Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polres Banda Aceh membantah tuduhan melakukan kekerasan saat memeriksa mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) terkait aksi unjuk rasa Peringatan Darurat Kawal Putusan MK bulan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami sangat menjaga mereka. Selalu terhubung dengan anggota keluarga," ujar Kepala Satuan (Kasat) Reskrim Polresta Banda Aceh, Komisaris Polisi Fadillah Aditya Pratama saat dihubungi, Kamis, 19 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polres Banda Aceh menangkap 16 mahasiswa yang melakukan demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada 29 Agustus 2024 dan memulangkannya dua hari kemudian. Enam mahasiswa—dua di antaranya di luar kelompok yang ditangkap—ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian kepada polisi.
Sejumlah mahasiwa Unimal menuding selama proses pemeriksaan tiga hari itu polisi melakukan kekerasan dan intimidasi. Mereka pun menggelar unjuk rasa pada Selasa, 17 September lalu dan menuntut status tersangka pada rekan-rekannya dicabut.
Mereka juga mengecam dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan meminta penyuluhan hukum kepada anggota Polresta Banda Aceh.
Salah satu mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka, Iryanto, mengaku pinggangnya diinjak oleh polisi yang mengenakan sepatu. Waktu itu ia dalam posisi jongkok. "Ada juga teman yang diinjak keningnya pakai sepatu, tapi dia bukan yang tersangka," ujar dia, Kamis 19 September 2024.
Selain kekerasan fisik, Iryanto mengaku mendapat intimidasi berupa ancaman. "Dia bilang, ‘apa kamu tulis-tulis polisi pembunuh mau betulan saya bunuh, biar saya buktiin kalau polisi bisa membunuh?’," ujar dia.
Sampai hari ini, keenam mahasiswa tersebut harus menjalani wajib lapor. Senin kemarin, Iryanto baru saja memenuhi wajib lapor ke Polresta Banda Aceh. Mereka dijerat dengan Pasal 156 dan Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal itu berkaitan dengan spanduk yang mereka bawa saat aksi. Salah-satunya memuat tulisan “Polisi Pembunuh” dan “Polisi Biadab”.