istri Suriame menyerahkan Rp 100.000 kepada Haji Ibrahim. Mas'ud, 27, tokoh agama yang masih muda di desa tersebut, kata Nur, juga mengaku dimintai uang. Uang Rp 20.000, yang sedianya untuk membeli beras, segera diberikan kepada tiga orang lelaki berseragam yang datang ke rumahnya malam hari 3 Agustus lalu. Anehnya, ia tetap diseret, sehingga Mas'ud berontak. "He, ini pistol. Kamu ndak takut mati, ya?" hardik yang beperawakan tinggi besar, seraya mengacungkan pistolnya. Merasa tak punya salah, Mas'ud terus memberontak. "Saya mau dibawa ke mana saja, asalkan saya diizinkan dulu menemui Haji Ibrahim," katanya kemudian, seperti ditirukan Nur Ismanto. Begitu nama Haji Ibrahim disebut, ketiga orang misterius segera melarikan diri. Mas'ud lalu mengambil kesimpulan: berbeda dengan yang mengancam Abdul Gani dan Suriame, yang hendak membunuh dia bukanlah orangnya Haji Ibrahim. Siapa orang bertopeng dan berseragam itu, apa maunya, dan siapa pula yang berdiri di belakangnya memang belum jelas. Tapi kejadiannya mirip dengan yang terjadi di Desa Klangrong dan Desa Sukorame, Kecamatan Sukoharjo, Pasuruan, Jawa Timur, Oktober 1983. Di Sukorame ketika itu Adenan Djojo Santuso, 61, kepala desa, terbunuh. Mayatnya dibuang ke dalam gua. Para saksi mata melihat, para penculik Adenan mengenakan seragam hijau dan bertopeng. Ketiga tersangka pembunuh yang ternyata pamong desa Sukorame sewaktu diperiksa polisi mengemukakan alasan pembunuhan: Adenan perlu dihabisi karena ia tukang santet (TEMPO, 29 Oktober 1983). Di Tasikmalaya, Jawa Barat, bahkan lebih hebat. Selama setahun, sampai Juni lalu, tercatat 50 orang lebih - 22 di antaranya dari Kecamatan Cikalong - dibunuh dengan tuduhan dukun santet. Padahal, umumnya mereka dikenal sebagai tokoh masyarakat setempat (TEMPO, 2 Juni 1984). Maka, banyak yang menduga bahwa ada sementara kelompok yang sengaia memanfaatkan isu santet untuk kepentingan sendiri. Kepada Artijo dan Nur Ismanto yang datang ke Kodim Situbondo, Kapten Mustari seorang pejabat di situ - terus terang merasa khawatir. Di Situbondo kini memang tengah berlangsung operasi bromocorah. Juga mereka yang diduga tukang santet didaftar. Tapi, kata Mustari, "Bukan untuk dibunuh, melainkan untuk dibina dan diarahkan." PAKAIAN seragam dan pistol yang tampaknya dibawa orang misterius itu diduga hanya sekadar untuk mengelabui korban. "Saya kira, yang dibawa hanya pistol mainan. Kalau pistol betulan, mengapa mereka tidak membuang tembakan?" ujar Mustari lagi. Kapolres Pasuruan, Letnan Kolonel Sinoen Hadisoekarto, pernah mengatakan kePaaa TEMPO bahwa tidak tertutup kemungkinan ada latar belakang tertentu di balik pembunuhan yang berdalih tukang santet itu. Bupati Pasuruan, Djliteng Soejoto, tak kalah penasaran. "Dalih semacam itu bisa jadi sengaja dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk mengacau," ujarnya kepada TEMPO beberapa waktu lalu. Haji Ibrahim sendiri, yang dicurigai sebagian penduduk di Desa Curah Kalak, membantah tudingan atas dirinya. Ia merasa tak pernah mengancam membunuh seseorang, juga tak pernah meminta uang. "Untuk apa saya mencari uang dengan jalan memeras? Kalau saya melakukan hal itu, berarti saya sudah menyimpang dari ajaran agama," kata pimpinan Madrasah Al Fatah, yang juga sering mengobati orang dengan cara spiritual itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini