Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah bangunan makan tanah

Gedung milik arifin s. akan dibongkar karena menyerobot tanah primadi c. selebar 20 cm. di jak-pus, pasar swalayan gloria menggusur pedagang kembang, memakan jalan dan tanah milik orang.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL bangunan makan tanah orang lain, atau tanah untuk kepentingan umum, kini muncul jadi perkara di Jakarta. Menjelang Lebaran, Wali Kota Jakarta Barat memerintahkan aparatnya membongkar bangunan berlantai tiga di Jalan Pengukiran. Bangunan itu kabarnya menyerobot tanah tetangga selebar 20 cm. Pemilik gedung, Arifin Syamsuddin, protes. "Masa, untuk melihat surat perintah pembongkarannya saja saya tidak diperbolehkan. Padahal, kalau saya salah, saya bersedia memberi ganti rugi," katanya. Lalu Arifin menceritakan duduk soalnya. Ketika ia merencanakan membangun ruko (rumah dan toko) itu, tetangganya, Primadi Cakradinata, minta agar antara bangunan diberi jarak sekitar 20 cm. "Tapi saya keberatan karena jarak itu hanya akan jadi sarang tikus dan nyamuk," kata Arifin. Setelah bangunannya jadi, Primadi mengadu ke wali kota bahwa Arifin telah menyerobot tanahnya. Sebaliknya, Primadi tegas-tegas mellgatakan, tanah selebar 20 cm itu miliknya. "Ketika saya membangun gedung saya, Arifin meminta saya untuk bergeser 20 cm, karena bertetangga, saya kabulkan. Tapi ketika ia membangun, ternyata tanah itu diambilnya, bahkan fondasi saya dikeruknya," tutur Primadi. Di Jakarta Pusat lain pula ceritanya. Di Pasar Kenari, Cikini, Pemerintah Kota Jakarta Pusat membiarkan pembangunan Pasar Swalayan Gloria, kendati diprotes oleh para pedagang kembang, yang sebelumnya tergusur dari tempat tersebut. Para pedagang kembang itu menurut harian Kompas merasa dikorbankan. Mereka digusur dengan dalih tempat itu akan dijadikan jalan arteri. Tapi bukannya jalan yang muncul setelah mereka pergi, melainkan pasar tadi. Dan Pasar Gloria, yang akan diresmikan Juni ini, tak cuma makan dari rencana jalan yang 32 m. Tapi juga makan tanah orang lain seluas 141 m. Menurut Martin Manurung Direktur Utama PT Mastin Raya Gemiiang, pemilik tanah yang termakan, sekitar awal 1986 ia bepergian ke luar negeri. "Pulang-pulang tanah saya sudah diserobot oleh pemilik pasar swalayan itu," ujarnya. Martin pun heran, pasar swalayan itu juga menyerobot jalan arteri yang direncanakan. "Sebab itu, saya yakin pasar swalayan itu tidak memiliki IMB. Mana ada pejabat berani mengeluarkan IMB untuk bangunan di jalan?" Martin kemudian mengadukan soal itu ke Wali Kota Jakarta Pusat. Melalui Pemda, disepakati pihak Martin akan melepaskan tanahnya yang termakan dengan gann rugl. Belakangan tidak tercapai kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi. Akhirnya, persoalan dibawa ke pengadilan oleh pihak Martin. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, meletakkan sita jaminan atas sebagian gedung pasar swalayan itu. Yulianto, Direktur Utama PT Sinar Surya Sembada, mengakui pasarnya memakan tanah orang. Tapi, katanya, ia tidak menyadari soal itu itu ketika mula-mula membangun proyeknya. Lalu pasar yang makan tanah untuk jalan? "Setahu saya, dalam tahap pertama jalan itu hanya selebar 13 m. Saya kurang jelas bahwa jalan itu 32 m. Sebaiknya, tanyakan ke Pemda," katanya. Dari seorang pejabat tata kota di Jakarta Pusat, diperoleh keterangan ini, "Saya rasa memang ada ketidakberesan dalam pengeluaran IMB-nya, karena di bundel kami tidak ada izin peruntukannya," kata pejabat yang enggan disebut namanya itu. Pejabat itu juga membenarkan bahwa lebar jalan yang direncanakan 32 m. "Tapi jangan lupa bahwa ada planning by process," tambahnya. Wali Kota Jakarta Pusat, H.A. Munir, mengaku belum tahu, karena, "Sampai sekarang, bagian pengawasan pembangunan kota belum melaporkan soal itu." Lalu, apa tindakannya kini? "Saya hanya pelaksana, kebijaksanaan ada di Gubernur, dan sampai hari ini tidak ada instruksi untuk menertibkan bangunan itu," kata Munir. Padahal, menurut Kepala Humas Pemda DKI, S. Soedarsin, wali kota dapat bertindak di lapangan sesuai dengan wewenangnya sebagai kepala wilayah, asal sesuai dengan hukum. Tampaknya, sementara ini, lain wilayah kota, lain pula adatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus