Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lipat-Melipat di Parlemen Lokal

Tak cuma di Senayan, korupsi kini merajalela di dewan perwakilan daerah.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OLOK-OLOK itu ada benarnya juga. Kata orang, yang kini lagi disebarkan dari Jakarta ke kabupaten melalui paket otonomi daerah bukan cuma kewenangan, tapi juga korupsi. Dan celakanya, praktek lipat-melipat uang negara itu merajalela tak cuma di instansi pemerintah, tapi juga di gedung wakil rakyat—tempat mestinya penggunaan tiap sen dana publik ketat diawasi. Tengoklah ke Surabaya. Sejak 7 November lalu, pimpinan dewan perwakilan setempat telah dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Mereka adalah Muhammad Basuki (PDIP) dan Ali Burhan (Partai Kebangkitan Bangsa), ketua dan wakil ketua lembaga terhormat itu. Basukidan Ali disangka telah mengakali kas daerah dengan menerbitkan surat permohonan pencairan salah satu pos di anggaran 2001 yang sebenarnya diperuntukkan bagi penanggulangan bencana alam, pada Januari 2001 lalu. Besarnya Rp 2,73 miliar, untuk macam-macam alasan: keselamatan kerjalah, koordinasi pengendalian proyeklah. Bujet lalu langsung dikucurkan Sekrestaris Kota, M. Jasin (juga dijadikan tersangka). Dan hasilnya, audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Jawa Timur menemukan kebocoran Rp 22,5 miliar. Tak cuma itu, Basuki dan Ali juga menerbitkan surat keputusan yang menggelembungkan nilai tunjangan dewan. Misalnya, tiba-tiba dimunculkan anggaran check-up Rp 45 juta per tahun untuk tiap anggota. Lalu, ada dana keselamatan kerja total senilai Rp 1,125 miliar. Biaya tunjangan juga didongkrak dari Rp 1 miliar jadi Rp 1,32 miliar. Kesemuanya melanggar peraturan pemerintah, yang hanya membolehkan adanya tunjangan kesehatan. Itu pun berbentuk asuransi, bukan uang tunai yang langsung dibagikan. Adapun dana keselamatan kerja malah sama sekali tak ada. Tapi keduanya menyangkal telah melakukan korupsi. Menurut Basuki, suratnya itu sah saja karena telah diputuskan pimpinan dewan. Kuasa hukum mereka, Eka Iskandar, menyatakan ini semata soal administrasi. Soal tunjangan pun bukan soal besar. "Kalau Surabaya memang kaya, kan tidak masalah menambah tunjangan dewan," kata bekas aktivis lembaga bantuan hukum ini. Toh, Kepala Polisi Wilayah Kota Surabaya, Komisaris Besar Ito Sumardi, tak surut langkah. "Bukti sudah cukup," katanya. Sebelum Lebaran kemarin, berkas telah diserahkan ke kejaksaan. Aib serupa juga terjadi di Lampung. Akhir bulan lalu dua wakil rakyat setempat divonis Pengadilan Tanjung Karang terbukti melanggar Undang-Undang Anti-Korupsi. Mereka, M. Jimo dan Dancik Ibrahim, dipergoki telah menerima gaji dobel dari negara—sebagai anggota parlemen dan dari instansi mereka bekerja dulu. Lebih enteng dari tuntutan jaksa yang meminta empat tahun penjara serta denda Rp 100 juta, mereka dihukum percobaan dua tahun plus denda Rp 50 juta, serta diwajibkan mengembalikan uang yang telah mereka tilap. Jimo, anggota Fraksi Golkar, tadinya seorang guru SMP negeri. Setelah dilantik jadi anggota dewan, Agustus 1999 lalu, sampai tahun ini diam-diam ia masih menerima gaji dari dinas pendidikan Rp 783 ribu per bulan. Total jenderal, berkat jurus pura-pura tak tahu itu, Jimo mengantongi Rp 17,4 juta secara tak halal. Ulah serupa juga dilakoni Dancik dari Partai Amanat Nasional. Semasa duduk di kursi parlemen, tiap bulan ia tenang-tenang saja mengambil gaji Rp 1 juta lebih sebagai pegawai negeri di dinas pertanian. Walhasil, dua setengah tahun ini ia makan gaji buta total Rp 26,1 juta. Jimo dan Dancik berkilah hal itu karena surat pengunduran diri dari instansi lama belum juga dijawab. "Saya tak punya pilihan lain kecuali mengambil gaji tersebut," kata Dancik. Tapi, buat Jaksa Penuntut Umum Y.S. Wibisono, itu bukan alasan. Memang ada peraturan pemerintah yang menyatakan pegawai negeri yang menjadi anggota partai berhak menerima uang tunggu selama satu tahun sebesar gaji pokok terakhir. Namun, ada lagi klausul di dalamnya yang menetapkan, jika si pegawai telah dilantik menjadi anggota dewan, ketentuan itu tak berlaku lagi. Tingkah ini, kata salah seorang perumus otonomi daerah, Afan Gaffar, memang sudah kelewatan. "Digaji tinggi," kata Afan, kesal, "mereka bukannya mendahulukan kepentingan rakyat, malah hanya mengurusi berbagai fasilitas. Bahkan ada yang sudah membagi-bagikan uang purnabakti segala." K.D., A. Bramantyo, Kukuh S.W. (Surabaya), Fadilasari (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus