SEBUAH pistol diisi sebutir peluru. Lalu tempat pelurunya
diputar, sehingga tidak diketahui pada tarikan picu ke berapa ia
akan meletus, lalu larasnya ditempelkan tepat pada pelipis. Yang
diperjudikan adalah tarikan picu pertama.. Itulah adegan judi
maut, "rulet Rusia", yang dipertontonkan film The Deer Hunter --
cerita tentang kebengisan perang Vietnam yang dibintangi Robert
de Niro.
Dan Johny Mangi, kalau benar ia bermain-main semacam itu,
agaknya sial: peluru terlepas pada tarikan pertama, tepat di
pelipis kanan, tembus ke bagian kiri kepalanya. Mayat petinju
prof berumur 25 tahun ini ditemukan dini hari 1 Mei lalu,
terkapar di jembatan Widodaren, di lingkungan pasar loak Talun,
Malang, sekitar 250 meter dari rumahnya.
Komandan Wilayah Kepolisian Malang, Jawa Timur, Kol Pol.
Soedjihardjo, pekan lalu menyatakan bahwa Johny "meninggal
akibat kecelakaan senjata api." Berdasarkan keterangan tujuh
orang saksi, bisa disimpulkan, Johny rupanya ingin meniru
permainan "rulet Rusia" tersebut di atas.
Tapi, ada suara yang meragukan cerita itu. Sebuah sumber
menyebutkan, di malam naas itu, Johny bersama seorang kawannya
hendak main karambol di rumah seorang kenalan.
Tiba di jembatan Widodaren, Johny konon menyuruh temannya
membeli rokok. Ia sendiri terus melangkah ke tempat main
karambol yang hanya beberapa meter jaraknya dari jembatan.
Begitu kawan yang membeli rokok kembali, ia mendapati Johny
sudah terkapar di jembatan dengan kepala berlumur darah. Konon
ada yang melihat, ketika Johny seorang diri di jembatan,
tiba-tiba ada dua sosok bayangan menghampiri. Terjadi keributan
sebentar terdengar tembakan, dan Johny langsung tergeletak.
Namun ada cerita lain yang menyatakan bahwa Johny tertembak saat
bermain karambol. Ketika asyik membidik buah karambol, begitu
ceritanya, terdengar bunyi sebuah letusan dan tubuh petinju itu
pun rebah ke meja permainan. Lampu tekan yang menerangi sekitar
tempat permainan, ada yang memadamkan dan orang-orang menyingkir
dari sana.
Dugaan lain ialah bahwa Johny bunuh diri. Tapi banyak yang tak
percaya. Seperti lazimnya petinju, "dia bermental baja, berani,
dan tidak mudah putus asa," kata ayahnya, Yan Ratu Mangi. Tapi
diakui bahwa di antara ketiga anaknya, si bungsu Johny adalah
anak yang paling nakal.
Yan, pensiunan polisi yang kini menjadi pembina olah raga di
Malang itu juga menyangkal bahwa Johny sering membawa senjata
api. Memang, katanya, ia mempunyai lima pucuk senjata api yang
terkadang dipakai Johny. "Tapi itu senjata api laras panjang dan
hanya digunakan untuk berburu," katanya. Dan semua senjata api
tersebut, sejak sebelum Pemilu 1982, sudah ditarik pihak
berwajib.
Di Malang, nama Johny memang cukup dikenal sebagai tukang
berkelahi dan bikin ribut. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia
suka menghajar mereka yang tidak mau memberinya uang. Ia juga
pernah dihukum 6 bulan penjara karena melakukan penganiayaan. Di
kalangan korak, preman Malang, Johny kabarnya juga disegani.
Menurut Wongso Suseno, bekas juara tinju OPBF, ada yang iri pada
Johny dan sering mencatut namanya. Suatu kali, kata Wongso, ada
seorang Cina mangaku dihajar Johny. "Saya tak percaya," kata
Wongso kepada TEMPO. Hari itu juga ia mengajak Johny ke rumah
Cina yang mengaku dihajar karena tak mau diperas. Ternyata, kata
Wongso, yang melakukan tindakan itu bukan Johny melainkan orang
lain yang mengaku sebagai Johny si Petinju.
Johny mulai mengenal tinju prof berkat bimbingan Wongso Suseno,
1976. Tiga tahun kemudian karirnya menanjak dan berhasil menjadi
juara nasional kelas super bulu. Karirnya di atas ring, menang
15 kali dan dua kali kalah. Kini dia kalah di luar ring -- entah
mengapa dan oleh siapa meninggalkan seorang istri yang sedang
hamil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini