Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAWASAN itu kini dikenal dengan nama Marina. Terletak di bibir pantai sebelah timur Bandar Udara Ahmad Yani, Semarang, lahan 237 hektare itu menjadi kota satelit yang mengadopsi konsep water front city seperti kawasan Marina di Singapura. Perumahan, pusat belanja, area bermain, sarana pendidikan, dan fasilitas olahraga yang serba mewah bertebaran di sana.
Posisi "Marina Semarang" pun strategis. Area hasil reklamasi itu dekat dengan pelabuhan dan bandara. Kawasan itu juga memiliki akses jalan raya yang menghubungkan Semarang dengan Demak dan Kendal. "Kawasan ini masih kami kembangkan. Sebagian dalam proses pengurukan," kata Agus Sucipto dari PT Indo Perkasa Usahatama, perusahaan pengembang kawasan tersebut.
Indo Perkasa berencana menambah luas kawasan itu menjadi 350 hektare. Untuk menimbun hamparan laut menjadi daratan, pengembang mengambil tanah dari perbukitan di selatan Semarang. Namun rencana besar Indo Perkasa itu kini terancam gagal. Penyebabnya, kawasan tersebut menjadi sengketa setelah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah meminta Badan Pertanahan Nasional tak menerbitkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) di wilayah itu. "Di situ ada tanah milik pemerintah provinsi seluas 48 hektare," kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kepada Tempo, dua pekan lalu.
Menurut Ganjar, lahan milik pemerintah provinsi itu semestinya dikelola PT Pekan Raya Promosi Pembangunan (PT PRPP), salah satu badan usaha milik daerah Jawa Tengah. Namun rencana PT Pekan Raya mengembangkan kawasan ini tersendat karena sebagian lahan telah disulap menjadi perumahan. Masalah lain yang lebih pelik adalah hilangnya sertifikat tanah pemerintah itu.
Berdasarkan penelusuran tim pemerintah Jawa Tengah, menurut Ganjar, sertifikat tanah itu berada di tangan Indo Perkasa. Namun, ketika pemerintah mengklarifikasi, Indo Perkasa menyatakan tidak memegangnya. "Setelah kami mengumumkan di koran bahwa sertifikat itu hilang, mereka baru mengaku memegang sertifikat itu," ujar Ganjar.Â
Pemerintah Jawa Tengah telah berusaha meminta, tapi Indo Perkasa menolak. Tawaran berdamai yang disodorkan pemerintah pun tak mereka sambut. "Ini sangat aneh," kata Ganjar.
Belakangan, langkah pemerintah Jawa Tengah memblokir pengurusan HGB dibalas gugatan. Pada 1 Desember lalu, PT Indo Perkasa mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Semarang. Perusahaan itu menyewa pengacara dari Ihza & Ihza Law Firm, milik bekas Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra. Dalam gugatannya, Indo Perkasa menuntut ganti rugi material dan imaterial Rp 1,6 triliun.
Kini "pertempuran" Ganjar versus Yusril untuk memperebutkan "si seksi" Marina masuk ke persidangan.
Kisruh di lahan ujung utara Semarang itu bermula pada 1985, saat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berencana membangun kawasan Pekan Raya Promosi Pembangunan. Waktu itu Gubernur Jawa Tengah Ismail meminta pemerintah pusat memberikan hak pengelolaan atas lahan seluas 108 hektare. Untuk mengelola kawasan itu, pemerintah Jawa Tengah membentuk Yayasan Pekan Raya Promosi Pembangunan.
Karena keterbatasan anggaran, pemerintah Jawa Tengah menggandeng PT Uber Vista Indah untuk membangun dan membebaskan lahan yang ketika itu masih berupa area tambak dan laut. Kerja sama itu berhasil membebaskan lahan 26,5 hektare. Proyek pertama PT Uber Vista Indah adalah membangun kawasan Semarang Square I seluas 5 hektare.
Baru sekali menggelar perhelatan Pekan Raya Jawa Tengah pada 1986, Uber Vista mengalami kesulitan dana. Mereka menyatakan tak sanggup meneruskan proyek prestisius itu. Gubernur Ismail pun kemudian meminta PT Puri Sakti meneruskannya.
Tawaran Ismail disambut baik PT Puri Sakti dengan membentuk PT Indo Perkasa Usahatama pada 1986. Sebelum kontrak diteken, Ismail langsung meminta Indo Perkasa meneruskan pembangunan arena pekan raya itu. Pemerintah Jawa Tengah memasang target kawasan itu harus siap dipakai untuk perhelatan Pekan Raya Jawa Tengah pada Agustus 1987.
Masalah muncul ketika Indo Perkasa membuat desain pembangunan kawasan. Ternyata lahan 26,5 hektare yang sudah dibebaskan terletak jauh dari desain kawasan.
Dikejar tenggat, Gubernur Ismail berjanji mengajukan hak pengelolaan lahan seluas 108 hektare atas nama pemerintah Jawa Tengah. Lahan baru itu sesuai dengan desain kawasan Indo Perkasa. Namun gagasan Ismail ditolak Indo Perkasa. Perusahaan itu menginginkan status hak guna bangunan, bukan hak pengelolaan lahan (HPL).
Negosiasi sempat mentok lantaran kedua pihak berkukuh pada posisinya. Akhirnya Gubernur Ismail berjanji memberikan kuasa penuh atas tanah berstatus HPL itu kepada Indo Perkasa selama 75 tahun. Pembagiannya, 60 hektare dikelola Yayasan PRPP dan sisanya untuk Indo Perkasa. Pemerintah provinsi juga berjanji membantu semua perizinan yang diperlukan Indo Perkasa untuk mengembalikan investasi. "Termasuk pengurusan HGB di atas HPL," kata Agus Dwiwarsono, salah satu kuasa hukum Indo Perkasa dari kantor advokat Yusril Ihza.
Indo Perkasa pun menyambut tawaran dengan berbagai kemudahan itu. Yayasan PRPP dan Indo Perkasa meneken perjanjian pada Mei 1987. Dalam perjanjian disebutkan, Yayasan PRPP akan membiayai pembangunan kawasan tahap kedua. "Tapi kenyataannya Indo Perkasa yang membiayai pembangunan itu," ujar Agus. Untuk mengganti biaya itu, Yayasan PRPP menyerahkan 14,3 hektare yang dikuasainya pada 1991. Lahan yang dikuasai Yayasan pun tinggal 45,6 hektare.
Dalam perkembangannya, pemerintah Jawa Tengah mengubah rencana tata ruang dan wilayah kawasan itu menjadi kawasan permukiman dan niaga. Merasa masih memiliki hak atas lahan sekitar 200 hektare di kawasan itu, Indo Perkasa membangun kawasan itu sesuai dengan ketentuan tata ruang baru.
Pada Agustus 2006, pemerintah Jawa Tengah mengundang Indo Perkasa menghadiri sebuah rapat. Dalam rapat itu, pemerintah provinsi menyatakan akan menertibkan aset milik PT PRPP yang dikerjasamakan dengan Indo Perkasa. Rupanya, pemerintah Jawa Tengah telah mengubah badan hukum Yayasan PRPP menjadi perseroan terbatas pada 1993. Dijelaskan pula bahwa PT PRPP akan mengurus sertifikat hak guna bangunan di atas lahan yang dikerjasamakan itu.
PT Indo Perkasa menolak rencana pemerintah Jawa Tengah itu. Alasannya, mereka tak pernah diberi tahu bahwa Yayasan PRPP yang dulu meneken perjanjian telah berubah menjadi perseroan terbatas. "Memangnya PT PRPP bisa begitu saja menggantikan Yayasan sebagai pihak dalam kerja sama," ujar Yusril.
Setelah sejumlah pertemuan tak berbuah sepakat, Badan Pertanahan Nasional turun tangan. Badan itu meneliti status hak pengelolaan atas lahan tersebut. Kesimpulannya, BPN menyebutkan pengelolaan lahan tersebut tak sesuai lagi dengan peruntukan semula. Karena itu, sebagai pemegang HPL, pemerintah Jawa Tengah diminta mengembalikan hak tersebut kepada negara.
Pada 2009, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengadukan PT Indo Perkasa ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Pemerintah provinsi menuding Indo Perkasa menggelapkan lahan kawasan pekan raya dan menjualnya ke pihak ketiga. Namun pengaduan itu mental. Kejaksaan menyatakan perkara itu bukan ranah pidana, melainkan perdata.
Kepala Kejaksaan Tinggi saat itu, Salman Maryadi, juga menyebut perjanjian pemerintah provinsi dengan Indo Perkasa tidak memiliki payung hukum. Menurut Kejaksaan, kuasa mutlak yang diberikan kepada Indo Perkasa melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2585. Kedua aturan itu melarang pemberian kuasa mutlak dalam perjanjian tanah.
Setelah melakukan penelitian lanjutan selama satu tahun, kejaksaan juga menyimpulkan perjanjian itu melanggar Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian itu tak jelas obyeknya karena lahan seluas 237 hektare yang dikerjasamakan masih berupa laut.
Gagal di Kejaksaan, pemerintah Jawa Tengah melaporkan kasus itu ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI pada 2011. Yang dilaporkan adalah dugaan korupsi dalam proses peralihan HPL menjadi HGB atas nama Indo Perkasa. Namun laporan itu pun kembali mentok. Melalui surat tertanggal 24 Oktober 2012, Bareskrim menyatakan tak ada tindak pidana dalam kasus itu.
Ketika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memblokir pengurusan sertifikat HGB atas lahan di kawasan Marina, giliran PT Indo Perkasa yang bermanuver. Mereka pun menggugat secara perdata ke pengadilan. Menurut Yusril, sebelum mengajukan gugatan, pihaknya mencoba mencari penyelesaian di luar pengadilan. Dalam beberapa pertemuan tak resmi dengan Ganjar, seperti dalam acara pernikahan, Yusril meminta waktu sang Gubernur untuk "berdiskusi". Tapi keduanya belum sempat bertemu khusus membahas sengketa itu. "Kita buktikan saja di pengadilan," ujar Yusril.
Ganjar tak gentar menghadapi gugatan itu. Ia meminta pengacara negara dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah meladeni "tantangan" Indo Perkasa. Menurut Ganjar, ia sudah berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk memenangi perkara ini. "Sudah saya minta Menteri Agraria dan Kepala Polri ikut menyelamatkan aset negara ini," kata Ganjar.
Febriyan (Jakarta), Rofiudin, Edi Faisol (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo