Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR tak sedap mampir ke telinga Faisal Basri. Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini dinilai kehilangan taji setelah bertemu dengan pihak PT Pertamina (Persero) dan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), Rabu dua pekan lalu. Rapat yang berlangsung selama lima jam itu belum menghasilkan gebrakan istimewa.
Hanya satu rekomendasi yang dikeluarkan, yaitu larangan impor bensin RON 88. Rekomendasi tunggal ini yang kemudian dinilai sebagian kalangan tidak begitu signifikan. "Mereka tidak tahu ini baru permulaan," kata Faisal kepada Tempo, Selasa pekan lalu, menjawab keraguan itu.
Bukan rahasia jika Petral menjadi salah satu incaran Tim Reformasi untuk dibenahi tata kelolanya. Tim Reformasi mengendus ada ketidakberesan dalam tata kelola impor bahan bakar minyak ataupun minyak mentah yang berlangsung di tubuh anak usaha Pertamina itu selama ini. Impor minyak dengan harga lebih mahal dari harga pasar pun kian membengkak.
Seorang pejabat yang ikut dalam Tim Reformasi mengatakan Petral memiliki cara tersendiri untuk menutupi permainannya. Mereka mengaku impor minyak dilakukan secara transparan karena melalui mekanisme lelang terbuka yang hanya boleh diikuti oleh perusahaan minyak nasional (national oil company/NOC) negara lain. "Itu cuma bungkus saja, ujung-ujungnya ke trader juga," ujarnya.
Dokumen internal Petral yang salinannya diperoleh Tempo memberi petunjuk besarnya peran trader dalam pengadaan minyak di Petral. Dari daftar pihak-pihak yang bertransaksi dengan Petral per 21 Agustus 2014 (list of counterparty), terdapat 32 NOC, 11 major oil company, dan 97 trader yang aktif dalam jual-beli minyak beserta produk turunannya dengan Petral selama ini.
Pejabat tadi mengatakan sejumlah dokumen yang dimiliki Tim Reformasi bahkan menemukan ada perbedaan nama perusahaan dalam bill of lading, dokumen pengapalan kargo, dan invoice yang ditagihkan kepada Petral. Di tagihan, nama yang tertera masih nama perusahaan minyak nasional yang memenangi lelang impor minyak. Namun, di dokumen bill of lading, biasanya tertera nama pemilik kapal kargo yang merupakan trader besar, seperti Hin Leong dari Singapura.
Keterlibatan para trader ini pun berlapis. Terkadang bisa dua-tiga lapis ke atas untuk ditelusuri. Dia memberi contoh, minyak dimenangi perusahaan nasional negeri tetangga, tapi yang memasok minyak untuk perusahaan itu bisa berasal dari berbagai pihak, seperti Cina, Thailand, dan Singapura. Bisa ada tiga-empat pihak. "Akibatnya, margin mereka bisa bengkak hingga US$ 1,2 per barel dari angka normal US$ 15 sen," kata pejabat tadi.
Anggota Tim Reformasi, Agung Wicaksono, yang turut hadir dalam rapat itu, mengatakan Petral belum bisa memberi jawaban yang lengkap atas sejumlah temuan tersebut. Saat itu, petinggi Petral mengaku hanya bisa memberi informasi mengenai pemilik minyak sesungguhnya dari pemenang lelang sebatas dua tingkat ke atas. "Seharusnya bisa lebih dalam. Kalau dua tingkatan masih dangkal. Ujungnya yang perlu kami tahu," ucapnya.
Bukan hanya soal pemasok yang dipersoalkan. Faisal Basri mengungkapkan masalah unit usaha Pertamina ini diperparah oleh laporan adanya komisi untuk calo kargo sebesar US$ 80 ribu untuk setiap aktivitas pengapalan (shipping). Informasi itu diperkuat oleh data sebuah persidangan kasus di Singapura.
Temuan lain adalah rekam jejak Direktur Utama Petral Bambang Irianto, yang dinilai duduk terlalu lama di kursi jabatannya. Hampir selama 16 tahun ia tak digantikan, meskipun sudah memasuki masa pensiun.
Juru bicara Pertamina, Ali Mundakir, menjelaskan, mekanisme peserta lelang impor harus perusahaan minyak nasional adalah kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah. "Kami hanya melaksanakan, silakan dikaji relevan atau tidak," katanya. "Tentunya kami ikut mana yang terbaik untuk Indonesia."
Head of Finance, Risk and General Affairs Petral Simson Panjaitan menegaskan, perusahaannya selama ini terbuka dalam mekanisme jual-beli minyak. Petral memberikan laporan secara rutin kepada Pertamina, yang kemudian ditembuskan ke Bank Indonesia serta Satuan Kerja Khusus Unit Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) secara berkala.
Simson menyangkal anggapan Faisal soal memberikan komisi kepada calo di pengapalan. "Semua transaksi pengapalan berjalan sesuai dengan mekanisme bisnis yang wajar," ujarnya.
bukan hanya masalah eksternal yang terjadi di Petral. Jajaran direktur baru Pertamina menilai perlu ada ruwatan khusus bagi anak usahanya itu. Sehari setelah pertemuan dengan tim yang digawangi oleh Faisal Basri digelar, Pertamina mengadakan rapat internal untuk membahas nasib Petral ke depan. "Petral sudah salah di mata publik, harus diruwat dan diselesaikan," kata Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Bambang.
Seorang mantan petinggi Pertamina mengatakan ketidakberesan mekanisme impor di Petral sebenarnya sudah tercium lama. Peran Petral dinilai terlalu besar dalam memasok bensin ke Indonesia. Inilah yang kemudian mendorong Pertamina mendirikan divisi Integrated Supply Chain (ISC) pada 2008 untuk memangkas peran Petral.
Urusan impor minyak dan bensin akan dikontrol dari Indonesia, Petral hanya melaksanakan ketentuan kontrak impor yang dibuat oleh ISC. "Sayang, begitu ada pergantian direksi, peran ISC kembali dikecilkan dan peran Petral kembali besar," ujarnya.
Dia mengatakan sebenarnya Pertamina dulu memiliki tiga trader untuk memasok minyak, yakni Petral; Pacific Petroleum Trading, yang merupakan hasil joint venture Pertamina dengan 19 perusahaan Jepang; dan Korea Indonesia Petroleum Company.
Ketiga trader ini mencari pasokan minyak sendiri-sendiri untuk kemudian ditawarkan kepada Pertamina. Selain ketiga trader tersebut, trader lain boleh ikut melakukan penawaran. Karena Pertamina memahami adanya kemungkinan trader yang sekadar menjadi makelar, ketiga trader tersebut sangat berperan mencegah Pertamina dipermainkan oleh para trader nakal lain.
Begitu angka impor semakin tinggi, hanya Petral yang tersisa. Kewenangan yang diberikan kepada Petral pun semakin besar, dari pengadaan tender hingga penerbitan letter of credit (L/C) diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Akhirnya Petral, yang semula diciptakan untuk mengontrol permainan para trader, terjun menjadi pemain dalam bisnis impor minyak. Mekanisme jual-beli minyak pun menjadi tidak transparan.
"Mereka tidak lagi mencari minyak langsung ke produsen," katanya. "Akibatnya, negara dengan angka impor sebesar kita pasokannya hanya bergantung pada trader."
Peran Petral yang terlalu besar itu diakui oleh Ahmad Bambang. Karena itu, pemangkasan kewenangan jadi salah satu langkah yang diambil Pertamina untuk merombak Petral. Pertamina akan mengembalikan kewenangan pengadaan ke pusat, yakni melalui divisi ISC seperti dulu. "ISC tak sekadar perencanaan, perannya dioptimalkan Pengadaan minyak, gas, dan BBM tidak lagi di Petral," ucapnya.
Petral akan kembali menjalani perannya sebagai perusahaan trading global. Kali ini disertai dengan penguatan infrastruktur, seperti tangki penyimpanan dan fasilitas pengolahan yang ditempatkan di lokasi-lokasi yang menunjang, seperti Batam. Dengan begitu, biaya sewa dan ketergantungan fasilitas penyimpanan ataupun pengolahan dari luar negeri bisa dikendalikan.
Ahmad Bambang juga memastikan soal perombakan manajemen Petral. Di sana akan ditempatkan komisaris independen non-eksekutif untuk pengawasan yang lebih ketat. "Kalau perlu dari Komisi Pemberantasan Korupsi."
Gustidha Budiartie, Bernadette Christina (Jakarta), Addhi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo