Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Main Kotor Sekitar Promotor

Orang-orang dekat Nurhadi diduga berbagi peran dalam jaringan suap perkara. Kasus ini dalam penyelidikan KPK.

18 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROYANI meminta lelaki di sampingnya, Doddy Aryanto Supeno, mengambil alih kemudi. Sopir Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman itu beralasan perasaannya tiba-tiba jadi tidak enak. Doddy, pegawai PT Artha Pratama Anugerah, anak usaha Grup Lippo, pun akhirnya mengemudikan Nissan X-Trail berpelat nomor dinas polisi itu. Bersama Royani, Doddy meluncur ke parkiran gedung Rumah Sakit MRCCC Siloam, Semanggi, Jakarta Selatan.

Di belakang Nissan itu menempel ketat mobil Toyota Avanza milik Doddy yang dikendarai sopirnya, Darmaji. Di area parkir dekat instalasi gawat darurat, Doddy memberi kode agar Darmaji berhenti. Tanpa memancing perhatian, mereka lantas memindahkan tas hitam yang diduga berisi duit dari Avanza ke Nissan. "Itu bagian dari uang 'empat meter' yang dijanjikan," kata seorang penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengetahui kejadian tersebut, Kamis pekan lalu. Istilah empat meter, menurut sumber ini, merupakan sandi untuk uang empat miliar.

Malam itu, Rabu, 13 April 2016, tim KPK hampir menangkap Doddy dan Royani di parkiran rumah sakit. Namun tim KPK tak menyana tas hitam akan beralih dari mobil pribadi ke mobil dinas polisi. Tim KPK pun berpikir ulang dan menunda penyergapan. Kala itu tim KPK hanya mencatat nomor dan identitas mobil. "Mereka pakai mobil aparat, kami tak ingin ribut-ribut," kata seorang petinggi KPK yang mengetahui rencana operasi tangkap tangan oleh tim satuan tugas lembaga antikorupsi itu.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tak membantah cerita operasi tangkap tangan yang gagal itu. Namun dia mengaku tidak hafal detail kronologi operasi dan penyerahan uang. "Akan saya crosscheck lagi," ujar Saut, Kamis pekan lalu. Menurut dia, kasus ini tak sederhana. "Dua bukti itu kan tidak gampang." Karena itu, tim satuan tugas KPK masih mendalami lagi kasus Nurhadi ini.

TRANSAKSI di area parkir rumah sakit itu bukan yang pertama kali. Sehari sebelumnya, 12 April 2016, tim KPK juga membuntuti Doddy yang membawa tas hitam ke kediaman Nurhadi di Jalan Hang Lekir V, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dari hasil pemantauan penyidik sebelumnya, tas hitam itu berisi uang. Mengintai tak jauh dari rumah Nurhadi, tim KPK melihat Doddy, yang semula berdiri di depan pintu gerbang, disambut Royani. Ketika gerbang dibuka, sepintas terlihat sejumlah petugas berseragam polisi berjejer di balik pagar. Seorang di antaranya menutup gerbang setelah Doddy masuk.

Dari radar KPK, Nurhadi kala itu terpantau berada di dalam rumah. Ia baru saja pulang dari kantor Mahkamah Agung. Melihat penjagaan yang begitu ketat, penyidik mengurungkan niat melakukan operasi tangkap tangan di kediaman Nurhadi. "Kami memilih tak menerobos. Karena tertahan terlalu lama, bukti bisa dihilangkan," ujar seorang penegak hukum.

Gagal menangkap Doddy dan Royani dalam dua kesempatan, tim KPK tak mengendurkan pengintaian. Upaya mereka tak sia-sia. Pada Rabu pagi, 20 April lalu, tim KPK akhirnya menangkap basah Doddy. Kali ini Doddy tidak bersama Royani. Ia ditangkap bersama Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Keduanya dicokok di basement Hotel The Acacia, Jakarta, setelah serah-terima besel dan hendak kembali ke mobil masing-masing.

Dari tangan Edy, tim KPK menyita tas kertas bermotif batik berisi duit suap Rp 50 juta. Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, duit itu bagian dari komitmen Rp 500 juta untuk Edy. Pada Desember 2015, Edy pun telah menerima Rp 100 juta melalui Doddy.

Belakangan, dalam penyidikan terungkap uang itu berkaitan dengan pengaturan dua perkara anak perusahaan Grup Lippo di pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Pertama, uang Rp 100 juta untuk menunda peringatan eksekusi (aanmaning) perkara niaga yang dihadapi anak usaha Lippo, PT Metropolitan Tirta Perdana, melawan PT Kwang Yang Motor. Kedua, uang Rp 50 juta untuk memuluskan pengajuan berkas peninjauan kembali perkara niaga PT Across Asia Limited melawan PT First Media.

Penangkapan Doddy dan Edy membuka jalan ke KPK untuk kembali bergerak ke rumah Nurhadi di Hang Lekir. Kepada penyidik, Edy mengaku diperintah Nurhadi agar segera mengirim berkas perkara peninjauan kembali PT Across Asia Limited ke Mahkamah Agung. Padahal waktu pendaftaran peninjauan kembali sudah lewat.

Beberapa jam setelah mencokok Doddy dan Edy, tim KPK akhirnya bisa masuk ke rumah Nurhadi. Kali ini tim KPK datang berbekal surat tugas penggeledahan. Mereka menerobos penjagaan tiga anggota Brigade Mobil di depan gerbang rumah mewah Nurhadi. Gara-gara gagal menghalau tim KPK, keesokan harinya ketiga anggota Brimob itu dikabarkan dimarahi atasannya.

Kepala Korps Brimob Brigadir Jenderal Murad Ismail tak merespons surat permohonan wawancara dan panggilan telepon dari Tempo. Adapun Wakil Kepala Korps Brimob Brigadir Jenderal Anang Revandoko menolak berkomentar ketika ditemui di sela-sela acara serah-terima jabatan Kepala Kepolisian RI pada Kamis pekan lalu. Dia meminta Tempo menghubungi Murad.

Dari rumah Nurhadi, penyidik KPK menyita uang sekitar Rp 1,7 miliar, tiga pucuk senjata api, serta satu lembar kertas putih bertulisan tangan tentang dua perkara.

Gepokan duit yang terdiri atas lima mata uang itu ditemukan dalam dua tas hitam di kamar Nurhadi. Tiga tas lagi di tempat yang sama tak ada isinya. Menurut seorang penegak hukum, duit diikat karet, sama persis dengan duit suap Rp 150 juta yang diserahkan Doddy ke Edy Nasution. Belakangan, penyidik juga menemukan uang senilai Rp 1 miliar di ruang kerja Edy. "Ikatannya sama persis dengan yang ditemukan di rumah Nurhadi," kata seorang penyidik.

Beberapa penyidik—dari 15 orang yang menggeledah rumah Nurhadi—menyebut sebagian tas berisi uang di rumah Nurhadi mirip dengan tas yang dibawa masuk Doddy ke rumah Nurhadi pada Selasa malam, 12 April lalu. "Sangat mirip dengan tas yang dijinjing Doddy ketika masuk gerbang," kata penyidik ini.

Penyidik juga menemukan tiga kantong plastik kertas yang disobek-sobek dari balik pakaian istri Nurhadi, Tin Zuraida. Sobekan kertas itu semula tak sengaja ditemukan penyidik. Sewaktu penggeledahan, selama hampir satu jam Nurhadi mengurung diri bersama Tin dan seorang anak perempuannya di kamar lantai dua. Dari dalam kamar itu, penyidik KPK mendengar beberapa kali suara kloset diguyur.

Setelah penyidik berkali-kali menggedor pintu, akhirnya Tin keluar kamar, lalu berlari menuju kamar lain. Berbasah-basah, pejabat eselon II Badan Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung ini beralasan hendak mengambil pakaian dalam. Saat itulah satu plastik berisi sobekan kertas terjatuh. Karena curiga, penyidik perempuan menggeledah badan Tin. Penyidik menemukan dua kantong plastik lain, juga berisi sobekan kertas.

Penyidik KPK berhasil menyusun ulang sebagian sobekan kertas itu. Ternyata, menurut seorang penyidik, sobekan kertas itu merupakan catatan kasus. "Semacam memo, ditujukan kepada 'promotor'," ujar sumber tersebut. Beberapa memo catatannya cukup lengkap. Selain menyebut sang promotor, ada catatan perkara serta permohonan yang diminta. "Mohon dibantu," demikian penggalan isi sejumlah memo.

Dua hari setelah itu, KPK mendeteksi Nurhadi melancong ke Singapura bersama 15 orang lain, termasuk istri, anak, menantu, dan cucunya. Nurhadi menyewa jet pribadi dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Penyidik sudah mengantongi manifes perjalanan dan maskapai yang disewa Nurhadi.

Kepada penyidik, beberapa saksi yang mengaku bekerja untuk Lippo menyebutkan sang promotor tidak lain adalah Nurhadi. Ihwal memo mana berkaitan dengan perkara apa, saksi yang mau terbuka pun tak sanggup menghafalnya. "Terlalu banyak, bisa lebih dari seratus kasus," kata seorang penyidik.

Penyidik KPK telah dua kali memeriksa Nurhadi. Seusai pemeriksaan, Nurhadi selalu irit bicara. Ia hanya mengatakan tak pernah bertemu dengan Doddy. "Saya tak pernah bertemu dan tak pernah bicara," ujar Nurhadi setelah diperiksa sebagai saksi pada Rabu, 15 Juni 2016. Sedangkan Tin giliran diperiksa pada 1 Juni lalu. Setelah menjalani pemeriksaan selama 11 jam, Tin pun bungkam dan menghindari wartawan.

Seorang penegak hukum menerangkan, untuk berhubungan dengan orang-orang di sekitar Nurhadi, Lippo menunjuk beberapa konsultan. "Yang ditugaskan banyak. Mereka bekerja seperti sistem sel," kata seorang sumber di KPK. Di antara barisan "konsultan" itu ada Wresti Kristian Hesti dan Wawan Sulistiawan. Keduanya merupakan pegawai bagian legal PT Artha Pratama Anugerah. Penyidik memeriksa Hesti dan Wawan pada awal Mei dan kembali mencecar Hesti pada akhir Mei lalu. Setelah pemeriksaan, Hesti yang dikawal dua pria selalu bungkam.

Kepada penyidik, Hesti dan Wawan mengaku mendapat arahan dari Eddy Sindoro, petinggi Paramount Enterprise International. Tim KPK juga mengantongi bukti adanya perintah dan persetujuan dari Eddy atas pergerakan Hesti dan Wawan. Bahkan, menurut penyelidikan KPK, Eddy terendus pernah bertemu dengan Nurhadi, Edy Nasution, dan Doddy di kantor Paramount di Serpong, Tangerang Selatan. "Patut diduga, Eddy Sindoro merupakan pelaku utama suap," ujar seorang penegak hukum.

Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam jejaring suap ini, Doddy hanyalah perantara. Penyidik masih memburu pelaku utama pemberi uang sogok. "Pasti kami telusuri siapa di belakangnya. Ada yang lebih besar seperti gunung es," kata Agus beberapa waktu lalu.

Penyidik dua kali melayangkan surat panggilan untuk Eddy. Pada 20 Mei lalu, Eddy mangkir tanpa keterangan. Dalam jadwal pemeriksaan kedua, 24 Mei lalu, Eddy pun tak datang tanpa alasan. Terakhir penyidik KPK mencium jejak Eddy Sindoro di Singapura. Padahal KPK sudah meminta Imigrasi mencegah Eddy ke luar negeri sejak 2 Mei lalu.

Direksi Lippo Group pernah membantah Eddy Sindoro bagian dari perusahaan mereka. Head of Corporate Communication PT Lippo Karawaci Tbk Danang Kemayan Jati mengatakan Eddy sudah lebih dari enam tahun tidak bergabung dengan Lippo. "Begitu juga perusahaan PT Paramount Enterprise, Lippo tidak punya kaitan sama sekali dalam hal apa pun," ujarnya.

Hampir semua saksi dari Lippo, menurut sumber di KPK, awalnya selalu menyangkal bagian dari perusahaan itu. Mereka baru menyerah setelah ditunjukkan dokumen atau rekaman percakapan bahwa mereka bekerja untuk grup tersebut. Pekan lalu Tempo kembali mengirimkan surat permohonan wawancara tapi tak mendapat respons dari manajemen Lippo. Danang pun tak menerima panggilan telepon ataupun membalas pesan pendek.

Bukan cuma bos Grup Lippo yang sukar dijangkau. Penyidik KPK juga kesulitan menyentuh Royani, yang seharusnya menjadi saksi kunci. Penyidik telah dua kali memanggil pegawai Mahkamah Agung yang belakangan dipecat itu, yakni pada 29 April dan 2 Mei 2016. Namun sopir Nurhadi ini mangkir. Rumah Royani di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, juga selalu sepi. Ketua rukun tetangga, Budi Ar Siregar, mengatakan Royani dan keluarganya sudah berbilang bulan meninggalkan rumah mereka. "Enggak tahu pada ke mana," kata Budi.

Royani bukan hilang ditelan bumi. Penyidik KPK mengantongi bukti percakapan antara Royani dan seorang pengawal Nurhadi, Brigadir Ari Kuswanto. "Aku kabur wae," kata Royani kepada Ari seperti ditirukan sumber tersebut. Komunikasi itu terjadi sehari setelah KPK menggeledah rumah Nurhadi dan tiga lokasi lain. Seperti halnya Royani, empat polisi yang jadi pengawal Nurhadi juga belum terjangkau penyidik KPK (lihat "Lolos Pengawal di Tinombala").

Nurhadi belum bisa dimintai konfirmasi. Sejak kasus ini mencuat, Tempo sudah tiga kali mengirimkan surat permohonan wawancara ke rumah dan kantor Nurhadi. Namun semua surat tak mendapat balasan. Pekan lalu, untuk kesekian kalinya Tempo mendatangi rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir. Tiga pria yang berjaga kompak mengatakan bosnya tak ada. Ketika dititipi surat permohonan wawancara, jawaban mereka juga seragam. "Bapak jarang pulang, kalau dititipkan bisa jadi lama nyampai-nya," kata seorang petugas keamanan.

Dalam acara halalbihalal Mahkamah Agung pada Rabu pekan lalu, Nurhadi pun tak muncul. Mobil dinas pria 59 tahun itu juga tak terlihat. Menurut beberapa petugas pengamanan, mobil Nurhadi sudah lama tak terlihat di tempat parkir Sekretaris MA. Mereka pun mengira Nurhadi sudah lama absen.

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Ridwan Mansyur mengatakan Nurhadi masih masuk kerja seperti biasa. Rabu pekan lalu, menurut Ridwan, Nurhadi memimpin rapat reformasi birokrasi. "Tadi juga menerima kunjungan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara," ujar Ridwan, Kamis pekan lalu.

Dalam surat dakwaan Doddy yang dibacakan jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada sidang 29 Juni lalu, Nama Nurhadi dua kali disebut. Tapi peran dia yang terungkap baru sebatas meminta Edy Nasution segera mengirimkan berkas permohonan kasasi yang sudah lewat tenggat. "Peran yang lebih jauh kami selidiki secara terpisah," kata seorang penegak hukum KPK.

Linda Trianita, Syailendra Persada, Anton Aprianto, Arkhealus Wisnu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus