BARU-BARU ini dalam Far Eastern Economic Review (7 April 1983)
ada tulisan mengenai sukses dan ekspansi usaha Liem Swie-liong
and Son (dan Putra) sebagai salah satu usaha multinasional
Indonesia yang pertama berakar di negara ini. Sebenarnya di
berbagai negara ASEAN sudah ada usaha-usaha multinasional yang
berakar di negara sendiri. Namun di Indonesia, negara ASEAN
terbesar, baru kali ini atau paling-paling baru ada dua -- Liem
& Son dan mungkin Astra -- yang mencapai status tersebut.
Tentu selain segi-segi positif, ada segi negatifnya yakni
mudahnya uang/modal dalam negeri Indonesia lari ke luar, yang
tidak berarti lain kecuali berlanjutnya keadaan kolonialisme dan
ketergantungan Indonesia pada modal yang berada di luar. Di lain
pihak, orang akan mengatakan bahwa tanpa usaha multinasional
yang berakar pada Indonesia pun modal Indonesia selalu dapat
lari ke luar negeri, yakni bank-bank Swiss, Jepang, dan
lain-lain, yang menjamin rahasia para pemberi deposito. Malah
lebih baik ia lari ke usaha yang ada sangkut pautnya dengan
Indonesia, yakni multinasional yang berakar di sini, sehingga
para wiraswastanya tahu cara berpartisipasi dalam bisnis
internasional. Mana yang betul, namun itulah realita ekonomi
kita sekarang.
Persoalan kita: mengapa di Indonesia, seperti juga di negara
ASEAN lain, modal selalu dimiliki paling sedikit diurus/dikuasai
golongan minoritas seperti orang Indonesia keturunan Cina,
Filipino-Chinese, Thai-Chinese, dan seterusnya?
Sejak 1740, sesudah terjadi kerusuhan rasial pertama di
Indonesia -- terhadap penduduk Cina di Batavia, oleh penduduk
Belanda ada undang-undang mengenai pecinan. Isinya: sebanyak
mungkin orang Cina harus bermukim di kampung Cina (pecinan)
sedang perjalanan di luarnya hanya diperbolehkan setelah
menerima surat izin pemerintah setempat. Dalam pecinan, penduduk
Cina akan diperintah kepala-kepala mereka sendiri yang bergelar
mayor, kapitan, luitenant, dan wijkmeester atau kepala
kampung. Para kepala ini bukan militer, melainkan pedagang
paling kaya setempat yang diangkat pemerintah Hindia Belanda.
Kalau undang-undang pecinan itu mulanya berasal dari usaha
menghindarkan terulangnya kerusuhan rasial, dalam abad XIX
alasan tersebut berubah. Terlihat dari dokumen-dokumen Hindia
Belanda: alasan utama adalah melindungi penduduk petani, yang
sebagian terbesar dijadikan kuli di perkebunan kolonial, dari
pengaruh ekonomi keuangan alias kegiatan pedagang Cina. Dengan
singkat, pecinan sebenarnya bermaksud membatasi pengaruh
komersial Cina di pedalaman. Namun akibatnya sebaliknya:
menimbulkan kapitalisme di kalangan Cina.
Pemukiman orang Cina di satu daerah tersendiri tidak saja
berakibat pada jaminan keamanan yang lebih besar, tapi juga
eratnya hubungan dan 'saling tahu' antara mereka. Padahal dalam
dunia usaha masalah saling percaya ini hampir sama dengan modal
dan dapat menciptakan modal. Dari soal ini timbul dongeng
umpamanya bagaimana antara dua tokoh usahawan dapat terikat
perjanjian utang-piutang atau jual beli atau perseroan yang
meliputi ratusan juta dollar, hanya dengan jabatan tangan tanpa
surat-surat. Dengan sendirinya dongeng ini juga menunjukkan
tertutupnya dunia perdagangan pada tingkat itu bagi orang lain
yang tidak termasuk jaringan kepercayaan tersebut.
Sempitnya ruang gerak orang Cina karena peraturan pecinan,
memudahkan kontrol oleh para kepala kampung Cina seperti mayor,
kapitan dan lain-lain itu. Juga para usahawan besar sendiri
saling mengenal kemampuan bakat dan finansial masing-masing dan
itu dipererat lagi dengan tali perkawinan. Sehingga terjadi
"modal nikah dengan modal" dan menumbuhkan kapitalisme, di
kampung Cina. Keadaan di pecinan memang dapat menimbulkan
semacam "mafia" perdagangan, yang biarpun undang-undang pecinan
sudah lama terhapus jaringan masih tetap sedikit banyak berdiri.
Tapi kita juga harus melihat pengaruh penguasa terhadap
pertumbuhan kapitalisme ini.
Penguasa setempat pada zaman itu adalah para pejabat Hindia
Belanda. Sumber-sumber keuangan penting negara kolonial ini
antara lain pajak dan monopoli dagang seperti garam, feri
(penyeberangan), candu, gadai, dan lain-lain. Hindia Belanda
tidak memiliki cukup pegawai untuk semua ini -- lalu menjual
hak-hak keuangan negara kepada swasta, biasanya para kapitan
Cina. Sampai permulaan abad XIX, hak penarikan pajak mereka jual
seperti juga dilakukan raja-raja dan para bupati. Swasta
membelinya untuk satu daerah tertentu dan jangka waktu tertentu,
biasanya satu tahun, dan mereka pun leluasa seperti pemilik
negara tersendiri yang lalu menarik pajak sebesar mungkin.
Kedudukan para opsir Cina dengan demikian kuat sekali di
kalangan Cina: sebagai pemegang pacht (hak pembelian/sewa upaya
penghasilan negara) mereka adalah alat negara, dan bebas dari
ketentuan surat jalan maupun keharusan bermukim di pecinan.
Kesempatan ini mereka pakai untuk berdagang. Dan kebebasan ini
juga berlaku bagi para pegawai pacht. Sehingga kedudukan para
pemegang pacht merupakan sumber pekerjaan dan sekaligus
patronage (majikan) di pecinan. Merekalah yang akhirnya
menentukan siapa-siapa yang akan dipekerjakan pada pacht, yang
berarti bebas berada di pedalaman dan memperoleh kesempatan
berdagang.
Dua hal kita bisa tarik. Pertama, pertumbuhan usaha Cina ini
bersifat lokal, dan tidak luas. Dan itu tentunya memperkuat
struktur kekeluargaan usaha tersebut, karena memang tidak
memerlukan modal terlalu besar dan cukup ditangani beberapa
keluarga setempat. Kedua, pertumbuhan ini karena hubungan antara
berbagai keluarga dan penguasa setempat.
Tentu saja pertumbuhan modal semacam di atas tidak dapat
mencapai kejayaan dan skala besar seperti umpamanya usaha
Nederlandsche Handels-Maatschappij atau perusahaan Barat lainnya
zaman itu. Satu-satunya usaha Cina di masa kolonial yang keluar
dari skala setempat dan keluarga adalah Oei Tiong-ham
(1866-1924 red), yang juga memulai karirnya sebagai raksasa
modal setempat, tapi karena keberanian dan visi barunya
menumbuhkan perusahaan internasional zaman itu.
Hak penarikan pajak sendiri diambil alih kembali oleh Hindia
Belanda sekitar 1830. Juga penjualan garam. Tapi penjualan candu
dan pengusahaan gadai baru di awal abad XX. Dan itu merupakan
pukulan besar kepada jaringan dagang Cina, dengan akibat
terutama jatuhnya kedudukan para keluarga opsir sebagai pemimpin
pecinan, yang lalu digantikan para pemimpin dari aliran modern
di kalangan mereka. Kepemimpinan Cina tidak lagi karena
kekayaan, tapi karena kemampuan memperalat komunikasi modern
dengan pemerintah -- seperti pers, gerakan politik, hukum, dan
lain-lain.
Betapapun, sikap saling percaya yang tumbuh di pecinan, yang
merupakan modal bagi jaringan usaha di samping pentingnya
peranan keluarga dan hubungan dengan penguasa, dan akhirnya
tumbuhnya kapitalisme Cina di Indonesia, tidak ada hubungannya
dengan soal ras sebagai pemegang peranan. Orang sering bicara
tentang minoritas lain, misalnya Yahudi: ras Yahudi itulah yang
membuat mereka sukses dalam usaha. Juga orang sering mengatakan
bahwa agama, seperti Protestanisme atau Islam, memberi orang
sikap usaha. Orang sering lupa bahwa ghetttoe (kampung) Yahudi
di Eropa pada masa lalu itulah yang mengundang struktur jaringan
usaha, ditambah bahwa Yahudi tidak diberi kesempatan di lapangan
lain seperti pemerintahan atau politik, sehingga seluruh
orientasi mereka diberikan kepada usaha dagang.
Mengenai Protestanisme, juga kita melihat pentingnya peran
minoritas dalam agama ini sebagai golongan yang
menumbuhkan kapitalisme. Bukan orang Protestan umumnya, tapi
minoritas seperti kaum dissenters (pembangkang) dari aliran umum
Protestan (Anglican) di Inggris atau kaum Quakers (sekte
Protestan abad XVIII dan seterusnya. Dalam hal Islam pun,
golongan yang tinggal di Kauman atau Lawean yang berperan dalam
ekonomi secara lebih menonjol daripada muslimin umumnya.
Tulisan ini ingin menunjukkan satu gejala umum yang sebenarnya
sudah diungkapkan berbagai ilmuwan sosial maupun sejarah bahwa
dalam permulaan pertumbuhan kapitalisme, suatu minoritas dapat
memainkan peranan penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini