Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Live-show model blitar

Manidjo & poniyem yang dituduh berzina diarak ke rumah kepala desa duren, blitar, dihajar sampai babak belur, kemudian dipaksa bersetubuh di depan umum. kasus serupa terjadi di legoksari, temanggung.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMALAM dengan live-show berlangsung di Desa Duren, Kecamatan Talun, Blitar, Jawa Timur. Pertunjukan seks, yang biasanya cuma ada di negeri yang mengizinkan pornografi itu, berlangsung gratis. Hanya saja, pelakunya, Manidjo dan Poniyem, masing-masing berusia 40 tahun, melakukan adegan seram itu dengan sangat terpaksa. Yakni, sebagai hukuman dari kepala desanya, karena lelaki dan perempuan itu disangka melakukan perzinaan. Akibat tontonan porno pada November lalu itu, bupati Blitar menerima surat kaleng belum lama ini. Atas nama Pejuang 45, surat itu mempersoalkan bentuk hukuman yang tak berperikemanusiaan ini. Diduga, surat itu muncul karena aparat Kecamatan Talun menganggap hukuman tersebut tidak melanggar hukum. Lebih dari itu, "Masalah itu sudah kami anggap selesai," kata Agus Pramono, seorang staf Kecamatan Talun, yang membawahkan Desa Duren. Pun, polisi setempat tak mempersoalkan tindakan main hakim sendiri tersebut. "Kalau camat sudah menganggap selesai, ya sudah. Kenapa kini harus dipersoalkan lagi?" ujar komandan rayon militer (danramil) setempat, Letda Soeroto, pekan lalu. Selesai? Buat siapa? Bagaimana dengan Manidjo dan Poniyem yang terkena tindakan main hakim itu sendiri, yang kini hidup mengungsi di Malang? Kedua orang itu menyatakan tidak bisa memaafkan perlakuan kepala desanya. "Saya akan menuntut. Saya malu dan dipermalukan," ujar Manidjo. Sudah lama, sebenarnya, hubungan gelap antara Manidjo dan Poniyem -- yang sama-sama telah pisah ranjang dengan pasangan mereka yang sah--menjadi rahasia umum didesanya. Pada malam yang nahas itu, ketika pergi ke rumah Manidjo, Poniyem kepergok Basiran, suami sahnya. Basiran segera melapor ke rumah Sekretaris RT. Bersama pemuda-pemuda desa lainnya, Soekadar, Sekretaris RT itu, menggerebek rumah Manidjo. Benar saja, di rumah lelaki yang sudah empat kali kawin cerai itu, mereka menemukan Poniyem hanya mengenakan rok dalam, lagi bersembunyi di kolong tempat tidur. Yang tertangkap setengah basah itu lalu diarak ke rumah Kepala Desa, malam itu juga, sekitar pukul 10.00. Tanpa ba-bi-bu, Serda (AL) Sigit Kijan, Kepala Desa Duren, menghajar mereka sampai babak belur. Lalu, ia perintahkan kedua warganya tersebut melepaskan semua pakaiannya hingga telanjang bulat. Dan seterusnya, mereka diharuskan mengulangi perbuatan yang mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi tadi. Ketika ia ragu-ragu, tutur Manidjo, popor senapan angin menghajar wajahnya sampai memar. Sementara itu, Poniyem dicampakkan oleh Sigit ke halaman rumah, sehingga jatuh-telentang. Perempuan itu dilarang mengubah posisi jatuhnya, dan kemudian Manidjo dengan tertatih-tatih menindihnya. Disaksikan penduduk kampung, dan disiram gerimis, live-show itu berlangsung di halaman rumah kepala desa. sekitar 15 menit. "Saya terpaksa melakukan itu," ujar Manidjo di tempat persembunyiannya. Tak jelas apakah dalam suasana seperti itu adegan tersebut bisa dilakukan sempurna. Entah bagaimana caranya, Poniyem malam itu juga berhasil kabur dari Duren, kendati dijaga siskamling. Manidjo, yang tak sempat lari, keesokan harinya dipaksa mengangkat batu untuk pembangunan gedung desa. Tiga hari Manidjo mengangkat batu, sebelum lolos dan menyusul Poniyem. Sementara itu, Kepala Desa Sigit Kijan membantah telah memaksa pasangan itu bertelanjang bulat sebelum menyuruh mereka melakukan adegan seks. "Itu fitnah, mereka masih pakai baju ketika itu," katanya. Menurut Sigit, tuduhan itu sengaja dilontarkan oleh orang-orang yang ingin menggantikan jabatannya. Hukuman terhadap Manidjo, katanya, tidak lebih dari keinginannya memperbaiki mental warganya itu, yang dianggapnya gila seks dan perempuan. "Buktinya, ia sudah beberapa kali kawin cerai. Jika karena itu saya harus ditindak, saya rela." Live-show seperti itu bukan pertama kali terjadi. Dua tahun lalu, di Desa Legoksari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Safar dan Jumirah harus pula melakukan adegan ranjang di depan umum. Mula-mula, mereka diarak dalam keadaan telanjang bulat oleh hansip. Lalu dipaksa melakukan hubungan intim. Safar, 30 tahun, lima tahun lebih muda daripada Jumirah, tak sanggup melakukannya karena ditonton banyak orang. Massa, di bawah pimpinan kedua hansip, tetap memaksa. Setelah berpindah-pindah tempat, pasangan itu berhasil juga memenuhi kehendak orang banyak di sebuah kandang kambing. Perkara ini sampai ke pengadilan. Sudargo dan Multani, kedua hansip itu, divonis hakim masing-masing 6 bulan penjara, dengan masa percobaan 1 tahun . Vonis hakim itu dinilai banyak warga desa di situ terlalu ringan (TEMPO, 31 Agustus 1985). Sebagai perbandingan, Pengadilan Negeri Bandung memvonis sepasang suami-istri yang dituduh memutar video porno untuk umum dengan hukuman penjara, karena melanggar kesopanan (lihat Box). Jadi, bagaimana bisa terjadi - bila memang semuanya benar adanya - aparat Desa Duren, yang menghakimi sendiri Manidjo dan Poniyem, terbebas dari perkara?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus