Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mati tertembak

Petinju prof., ditemukan mati tertembak. johny rupanya ingin meniru permainan rulet rusia. (krim)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pistol diisi sebutir peluru. Lalu tempat pelurunya diputar, sehingga tidak diketahui pada tarikan picu ke berapa ia akan meletus, lalu larasnya ditempelkan tepat pada pelipis. Yang diperjudikan adalah tarikan picu pertama.. Itulah adegan judi maut, "rulet Rusia", yang dipertontonkan film The Deer Hunter -- cerita tentang kebengisan perang Vietnam yang dibintangi Robert de Niro. Dan Johny Mangi, kalau benar ia bermain-main semacam itu, agaknya sial: peluru terlepas pada tarikan pertama, tepat di pelipis kanan, tembus ke bagian kiri kepalanya. Mayat petinju prof berumur 25 tahun ini ditemukan dini hari 1 Mei lalu, terkapar di jembatan Widodaren, di lingkungan pasar loak Talun, Malang, sekitar 250 meter dari rumahnya. Komandan Wilayah Kepolisian Malang, Jawa Timur, Kol Pol. Soedjihardjo, pekan lalu menyatakan bahwa Johny "meninggal akibat kecelakaan senjata api." Berdasarkan keterangan tujuh orang saksi, bisa disimpulkan, Johny rupanya ingin meniru permainan "rulet Rusia" tersebut di atas. Tapi, ada suara yang meragukan cerita itu. Sebuah sumber menyebutkan, di malam naas itu, Johny bersama seorang kawannya hendak main karambol di rumah seorang kenalan. Tiba di jembatan Widodaren, Johny konon menyuruh temannya membeli rokok. Ia sendiri terus melangkah ke tempat main karambol yang hanya beberapa meter jaraknya dari jembatan. Begitu kawan yang membeli rokok kembali, ia mendapati Johny sudah terkapar di jembatan dengan kepala berlumur darah. Konon ada yang melihat, ketika Johny seorang diri di jembatan, tiba-tiba ada dua sosok bayangan menghampiri. Terjadi keributan sebentar terdengar tembakan, dan Johny langsung tergeletak. Namun ada cerita lain yang menyatakan bahwa Johny tertembak saat bermain karambol. Ketika asyik membidik buah karambol, begitu ceritanya, terdengar bunyi sebuah letusan dan tubuh petinju itu pun rebah ke meja permainan. Lampu tekan yang menerangi sekitar tempat permainan, ada yang memadamkan dan orang-orang menyingkir dari sana. Dugaan lain ialah bahwa Johny bunuh diri. Tapi banyak yang tak percaya. Seperti lazimnya petinju, "dia bermental baja, berani, dan tidak mudah putus asa," kata ayahnya, Yan Ratu Mangi. Tapi diakui bahwa di antara ketiga anaknya, si bungsu Johny adalah anak yang paling nakal. Yan, pensiunan polisi yang kini menjadi pembina olah raga di Malang itu juga menyangkal bahwa Johny sering membawa senjata api. Memang, katanya, ia mempunyai lima pucuk senjata api yang terkadang dipakai Johny. "Tapi itu senjata api laras panjang dan hanya digunakan untuk berburu," katanya. Dan semua senjata api tersebut, sejak sebelum Pemilu 1982, sudah ditarik pihak berwajib. Di Malang, nama Johny memang cukup dikenal sebagai tukang berkelahi dan bikin ribut. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia suka menghajar mereka yang tidak mau memberinya uang. Ia juga pernah dihukum 6 bulan penjara karena melakukan penganiayaan. Di kalangan korak, preman Malang, Johny kabarnya juga disegani. Menurut Wongso Suseno, bekas juara tinju OPBF, ada yang iri pada Johny dan sering mencatut namanya. Suatu kali, kata Wongso, ada seorang Cina mangaku dihajar Johny. "Saya tak percaya," kata Wongso kepada TEMPO. Hari itu juga ia mengajak Johny ke rumah Cina yang mengaku dihajar karena tak mau diperas. Ternyata, kata Wongso, yang melakukan tindakan itu bukan Johny melainkan orang lain yang mengaku sebagai Johny si Petinju. Johny mulai mengenal tinju prof berkat bimbingan Wongso Suseno, 1976. Tiga tahun kemudian karirnya menanjak dan berhasil menjadi juara nasional kelas super bulu. Karirnya di atas ring, menang 15 kali dan dua kali kalah. Kini dia kalah di luar ring -- entah mengapa dan oleh siapa meninggalkan seorang istri yang sedang hamil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus