Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENTAM palu Hakim Erwin Mangatas Malau terdengar sumbang di telinga sepuluh perusahaan perjalanan haji dan umrah, Jumat dua pekan lalu. Upaya mereka mempailitkan PT Indonesian Airlines Avipatria di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat gagal. Adalah Erwin yang menjadi hakim ketua dalam persidangan tersebut. Menurut Erwin, Indonesian Airlines belum saatnya dinyatakan bangkrut. Karena itu, permohonan pailit kesepuluh perusahaan tadi ditolak.
Kontan saja para pemilik perusahaan penyelenggaraan haji tadi meradang. "Tidak fair. Kami yang dirugikan kok malah dikalahkan," kata Zairinawati dari PT Rekamandiri Sejahtera Travelindo. Penggugat yang lain adalah Gema Shafa Marwa, Penata Rihlah, Giani Citra Utama, Citraceria Usaha Wisata, dan Aril Buana Wisata—semuanya berkantor di Jakarta—serta Tourindo Gerbang Kerta Susila, Safiir Amal Imani, Persada Duta Beliton, dan PT Menara Suci Sejahtera, yang berkantor di Surabaya.
Gugatan ini bermula pada Januari-Februari lalu. Ketika itu, sepuluh perusahaan tersebut memilih Indonesian Airlines untuk memberangkatkan jemaah mereka ke Tanah Suci. Ternyata pilihan tersebut keliru. Indonesian Airlines rupanya tak punya izin mendarat di Jeddah. Dari 1.780 anggota jemaah yang mestinya berangkat, hanya 467 orang yang sampai di Jeddah. Yang lain mesti menunggu sampai sepekan dan baru bisa berangkat dengan pesawat perusahaan lain.
Dari sinilah sengketa bermula. Selain menanggung malu, sepuluh perusahaan ini harus menalangi biaya penginapan sebelum berangkat dan biaya penerbangan dengan menggunakan maskapai lain. Total jenderal, mereka mengeluarkan dana tambahan sampai Rp 7,8 miliar. Duit sejumlah inilah yang kemudian mereka klaim ke Indonesian Airlines. Ternyata mereka cuma mendapatkan janji.
Indonesian Airlines kemudian meneken kesepakatan pembayaran utang dengan 10 perusahaan tadi. Perusahaan penerbangan yang didirikan pada 1999 ini akan mencicil pembayaran utang Rp 1,29 miliar per bulan pada Maret-September 2003. Namun bilyet giro dari Indonesian Airlines ternyata tak bisa dicairkan lantaran tak ada dananya. "Kami kesulitan keuangan," kata Rudy Setyopurnomo, Presiden Direktur Indonesian Airlines.
Pada mulanya, Zairina dan kawan-kawan masih bersabar. Mereka bersedia mengikat perjanjian tambahan. Perusahaan penyelenggaraan haji ini akan menjadi agen penjualan tiket Indonesian Airlines untuk rute Jakarta-Yogyakarta, Jakarta-Surabaya, dan Jakarta-Denpasar. Mereka menerima hampir 10 ribu lembar tiket. Dan hasilnya dibagi dua. Indonesian Airlines akan menerima harga pokok, sementara selisih harga pokok dengan harga penjualan dianggap sebagai pembayaran cicilan utang.
Perjanjian ini pun ternyata tidak bisa dilaksanakan. Tak semua tiket bisa dijual dan hasilnya hanya Rp 480 juta. Yang lain menumpuk di kantor mereka. "Bagaimana mau dijual? Pesawatnya saja enggak terbang," kata Zairina. Akhirnya mereka sepakat menahan hasil penjualan tiket tersebut. Dan setelah dihitung-hitung, total utang yang masih tersisa hingga Juni lalu mencapai Rp 5,2 miliar.
Sepuluh perusahaan tadi akhirnya memilih jalur hukum. Mereka tak melihat Indonesian Airlines mampu membayar utangnya. Perusahaan penerbangan ini tak punya aset tetap seperti gedung atau tanah. Pesawat pun cuma menyewa (leasing). Apalagi jadwal penerbangan Indonesian Airlines kian tak jelas. "Mereka memenuhi syarat untuk menggugat pailit karena ada perusahaan lain (Cikara Mandhala Buana) yang juga punya piutang," kata Luthfie Hakim, pengacara 10 perusahaan tadi. Mereka juga melaporkan Rudy ke polisi dengan tuduhan penipuan dan penggelapan.
Namun upaya ini pun gagal. Hakim berpendapat utang belum jatuh tempo dan Indonesian Airlines harus diberi kesempatan membayar utang sampai 25 September. Dia juga berpendapat penyerahan tiket harus dianggap sebagai pembayaran utang. Sepuluh perusahaan ini akhirnya memilih kasasi sebagai jalan terakhir. "Sudah kepalang tanggung," ujar Zairina. Lagi pula Rudy kini menghadapi gugatan karyawannya yang sudah lima bulan tak digaji. Mereka menuntut ganti rugi Rp 6 miliar. Artinya, peluang Rudy membayar utangnya sangat kecil.
Tapi Rudy tak mau disebut sebagai pengemplang utang. Katanya, ada pemodal yang akan menyuntikkan dana US$ 50 juta atau sekitar Rp 425 miliar. Pesawat Indonesian Airlines juga sudah terbang ke Dubai, Timur Tengah, mengangkut tenaga kerja Indonesia. Itulah yang memberikan keyakinan pada Rudy bahwa dia akan sanggup membayar utangnya, bahkan ia juga berniat menambah armada pesawat Indonesia Airlines.
Keputusan Hakim Erwin memberi kesempatan pada Rudy untuk membuktikan keyakinannya itu.
Endri Kurniawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo