SESOSOK mayat tergeletak di jalan raya di Dukuh Widangan di
dekat Tuban. Tampaknya ada luka di pelipis, ubun-ubun, dan di
dada kiri. Dari saku ditemukan paspor Taiwan atas nama Wu Shan
Kwang, 26 tahun, domisili Taipeh. Terselip juga fotokopi kartu
tanda penduduk atas nama Aris Winaryo, beralamat di Jalan K.H.
Mukmin 47, Sidoarjo.
Kepolisian menghubungi Aris Winaryo, pengusaha kerupuk. Setelah
meneliti paspor, Aris dengan cepat mengakui, korban itu adik
iparnya. "Siapa lagi kalau bukan dia, paspor ini miliknya," kata
Aris, seperti ditirukan polisi kemudian. Dengan alasan ngeri
melihat korban, Aris minta polisi langsung memperabukannya.
Polisi pun melaksanakan permintaan "keluarga" korban -- sambil
berusaha melacak siapa pembunuh yang keji itu.
Enam hari kemudian, 5 Mei, Aris Winaryo secara mengejutkan
melapor: Wu Shan Kwang, adik iparnya itu, ternyata masih hidup
dan tinggal di Surabaya. Polisi, yang tentu saja mencium sesuatu
yang aneh, mengajak Aris menemui Shan Kwang. Pemuda jago kungfu
itu yang ditemui di daerah Kalisari, langsung diusut. Aris, yang
membantu polisi pun, ikut ditahan.
Shan Kwang, yang berusaha mengelak, akhirnya mengaku bahwa ia
terkait dengan jenazah yang ditemukan di dekat Tuban itu. Bahkan
ia mengakui terus-terang, korban yang bernama An Sing Hoang itu
dibunuh oleh Sarno, buruh pabrik kerupuk di pabrik kakak
iparnya. Adalah dia sendiri yang memerintahkan pembunuhan itu.
Adapun yang mendorongnya berbuat begitu, menurut polisi, dia
mengaku ingin menghilangkan jejak. Ia, katanya, lari dari Taiwan
untuk menghindari wajib militer. Ia memilih Indonesia, karena
lahir dan sampai remaja di sini. Tentu saja ia masuk ke mari
secara gelap.
Entah bagaimana caranya, baru 3 bulan di sini, Shan Kwang
ternyata berhasil mengantungi paspor Indonesia atas nama So Jemi
yang belakangan diketahui paspor palsu. Sejak itulah ia mencari
jalan agar diumumkan, "Warganegara Taiwan, Wu Shan Kwang,
meninggal di Indonesia karena perampokan." Jika rencana itu
berhasil, apalagi ada koran memuatnya, bukan saja dia bebas dari
wajib militer, tetapi keluarganya di Taiwan juga dapat santunan
asuransi, sebesar US$ 8.000. Karena itulah, korban yang dicari,
orang yang mirip dirinya.
An Sing Hoang, 26 tahun, temannya sejak di Sumbawa, diajak pergi
dengan janji akan diajak ke Jakarta. Sing Hoang tidak curiga.
Dengan mobil sewaan yang dikemudikannya, dan mampir menjemput
Sarno di Sidoarjo, mereka meninggalkan Surabaya menjelang tengah
malam.
Sebelum memasuki Tuban, begitu pengakuannya kepada polisi lagi,
kendaraan dihentikannya karena Sing Hoang mau kencing. Ketika
itulah ia lantas membisiki Sarno: "Sekarang saja kau bunuh."
Tapi Sarno menjawab lemah: "Aku tak tega, ia teman baikku." Dia
terus mendesak: "Membunuh orang lain atau teman, sama saja
membunuh." Akhirnya Sarno menurut. Dengan gesit ia turun,
memukul pelipis, dan menusukkan pisau dapur ke dada Sing Hoang.
Setelah beres, Shan Kwang memasukkan paspor Taiwan miliknya ke
saku korban yang mengerang-erang. Sarno pun menerima bayaran Rp
100.000.
Menurut polisi, usaha Shan Kwang ini baru berhasil, setelah ia
melakukan untuk yang ketiga kalinya. Awal April lalu, dia
mengaku, sudah menyerang seseorang yang mirip dirinya di kawasan
Rungkut, Surabaya. Gagal, karena pemuda itu melawan dan lari.
Selang beberapa hari, juga di kawasan yang sama, dia mencoba
membunuh Choidir, buruh kakak iparnya. Waktu itu, ia bekerja
sama dengan Wartono, 32 tahun, sopir pabrik kerupuk kakak
iparnya juga. Rencananya berjalan mantap, tapi Wartono tak tega
menabrak Choidir, teman sekerjanya. Shan Kwang marah dan pada
usahanya yang ketiga ia memilih Sarno.
Begitulah pengakuan Shan Kwang, seperti yang diceritakan
Dansatserse Kodak X Ja-Tim Letkol Pol Soetardjo kepada TEMPO.
Tetapi kepolisian masih menduga ada sesuatu yang disembunyikan.
"Kami sudah menghubungi Interpol lewat Mabes Polri," kata
Soetardjo, untuk mencari data Shan Kwang lebih jauh, terutama
kegiatannya di luar negeri. Sebuah sumber menduga, tak mustahil
dia terlibat jaringan narkotika internasional.
Data sementara yang berhasil dikumpulkan, menyatakan
dia-kelahiran Dompu, Sumbawa, 8 Februari 1957. Di tempat
kelahirannya, 7 tahun yang lalu, dia pernah dituduh mencuri. Ia
buron dan menghilang begitu saja. Tiba-tiba, kakak kandungnya,
Tee Ing (yang dikawini Aris Winaryo), mendapat berita bahwa dia
sudah jadi warga negara Taiwan dan tinggal di Taipeh.
Secara mengejutkan, dia muncul lagi di Surabaya, Februari lalu.
Dia mengaku sendiri, bahwa masuk secara gelap. Aris Winaryo dan
istrinya menampung si anak yang lama menghilang itu, sampai dia
begitu akrab dengan buruh-buruh pabrik kerupuk mereka.
Adalah soal keterlibatan keluarga Aris dalam kasus Shan Kwang
masih teka-teki. Aris begitu cepat minta agar mayat yang diakui
sebagai adik iparnya itu segera diperabukan. Tetapi terang ia
melaporkan bahwa adik iparnya masih hidup.
Kini Aris sedang diperiksa. Sumber di kepolisian menyebutkan,
terlibat atau tidak, alasan menahan Aris cukup kuat: "Menyuruh
memperabukan jenazah yang diakui keluarganya, tanpa memeriksa
sebelumnya."
Tetapi kepolisian Jawa Timur, juga kena kecam keluarga An Sing
Hoang yang kini di Sumbawa, karena begitu gegabah mengizinkan
memperabukan jenazah sebelum mengetahui pasti identitas korban.
Padahal, demikian keluarga Sing Hoang, apa sulitnya repot
sedikit mengambil sidik jari korban untuk dicocokkan dengan
paspor yang ditemukan ketika korban tergeletak. Kalau mau
sedikit repot -- sekarang mungkin jadi tambah repot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini