Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lopa dan perkara-perkaranya

Tony Gozal, koruptor tanah negara di Ujungpandang dikalahkan jaksa Baharuddin Lopa di praperadilan. Tony tetap berada dalam tahanan, sedangkan Natsir terbebas. (hk)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALI ini kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Baharuddin Lopa. boleh bernapas lega. Dua tersangka perkara manipulasi tanah di kota itu, Tony Gozal dan seorang pejabat agraria. Andi Mappatau, yang menggugat status penahanannya ke praperadilan, dikalahkan pengadilan. Padahal, sebelumnya, pengadilan menerima gugatan Natsir Talimbu, yan juga ditahan dalam kasus yan sama. Berarti, dan tiga oran tersangka yang pekan ini sebagian diadili di Pengadilan Negeri Ujungpandang, hanya Natsir yang bebas dari tahanan. Tony alias Go Tiong Kien, 48, yang dikenal sebagai "pengusaha kuat" di Ujungpandang, ditahan kejaksaan bersama Natsir dan Mappatau sejak Agustus lalu dalam perkara korupsi. Menurut dakwaan jaksa, Tony bekerja sama dengan pejabat agraria, Natsir dan Mappatau, menguasai tanah negara bekas terminal di Ujungpandang, seluas sekitar 7.600 m2, secara tidak benar. Akibatnya, menurut Lopa, negara dirugikan Rp 1,4 milyar. Status penahanan ketiga tersangka itu menjadi menarik perhatian, karena waktu itu, awal Oktober lalu, selaku penyidik perkara korupsi, kejaksaan sudah kehabisan hak menahan selama 60 hari. Sementara itu, kejaksaan belum berhasil menyelesaikan berkas perkara. Ketua Pengadilan Negeri Ujungpandang, Slamet Riyanto, menolak memperpanjang masa penahanan. Artinya, demi hukum, ketiga terdakwa harus dilepaskan. Tapi Lopa gigih tidak mau membebaskan ketiga tersangka. Sebab, menurut Lopa, Tony - selain diusut dalam kasus manipulasi tanah - mempunyai perkara lain: penyuapan. Sedangkan mengenai Natsir dan Mappatau, menurut Lopa, kejaksaan masih berwenang melanjutkan penahanan selama 20 hari. Tindakan Lopa itu mendapat protes keras dari tim pengacara ketiga tersangka. Pengacara Natsir, Mustara, mengadukan Lopa ke praperadilan. "Ibarat main bola, pengadilan sebagai wasit telah meniup peluit, tapi kejaksaan sebagai pemain masih menendang bola. Tentu saja saya, sebagai lawannya, memprotes," ujar Mustara. Protes Mustara diterima pengadilan. Hakim Abdul Rachman, yang memimpin persidangan praperadilan Natsir, 19 Oktober, memutuskan penahanan lanjutan yang dilakukan Lopa tidak sah, dan karena itu terdakwa harus dibebaskan. Sebab, dalam surat penahanan lanjutan, kejaksaan masih mencantumkan kata-kata "untuk kepentingan penyidik". Padahal, wewenang jaksa untuk menyidik sudah habis awal Oktober itu. Lopa, yang terkenal sebagai jaksa pertama yang menggebrak korupsi di proyek reboisasi, terpaksa melepaskan Natsir. Walau begitu, ia merasa bahwa tindakannya melanjutkan penahanan sah menurut hukum. Hanya saja, ia mengaku khilaf, karena dalam surat penahanan Natsir tertulis penahanan itu untuk kepentingan penyidikan. "Kenapa justry kekhilafan itu yang dijadikan hakim untuk dasar keputusan?" keluh Lopa kepada wartawan. Kemenangan Natsir membangkitkan semangat Tony dan Mappatau untuk menempuh upaya praperadilan. Apalagi di surat perpanjangan penahanan Mappatau, seperti untuk Natsir, juga disebutkan "untuk kepentingan penyidik". Berdasarkan itu. Pengacara Mappatau. Yudha Dachlan dan Amir Bachtiar, menggugat kejaksaan. Tapi kejaksaan rupanya tidak ingin kehilangan tongkat dua kali. Empat hari sebelum pengadilan menyidangkan permohonan itu, kejaksaan melimpahkan perkara Mappatau ke pengadilan akhir bulan lalu. Awal bulan ini Mappatau disidangkan dalam perkara korupsi. Akibatnya, status penahanan Mappatau beralih dari kejaksaan ke pengadilan. Berikutnya urusan sudah bisa ditebak. Hakim praperadilan, Rosliah Darwin, Selasa pekan lalu, menolak permohonan Mappatau. Sebab, berdasarkan pasal 82 KUHAP, permohonan praperadilan menjadi gugur bila perkara pokok sudah disidangkan. "Mappatau bisa bebas dari tahanan, kalau ia tidak terlambat memohon praperadilan," kata kepala Humas Pengadilan Negeri Ujungpandang, Abdul Rachman. Itulah lika-liku hukum. Kalah lihai melawan Lopa membuat Pengacara Amir Bachtiar menggerutu. "Sebenarnya Mappatau mau mengajukan permohonan itu seJak awal. Tapi ia ragu-ragu, dan kami tidak menyangka kejaksaan akan mengajukan perkara secepat itu," ujar Amir, yang terpaksa merelakan kliennya tetap ditahan. Akan halnya Tony Gozal, nasibnya tidak berbeda dengan Mappatau. Pengacaranya, R.E.M. Pattikawa, menggugat ke praperadilan, karena tidak bisa menerima tindakan jaksa yang menahan Tony lagi dalam perkara penyuapan, setelah habis masa penahanan perkara korupsi. Sebab, menurut Pattikawa, pemeriksaan kedua kasus itu seharusnya digabungkan sesuai dengan prinsip yang dianut hukum pidana. Tapi hakim menganggap tindakan kejaksaan sudah benar. "Penggabungan perkara itu pada waktu penyidangannya, bukan waktu penyidikan. Pada waktu penyidikan, jaksa malah harus memisahkan perkara satu demi satu, agar jelas," Hakim Rosliah Darwin berdalih. Sebab itu, Hakim sependapat dengan Jaksa bahwa Tony, yang memiliki tujuh perusahaan di Ujungpandang, tetap berada dalam tahanan. Keputusan hakim yang agak kontradiktif dengan sikap pengadilan sebelumnya tentu saja menggembirakan pihak kejaksaan. Jaksa Dimpudus dan M. Arsyad Massi, yang mewakili kejaksaan di praperadilan, dengan tertawa lebar segera menyambut salam pengunjung sidang. Tapi, berbeda dengan waktu dikalahkan pengadilan dalam kasus Natsir, pejabat-pejabat Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan tidak bersedia diwawancarai wartawan. "Tidak ada komentar," ujar Lopa. Yang belum pasti, sampai pekan lalu, adalah nasib perkara Tony Gozal. Berkas perkara pengusaha pertokoan dan perhotelan itu, menurut Jaksa Dimpudus di praperadilan, belum selesai diberkaskan. Sebab, dua orang bekas pejabat Ujungpandang, bekas wali kota H.M. Daeng Patompo dan bekas adpel A. Umar, sampai kini belum diperiksa jaksa sebagai saksi. Tapi, menurut seorang pejabat kejaksaan, Lopa pantang menyerah dan bertekad menghadapkan kedua orang itu menjadi saksi. "Betapapun banyaknya hambatan, kami tidak boleh menyerah," begitu prinsip Lopa dalam mengusut kasus manipulasi "orang kuat" di Ujungpandang itu (TEMPO, Komentar, 10 November).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus