UJIAN lagi buat kejaksaan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Ambon yang diketuai Nona Sahusilawane membebaskan Thomas Tanrim alias Tjai dari tuduhan menyuap petugas kejaksaan. Padahal, di persidangan Tjai mengaku memberikan amplop berisi uang kepada Jaksa M. Ely, yang lagi mengusut kasus korupsinya. "Bayangkan, terdakwa sudah mengaku, masih dibebaskan hakim," ujar kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, B.A.S. Tobing, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Oktober tahun lalu, Ely, 42, mendapat tugas mengusut Tjai, yang dikenal di daerah itu sebagai pengusaha cengkih. Tjai, yang juga dijuluki "raja pelabuhan" Ambon, dituduh memanipulasikan uang retribusi cengkih dalam bisnisnya mengantar-pulauan bahan baku rokok kretek itu ke Pulau Jawa. Menurut perkiraan kejaksaan, Tjai setidaknya merugikan pemerintah daerah Maluku Rp 244 juta. Ketika proses pemeriksaan tengah berlangsung, 19 Oktober 1983, Tjai mendatangi Ely di rumahnya. Tapi Nyonya Hadijah Ely menolaknya. Keesokan harinya, ketika Ely akan berangkat ke kantor, Tjai muncul lagi. Pada waktu itu, kata Ely di persidangan, ia memarahi Tjai karena berani menghubunginya di rumah. Tapi pengusaha itu, tutur Ely, malah memberikan amplop kepadanya. Ketika Ely menolak, Tjai meninggalkan amplop itu di meja ruang tamu. Pagi itu sesudah apel di kantornya, Ely melaporkan usaha penyuapan itu kepada atasannya, Jaksa Tinggi (waktu itu) M.H. Silaban. Silaban menerima dan membuka amplop pemberian Tjai itu yang ternyata berisi uang Rp 246 ribu. Ely pun mendapat pujian dari atasannya. Jaksa Agung (waktu itu) Ismail Saleh, secara khusus mcngirimkan surat penghargaan untuk jaksa yang dianggap "teguh iman" itu. Sebaliknya bagi Tjai. Setelah diperiksa Ely dalam kasus korupsi uang retribusi, siang itu juga ia dihadapkan ke jaksa lain, Abdullah Londjo, untuk perkara penyuapan. Menurut Londjo kemudian, Tjai waktu diperiksa memang mengaku menyuap Ely. Bahkan, kata sebuah sumber TEMPO, Tjai menandatangani surat penyitaan uang sejumlah yang diterima Ely. Tapi, keesokan harinya, Tjai mencabut pengakuan itu. Didampingi pengacaranya, M.A.H. Tahapary, Tjai hanya mengaku memberikan amplop yang berisi Rp 46 ribu. Uang itu, kata Tjai di persidangan, diberikannya kepada Ely untuk ongkos fotokopi peraturan daerah tentang retribusi yang dituduhkan jaksa telah dilanggarnya. Berdasarkan pengakuan itu, akhir Oktober lalu, Hakim membebaskan Tjai. Sebab, menurut majelis, selain penyangkalan terdakwa tentang jumlah uang itu, saksi-saksi yang diajukan jaksa tidak meyakinkan. Hanya ayah, istri, dan Ely sendiri yang mcnyaksikan kedatangan Tjai ke rumah mereka. Dan Ely sendiri yang mengalami langsung peristiwa pemberian amplop itu. Sebab itu, Hakim menolak tuntutan Jaksa S.J. Latuny agar Tjai dihukum 1 tahun dan 2 bulan penjara atas tuduhan menyuap. KEPUTUSAN. hakim itu dirasakan jaksa-jaksa di Maluku sebagai pukulan. "Kalau lain kali ada yang mau menyuap, lebih baik terima saja, toh bila dilaporkan juga akan bebas," ujar seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Maluku. Saksi pelapor, Ely, juga merasa sangat terpukul oleh putusan itu. "Aklbat putusan itu, bisa-bisa laporan saya dianggap laporan palsu. Akan saya kemanakan muka saya?" kata Ely mengeluh. Atasannya, B.A.S. Tobing, mengakui putusan hakim itu menimbulkan dampak psikologis kepada bawahannya. Tobing tidak bisa menerima alasan Hakim bahwa kejaksaan kekurangan saksi untuk membuktikan tuduhan penyuapan itu. "Jelas, tidak banyak saksi, dong. Kalau perbuatan itu di depan umum, namanya bukan lagi penyuapan," kata Tobing. Salah seorang asisten Tobing juga tidak habis mengerti atas pertimbangan vonis hakim itu: Mana boleh jadi ongkos fotokopi peraturan daerah - sebanyak 15 lembar-harganya Rp 46 ribu. "Di Ambon ini ongkos fotokopi semahal-mahalnya hanya Rp 30 per lembar," kata pejabat kejaksaan itu. Sebab itu, katanya, kejaksaan langsung mengajukan kasasi atas perkara itu. Tjai sendiri, awal November ini, sudah berada di Surabaya sambil menunggu penyidangan kasus korupsi retribusi cengkihnya. Pengacaranya, Tahapary, yang juga ketua PWI Cabang Maluku, menilai bahwa keputusan hakim itu layak adanya. "Sebab, hanya satu saksi yang melihat pemberian uang itu," kata Tahapary.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini