Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yunita, mengatakan praktik kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan penyedia aplikasi transportasi online sebagai bentuk perbudakan baru di era moder. "Sistem Kemitraan ini merupakan paktik perbudakan modern. Hingga saat ini belum ada satu pun regulasi yang mengatur khusus tentang ojek online dan turunannya," kata Yunita, Selasa, 12 Desember 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
LBH menyoroti perbudakan modern tersebut, kata Yunita, karena tidak adanya salinan perjanjian yang jelas mengenai kemitraan, jaminan kecelakan kerja, standar perlindungan bagi pengemudi dan konsumen, serta standar tarif yang dibutuhkan untuk mengurangi eksploitasi pengemudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berdasarkan pengamatan LBH Jakarta di lapangan, terdapat perjanjian kemitraan yang lebih menguntungkan pihak perusahaan aplikasi online dibandingkan dengan si mitra. Perusahaan aplikasi transportasi online dianggap tidak saja dapat mengambil keuntungan dari pengguna layanan tetapi juga dari pengemudi yang disebut dengan mitra.
Menurut Yunita, beberapa pengemudi transportasi online diantaranya tidak diberikan salinan perjanjian kemitraan, diharuskan menandatangani perjanjian tanpa diberikan waktu cukup untuk dapat mempelajari isi perjanjuan. “Terdapat perbedaan isi perjanjian dengan promosi, tidak diberikan kesempatan yang sama merumuskan tarif dan pemutusan kerja sepihak menjadi keluhan utama,” ujar Yunita.
Praktik kemitraan yang diterapkan perusahaan aplikasi transportasi online, menurut Yunita, sering mengabaikan asas kebebasan berkontrak dan kesetaraan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. “Pasal 26 ayat 4 menyebutkan kedua belah pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara,” ucap Yunita.
Pesatnya pertumbuhan bisnis transportasi online tipe roda dua, Yuinita menambahkan, jika tidak diimbangi regulasi yang memadai, justru akan menciptakan sebuah kekosongan hukum. “Dimana kekosongan hukum ini yang akhirnya dimanfaatkan perusahaan aplikasi transportasi online untuk megambil keuntungan,” kata Yunita.
Hubungan dalam kemitraan ini, menurut Yunita, harus diakomodasi oleh peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan seluruh mekanisme perlindungan yang diberikan. "Jika peraturan perundang-undangan tidak memungkinkan, setidak-tidaknya pemerintah harus mengeluarkan peraturan khusus yang melindungi pengemudi dan penumpang," Yunita menjelaskan.
Pada 23 November 2017, ribuan pengemudi ojek online berdemonstrasi menuntut pemerintah menyusun regulasi khusus untuk ojek online atau kendaraan roda dua, termasuk di dala
Ketua Forum Warga Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan mengatakan, Undang-Undang Nomor 22 Pasal 183 Tahun 2009 yang mengatur tarif angkutan umum dibuat berdasarkan kesepakatan pengguna jasa dengan penyedia jasa. “Bukan applicator (perusahaan transportasi online) yang menentukan. Enggak bener itu applicator,” kata Azas.
Asisten Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Yahya Tatang Badru Tamam, yang menemui perwakilan massa saat itu berjanji akan mempelajari bersama Presiden Joko Widodo tuntutan untuk dibuatnya aturan transportasi online roda dua dan penentuan batas tarif. “Yang paling penting, sampai ke Presiden. Nanti Presiden tinggal merumuskan bersama jajarannya. Nah, itu yang menjadi kunci buat saya dan teman-teman driver online,” ujar Azas.