Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM masalah lingkungan hidup, hubungan antara pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat biasanya seperti anjing ketemu kucing. Tak hanya yang satu menggonggong dan yang lain mengeong, mereka suka saling cakar. Tapi sekali ini lain. Ketika melawan tuntutan enam perusahaan soal reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta, Menteri Negara Lingkungan Hidup dan empat LSM tampak kompak pak, pak, pak….
Awal kemesraan terjadi ketika Menteri Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 14/2003 tentang penolakan proyek reklamasi dan revitalisasi Pantura itu. Dasarnya, proyek seluas 2.700 hektare, sepanjang 32 kilometer, dan masuk wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten ini tak lolos analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Kemunculan SK itu terhitung lelet karena tak dikeluarkan jauh hari, ketika rencana proyek tersebut digulirkan. Apalagi enam perusahaan—PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jakarta Propertindo, PT Manggala Krida Yudha, Bakti Bangun Era Mulia, dan PT Taman Harapan Indah—telah mengantongi izin proyek dari Badan Pelaksana Pantura dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Lagi pula mereka merasa dirugikan karena telah mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk mempersiapkan proyek.
Akibatnya, keenam perusahaan itu lantas menggugat Menteri Negara Lingkungan Hidup lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Alasannya, proyek itu telah diatur dalam Keputusan Presiden No. 52/1995 dan tak bisa digagalkan oleh SK menteri. Tambahan lagi, kata Didi Irawadi Syamsuddin, pengacara keenam perusahaan itu, "Tak ada hubungannya antara reklamasi dan banjir."
Tentu saja Mohammad Assegaf berpendapat berbeda. Sang kuasa hukum Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam eksepsinya mengatakan bahwa tudingan tadi salah alamat. Menurut dia, SK tersebut tak mencantumkan pembatalan proyek keenam perusahaan itu, tapi memerintahkan agar Badan Pelaksana (BP) Pantura dan Gubernur DKI Jakarta membatalkan proyek. "Mereka seharusnya menggugat BP Pantura yang memberi proyek," ucap Assegaf.
Persidangan baru berjalan, empat LSM—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)—ikut nimbrung. Mereka mengintervensi dengan alasan demi pelestarian lingkungan hidup. Keikutsertaan mereka memang dimungkinkan menurut UU No. 5/1986 tentang PTUN.
Intervensi dikabulkan oleh majelis hakim, Rabu lalu. Artinya, empat LSM tadi berhak memberikan hak jawab atas gugatan itu di persidangan. Putusan sela ini, menurut ketua majelis hakim Edy Murdjono, berdasarkan akta pendirian keempat LSM yang menggeluti bidang penegakan hukum lingkungan hidup itu.
Atas putusan tersebut, penggugat akan naik banding. Hasil banding nantinya akan diterima bersamaan dengan vonis gugatan. Bila putusan banding berpihak kepada penggugat, dalam proses hukum selanjutnya keempat LSM itu tak lagi punya hak suara. Mengenai putusan itu, Didi mempertanyakan apakah akta pendirian keempat LSM tersebut memang punya keabsahan dan keempatnya bergerak di bidang lingkungan hidup. "Sebaiknya mereka melakukan class action saja. Tak perlu intervensi di persidangan ini," sang pengacara menambahkan.
Class action atau intervensi hanyalah jalan hukum. Intervensi dipilih karena sidang gugatan sudah dimulai. Kini tergugat telah berancang-ancang membagi pekerjaan setelah ada putusan sela. Keempat LSM itu akan mengurusi bagian teknis lingkungan, sementara Menteri Negara Lingkungan Hidup bakal menjawab masalah keabsahan SK tadi.
Apakah putusan sela berpengaruh terhadap vonis gugatan itu nantinya? Semua terserah penilaian majelis hakim. Namun, sebelum palu diketuk, penggugat ingin menawarkan jalan damai. Mereka berharap bisa duduk bersama membahas kelanjutan proyek ini. "Kita juga siap berdiskusi ilmiah terhadap dampak proyek ini, baik secara teknis, ekonomis, maupun lingkungan," kata Didi.
Tapi uluran tangan damai tampaknya ditampik. Baik tergugat maupun keempat LSM menginginkan proses hukum berjalan terus. "Kalau masalah lingkungan, tak ada jalan damai," ucap Johnson Panjaitan dari PBHI.
Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo