KEGEMBIRAAN Gunawan Suryomurcito tak bertahan lama. Hanya berselang sepekan setelah kliennya, Davidoff & Cie dan Reemtsma Cigarettenfabriken GmbH, memenangi perkara di tingkat kasasi, ujian baru menyusulnya. Kejutan itu datang pertengahan Agustus lalu saat diketahui bahwa lawannya, Sumatera Tobacco Trading Company (STTC), telah mengajukan permohonan peninjauan kembali. "Klien saya tahunya dari surat yang dikirim oleh Pengadilan Niaga Jakarta," kata Gunawan.
Itulah babak baru dari sengketa merek rokok Davidoff yang telah menelan waktu lebih dari 14 tahun. Konflik ini meletik saat Davidoff & Cie berencana memasarkan merek rokok yang dikibarkan oleh Dino Davidoff ini di Indonesia. Sebagai merek rokok terkenal yang diproduksi oleh sekitar 40 pabrik di seluruh dunia, diperkirakan pemasarannya akan mudah. Hanya, ganjalan mendadak menghadangnya. Ternyata STTC sudah mengantongi lisensi sejak 1980 untuk memproduksi dan memasarkan Davidoff di Indonesia.
Telisik punya telisik, STTC memperoleh lisensi dari Davidoff Commercio, Brasil. Padahal perusahaan rokok asal Negeri Samba itu sudah ditutup karena kalah digugat oleh Davidoff & Cie dengan tuduhan memalsukan merek. Bahkan pemalsunya, Peter Koenig, sudah dihukum penjara 17 bulan.
Sejak itu, gugat-menggugat pun terjadi. Tapi Davidoff & Cie lebih sering kalah. Baru belakangan, setelah kasus itu sampai ke Mahkamah Agung, ia bisa menang. Kemenangan inilah yang belakangan diusik oleh STTC lewat pengajuan peninjauan kembali alias PK
Hanya, Gunawan Suryomurcito menaruh kecurigaan karena proses permohonan PK berlangsung amat cepat. Kliennya, Davidoff dan Reemtsma, hanya menerima pemberitahuan lewat pos dan tidak melalui jalur Departemen Luar Negeri. Ini dianggap tidak sah karena tak melalui jalur diplomatik. Tapi penitera telanjur mengirim permohonan PK itu ke Mahkamah Agung (MA). "Yang lebih mengherankan lagi, MA juga langsung membentuk tim hakimnya tanpa mencermati prosesnya," ujar Gunawan.
Itu sebabnya, buru-buru ia mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga Jakarta. Akhirnya panitera pengadilan ini mengirim surat ke Mahkamah Agung, memohon penundaan proses permohonan PK yang disampaikan sebelumnya. Permohonan ini diperhatikan oleh Mahkamah.
Menurut pengacara STTC, Januar Jahja, sejatinya proses kilat itu wajar saja karena peradilan niaga memang dituntut cepat. Apalagi PK menyangkut putusan kasasi yang menghapuskan dan membatalkan merek Davidoff yang dianggap menjadi milik STTC.
Dalam vonis itu, majelis hakim kasasi yang diketuai Bagir Manan menyatakan majelis tingkat pertama melakukan kesalahan dalam penerapan hukum. Di situ disebut bahwa Davidoff bukan termasuk merek terkenal, tapi di mata majelis kasasi merek ini terbilang terkenal. Artinya, Davidoff mendapat keistimewaan sebagai merek seperti yang diatur dalam Undang-Undang Merek.
Hanya, Januar menganggap hakim kasasi khilaf dalam amar putusannya. "Kesimpulan itu diambil tanpa dasar yang jelas," katanya. Alasan lain pengajuan PK, karena Reemtsma dinilai tidak punya hak gugat. "Reemtsma hanya perusahaan pemegang lisensi merek Davidoff, bukan pemilik merek, sehingga tidak punya hubungan hukum dengan perkara ini," ujar Januar.
Tapi alasan terakhir buru-buru ditampik oleh Gunawan. "Reemtsma berkepentingan karena dia adalah pemegang lisensi merek Davidoff," ujarnya. Selain itu, berdasarkan Pasal 63 Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001, pihak ketiga bisa mengajukan gugatan.
Ketua MA yang juga ketua majelis hakim perkara itu, Bagir Manan, menyanggah pendapat pengacara STTC. ''Semua alasan hukum sudah dipertimbangkan. Putusan itu sudah tetap, tak ada yang kontradiktif. Kalau mau PK, ya, silakan saja. Asal sesuai dengan prosedur saja,'' tutur Bagir kepada Bambang Soed dari TEMPO.
Telah diusik kemenangannya, Gunawan yakin upaya PK itu tak akan dikabulkan. Lagi pula, permohonan tersebut tak menghalangi proses eksekusi. Itu sebabnya, kliennya berencana segera mendaftarkan merek Davidoff di Indonesia.
Namun, Januar mengaku masih punya harapan. ''Hukum di Indonesia itu unpredictable. Sebelumnya saya juga optimistis menang, tapi putusannya malah seperti itu," tuturnya.
Ahmad Taufik, Endri Kurniawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini