Pengadilan Negeri Medan di Belawan Selasa sore pekan lalu tampak lain dari biasanya. Pengunjung tumpah-ruah sampai ke halaman pengadilan yang sempit. Persidangan pada hari itu memang ditunggu-tunggu masyarakat. Maklumlah, hari itu Pengadilan Negeri Medan akan menjatuhkan vonis untuk tiga penyelundup gula terbesar di Belawan. Seperti terbawa suasana, para terdakwa yang datang dengan kendaraan pribadi tiba di pengadilan penuh dengan senyum, seolah-olah mereka bakal berpesta seusai sidang.
Dan benar, ketiganya ternyata divonis lebih rendah dari tuntutan jaksa. Wilmar Hutabarat, 42 tahun, Anton Manurung, 30 tahun, dan Golap Simangunsong, 40 tahun, hanya dihukum dua tahun enam bulan ditambah denda Rp 50 juta. Ketiga terdakwa terbukti menyelundupkan 77 peti kemas gula senilai Rp 1,9 miliar dengan menggunakan kapal MV Express Singapore dari Singapura pada akhir Februari lalu. Dalam dokumen impor disebutkan isi peti kemas adalah bahan baku keramik milik PT Jui Shi Indonesia. Tapi, aparat Bea dan Cukai di Pelabuhan Belawan tak mau begitu saja percaya. Ketika dibongkar, ternyata isinya adalah 1,3 juta ton gula putih Corp Year 2002 asal India.
Mereka layak berpesta karena tuntutan Jaksa Farizal adalah hukuman penjara empat tahun plus denda Rp 150 juta. Hakim juga memutuskan para terdakwa tidak segera ditahan. "Hakim sudah memutuskan mereka tidak langsung masuk penjara," kata ketua majelis hakim, H. Anwar Zahri. Tiga hari sebelumnya, ketiganya juga sudah dilepas dari tahanan kejaksaan karena masa tahanannya habis sebelum batas 200 hari. Inilah yang kemudian memunculkan bau tak sedap di masyarakat. Lebih dari itu, kasus ini akhirnya juga memicu perselisihan antara jaksa dan hakim.
Sang hakim menuding jaksa bergerak lambat. Selama ini, kehakiman sudah memberikan waktu sepekan kepada jaksa untuk menuliskan tuntutannya. Tapi kejaksaan terus menunda-nunda pembacaan tuntutan. "Mereka sudah 4-5 kali meminta mundur," kata Anwar. Salah satu alasannya adalah karena jaksa menunggu instruksi dari Jakarta. Dan karena sidang tak kunjung selesai, kejaksaan harus melepaskan mereka tiga hari sebelum sidang karena masa tahanannya habis. Padahal, jika kejaksaan bergegas, bisa jadi ketiga terdakwa tak akan bisa tersenyum lebar menjelang pembacaan vonis.
Pihak kejaksaan pun menangkis serangan koleganya. Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Chairuman Harahap, banyak hal harus dilakukan sebelum maju ke pengadilan, mulai dari kelengkapan berkas sampai materi tuntutan. "Kami tidak ingin tuntutan hukumnya lemah dan bolong," kata Chairuman. Dia malah menuding balik putusan hakim. "Kami sendiri tidak puas, dan saat ini merasa heran kenapa hakim tidak memerintahkan terdakwa segera ditahan," ujarnya. Bekas calon Gubernur Sumatera Utara ini menegaskan bahwa mereka akan banding dan berupaya menahan ketiga terdakwa.
Namun, Hakim Anwar kembali menyerahkan soal penahanan ini kepada kejaksaan. Menurut Anwar, setelah menetapkan vonis, hakim tidak punya wewenang apa-apa lagi. Wewenang untuk melakukan eksekusi ada di tangan kejaksaan.
Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, yang dimintai komentar soal ini saat berkunjung ke Medan, tak mau bicara banyak. "MA tak bisa berkomentar. Itu menyalahi aturan main," ujarnya. Dia menambahkan, Mahkamah Agung akan bisa mengetahui ada-tidaknya kesalahan hakim atau tepat-tidaknya keputusan hakim jika ada pengaduan dari masyarakat. Dengan masuknya pengaduan itu, Mahkamah Agung baru bisa menyelidiki kasus tersebut.
Agaknya, perang pernyataan antara kejaksaan dan kehakiman dalam kasus ini dianggap belum cukup oleh Mahkamah Agung untuk bertindak. Padahal, dilihat dari segi apa pun, lontaran pernyataan secara terbuka jelas bukan gambaran yang bagus mengenai pengadilan. Dan seharusnya, kasus ini bisa menjadi awal untuk melakukan pembersihan.
<.BAhmad Taufik, Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini