Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menyeragamkan rasa tempe

Stasiun percobaan & pengembangan teknologi (SPPT) tahu-tempe di bantul sebagai usaha untuk meningkatkan produksi & menyeragamkan mutu tahu tempe. Pembuatan tempe secara masinal banyak keluhannya. (ilt)

17 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKAN tempe, terkadang, menjengkelkan. Bisa-bisa gigi gemeretak bila menggiling kerikil di tengah makanan yan berbahan baku kedelai itu. Kegurihannya bahkan gizinya, ada yang berkurang, karen dibuat dengan campuran ampas kelapa, dedak, dan gaplek. Para pengusaha tempe tampaknya kurang memperhatikan kualitas tempe. Padahal, standar industri tempe sudah ditentukan Departemen Perindustrian sejak 1980 (SII 0272-80). Dari ribuan pengusaha tempe tradisional, belum satu pun yang diberi sertifikat SII itu, sampai sekarang. Namun, usaha ke arah pembuatan tempe memenuhi standar kini sudah mulai dilaksanakan, antara lain di Yo gyakarta. Stasiun Per cobaan dan Pengembangan Teknolog (SPPT) Tahu-Tempe d Gunung Sempu, Bantul, dalam waktu deka akan mulai mendidik pengusaha tempe dan tahu tradisional untul meningkatkan mutu di sebuah gedung yang dibangun dengan bantuan Presiden, 1982, dan baru rampung tahun ini, beberapa sarjana akan membimbing dan mengontrol cara pembuatan tempe tahu di sekitar situ. Para pembimbingnya antara lain Ir. Siti Isniah S.P. (kepala Pusat Penelitian LKN-LIPI) dan Ir. Putut Irwan, (staf peneliti LKN-LIPI, ahli kimia lulusan ITB). Berapa banyak pengusaha tempe tahu di sekitar situ, belum didaftar. Tapi mereka akan dibimbing antara lain: bagaimana memilih jenis kedelai, merebus dan mengulitinya (tentu saja tidak lagi dengan kaki, tapi dengan mesin), selanjutnya meragi dan membungkus tempe sehingga tahan lama. Perlengkapan di SPPT itu semuanya buatan dalam negeri, rancangan LKN-LIPI. Ada mesm penggiling, ketel uap, penyanng putar, pengendap, pencetak tahu. Juga mesinmesin pengupas kulit kedelai, pencampuran ragi, dan pemeraman untuk pembuatan tempe. Perlengkapan laboratorium pun tersedia. Kehadiran SPPT, menurut Putut Irwan, disambut baik para perajin tempe tahu di Yogyakarta. Salah satu demonstrasi pembuatan tempe antara lain dari kedelai berkepala hitam, melegakan mereka. "Dulu mereka ribut karena gagal membuat tempe dari kedelai hitam yang disuplai koperasi pengusaha tempe (Kopti)," tutur Ir. Putut Irwan. Tak heran, kalau mereka sering kesulitan mencari bahan baku kedelai berkepala putih. Tak semua perajin tempe tahu di sekitar Bantul kurang pendidikan. A. Budi, 24, misalnya, seorang mahasiswa Akademi Pimpinan Perusahaan Indonesia (APPI) Yogyakarta. Ia sudah enam tahun membuka usaha tempe di Bantul. Tapi, ia pesimistis untuk membuat tempe secara masinal. Membuat tempe, menurut Budi, yang utama adalah rasa, dan itu ditentukan oleh ramuan dan cara membuatnya. "Tempe buatan tradisional itu lain rasanya dengan buatan mesin," kata Budi, yang bisa menghabiskan bahan baku 25 kg kedelai sehari. Juni lalu, ia pernah mencoba membuat tempe dengan kedelai yang digiling dengan mesin. "Para bakul protes. Langganan mereka bilang, tempe saya jadi tidak enak dan anyir," tuturnya. Mbok Sirodj, yang setiap hari menghabiskan 10 kg kedelai untuk membuat tempe, juga terang-terangan menolak memakai mesin. "Banyak pembuat tempe, tapi tak semua disukai orang. Rasa khas ditentukan tangan si pembuat bukan dengan mesin," begitu kesimpulan nenek tiga cucu ini. Pembuatan dengan mesin, tampaknya tidak menguntungkan ditinjau dari segi biaya produksi. Harga mesin rancangan LIPI, Rp 400.000, mungkin bisa dibeli perajin secara kredit. Mesin, memang, mampu mempercepat penggilingan kedelai. Tempe dari bahan 25 kg kedelai, misalnya, bisa dibuat dalam dua jam, sedangkan secara tradisional bisa enam jam. "Dengan mesin, saya mesti 'keluarkan biaya 1 1/2 liter bensin, sedangkan secara tradisional, cukup tenaga kaki saya," kata Budi. Namun, SPPT bcrmaksud menyeragamkan mutu, teknik, dan rasa tempe produksi para perajin. Pembuatan juga harus higienis. "Kalau ada rasa anyir, tentu karena mesin penggiling terbuat dari besi yang gampang berkarat. Harus dari bahan stainless steel," kata kepala LKN-LIPI, Isniah. Bukan yang di Jawa Tengah saja pembuatan tempe itu akan diseragamkan. Menurut direktur LKN-LIPI, Ir. Suharto, SPPT tahu tempe juga sudah didirikan di Subang, Jawa Barat, dan akan didirikan di pelosok lain Indonesia. Sementara ini, pihak Departemen Perindustrian, sejak September lalu, juga sudah mulai giat membina tenaga-tenaga penyuluhan industri tahu tempe, yang akan merangsang pengusaha tempe mendapatkan SII. Tapi masalah pokok yang menghalang terutama scgi pemasaran. Wiknyodisastro pengusaha tempe di Bantul, pernah meningkatkan produksinya dari 4.500 bungkus (@ Rp 10) menjadi 5.500. Percobaannya seminggu menambah omset 1.000 bungkus itu gagal. "Tak laku," katanya mengenang. Padahal, tujuan SPPT, selain meningkatkan mutu, juga sekaligus jumlah produksi. Pemakaian mesin menuntut tingkat produksi tertentu - minimun 100 kg kedelai per hari --sedangkan kemampuan pemasaran terbatas. "Lingkaran setan ini masih harus dipecahkan," tutur koordinator SPPT, Isniah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus