Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ke Laut Bebas

Dua kapal keruk pasir ilegal dilepas. Dendanya didiskon besar-besaran, dari seharusnya Rp 60 miliar menjadi Rp 6 miliar saja.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA kapal itu melenggang meninggalkan perairan Riau, menuju Singapura. Pada 25 November lalu, TB Olivia dan TB Jasmine, nama kapal-kapal itu, bukan sedang berlayar mengangkut penumpang yang mudik Lebaran atau Natal. Mereka adalah dua dari tujuh kapal keruk yang baru diam-diam dilepas, setelah ditahan TNI Angkatan Laut sejak Juli silam karena dipergoki menggaruk pasir laut secara gelap. Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat, Laksamana Pertama Tedjo Eddy, membenarkan pelepasan dua kapal berkapasitas angkut 4.000 kubik itu. "Kami melepasnya atas permintaan TP4L (Tim Pengawas dan Pengendali Pengusahaan Pasir Laut)," katanya. Alasannya, agen mereka telah melunasi denda sebesar 15 persen dari harga kapal. Dan nilai kompensansi yang dibayarkan untuk Olivia dan Jasmine, kata Sandi Sansosi, Direktur Utama PT Pola Kendali Karimun, yang menjadi agen dua kapal itu, adalah Rp 6,075 miliar. Jadi beres? Tunggu dulu. Ternyata ada sejumlah kejanggalan di baliknya. Soal besarnya denda adalah salah satunya. Seorang anggota TP4L membocorkan hasil evaluasi yang dibuat konsultan Deloitte Touche Tohmatsu. Menurut penilaian Deloitte, total pajak plus penalti yang mesti dibayar tujuh kapal itu sebenarnya mencapai Rp 315 miliar, setara dengan 15 persen dari harga semua kapal. Dari salinan data yang diperoleh TEMPO, Olivia dan Jasmine seharusnya masing-masing didenda S$ 4,8 juta dan S$ 7,2 juta atau total sekitar Rp 60 miliar—10 kali lipat dari denda yang dibayarkan. Bau kolusi pun meruap. Selidik punya selidik, penentuan denda rupanya berlangsung alot. Sumber TEMPO itu berkisah, awalnya semua anggota TP4L sepakat menetapkan angka kompensasi 50 persen dari harga kapal. Ini setidaknya berarti Rp 150 miliar. Penetapan penalti setinggi ini diambil dengan pertimbangan supaya pemilik kapal siluman lain berpikir dua kali sebelum menggarong pasir di perairan Indonesia. Tapi belakangan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan sekaligus Ketua TP4L, rupanya digencet kiri-kanan supaya menurunkan denda menjadi 5 persen saja. Dikabarkan, untuk keperluan ini, sejumlah jenderal, anggota parlemen, sampai klan Cendana turun tangan melobi Presiden Megawati. Dan benar saja, Istana pun melumer. Pemerintah akhirnya menyetujui versi Deloitte. Kemenangan para bos kapal sudah tampak saat Rokhmin tiba-tiba dipinggirkan dari meja perundingan. Posisi ketua tim negosiasi tiba-tiba dialihkan ke Chandra Motik, S.H., ahli hukum kelautan yang pernah menjadi pengacara TNI dalam kasus Timor Timur. Masih kata sumber TEMPO itu, awalnya Chandra masih ngotot pemilik Olivia dan Jasmine harus membayar denda Rp 60 miliar, sesuai dengan rekomendasi Deloitte. Tapi, entah karena diterpa angin buritan mana, pendirian Chandra lalu oleng. Di tengah perundingan, tiba-tiba ia menyetujui angka yang disorongkan Penta Ocean, agen kapal itu di Singapura, senilai Rp 6,075 miliar tadi. Chandra mengakui pada awalnya ia memang mematok harga tinggi. Tapi belakangan ia berubah sikap karena menurut kalkulasi Penta harga kedua kapal itu ternyata "hanya sekitar US$ 4,5 juta, sehingga denda 15 persennya ya Rp 6,075 miliar itu." Cuma, ihwal kenapa angka Penta itu lalu diterima begitu saja, Chandra tak menjelaskannya. Lepas dari soal utak-atik besaran denda, tanda-tanda "keberuntungan" para pemilik kapal sudah terlihat sebelumnya. Oktober lalu, majelis Pengadilan Negeri Tanjung Pinang cuma mengetuk vonis ringan bagi tujuh kapal keruk ilegal itu. Bayangkan, para bos kapal Vasco Da Gama, MV Prof. Gorjunov, MV Samsung Apollo, MV Lange Wapper, Alexander van Humbold, serta TB Olivia dan Jasmine, masing-masing cuma didenda 30 juta perak. Padahal ketujuh-tujuhnya tertangkap basah saat mencuri pasir di perairan Riau, tiga bulan sebelumnya. Lebih menyesakkan lagi, menurut data TP4L, selama Mei-Juli tujuh kapal itu telah berkali-kali mengeduk pasir secara gelap. Jumlahnya mencapai 5,8 juta kubik dan merugikan negara Rp 37,8 miliar. Tapi apa mau dikata. Di negeri ini para perompak punya banyak jalan ke laut bebas. Iwan Setiawan, Rumbadi Dalle (Pangkal Pinang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus