SAMPAI Sabtu pekan lalu kamar mayat RSCM, di Jakarta Pusat,
masih sibuk. Bau busuk menyengat ke mana-mana. Di situ ada enam
jenazah tergeletak di atas tandu dan tertutup kain hijau.
Sosok-sosok kaku itu adalah sebagian dari mayat-mayat yang
ditemukan Kamis malam. Mereka menyusul belasan korban
"penembakan misterius" yang terjadi bulan Mei ini.
Dugaan bahwa operasi pemberantasan gali dilancarkan pula di
Jakarta -- menyusul pemberantasan di Yogya -- semakin kuat
dengan berlanjutnya penembakan-penembakan misterius itu.
Beberapa penjemput jenazah membenarkan bahwa korban adalah orang
yang suka bikin onar. "Ia memang suka mabuk-mabukan, berkelahi,
makan tidak bayar, atau memeras," ujar seorang pengurus RT 15/RW
05, Bali Matraman, menggambarkan almarhum Udin Suparman, 19
tahun, yang dijemputnya.
Udin, katanya, tertembak ketika digiringnya ke kantor RW bersama
orangtua anak itu. Kebetulan Udin, malam Kamis itu dicurigai
melakukan pencurian di kampung itu. Tapi sekitar 200 m dari
kantor RW, di kegelapan malam, tiba-tiba terdengar bunyi
letusan. "Saya kira bunyi petasan," katanya. Ia baru sadar bahwa
itu suara tembakan ketika Udin merintih dan jatuh berlumur
darah.
Tapi siapa penembak Udin dan korban lainnya? Entah. Pihak
kepolisian mengatakan bahwa masih menyelidiki kasus penembakan
di berbagai tempat di wilayah DKI itu. "Tidak ada petugas yang
terlibat penembakan, dan sampai hari ini belum ada perintah
tembak di tempat," ujar Danres Jakarta Timur, Letkol. Pol.
Kasmiyanto, yang di wilayahnya ditemukan beberapa jenazah.
Komandan Kodim Jakarta Timur, Letkol. Siswandhi, juga membantah
ikut operasi menembaki bandit. Juga mengaku belum mendapat
perintah untuk itu. Ia memang membenarkan bahwa ada desas-desus,
seakan-akan operasi penumpasan gali dilan
carkan dengan cara seperti di Yogya. "Yang jelas tidak ada satu
pun anak buah saya yang menjadi penembak misterius," kata
Siswandhi lagi.
Pihak polisi menduga, yang membunuh beberapa bandit Ibukota itu
adalah kalangan mereka sendiri. "Orang seperti mereka kan tidak
hidup sendiri -- umumnya punya komplotan atau saingan. Bisa saja
bentrokan terjadi gara-gara pembagian rezeki antarkomplotan
sendiri," ujar Danres Kasmiyanto.
Lain di Jakarta lain pula di Yogya dan Jawa Tengah. Kasi Pendak
Jawa Tengah dan DIY, Mayor Harjono, pekan lalu terus terang
mengumumkan bahwa ada 86 penjahat di wilayahnya terbunuh.
Sekitar 43 orang, katanya, tewas akibat luka-luka ketika
ditangkap, 27 orang tewas di tempat, dan 16 orang lainnya
dikeroyok massa. Tindakan itu, menurut Haryono terpaksa diambil,
karena penjahat sudah menunjukkan perilaku menantang dan
meresahkan masyarakat.
Hasilnya, kata Komandan Kepolisian Semarang, Kol. Pol. Edison D.
Haloho, gangguan kejahatan di Semarang turun deras. "Kalau dulu
setiap hari ada sekitar sepuluh laporan masuk, sekarang seminggu
tidak sampai sepuluh laporan," ujar Edison. Pun, sebuah
organisasi para gali, "Fajar Menyingsing", diam-diam ternyata
sudah tidak berfungsi lagi. "Sebelum kami bubarkan, ternyata
mereka telah bubar sendiri," tambah Edison lagi.
Para gali memang kalang-kabut, digebuk operasi yang dilancarkan
sejak awal tahun ini di seluruh Pulau Jawa. Sekitar 1.000 orang
menyerah. Banyak pula yang lari atau berpindah kota. Bahkan ada
yang sampai bunuh diri, seperti terjadi di Kabupaten Bantul,
Yogya. Seorang gali, A. Gani, tewas menenggak obat serangga.
Rekannya yang lain, Amat, sempat diselamatkan akibat perbuatan
serupa. Menurut harian Sinar Harapan, Gani sempat menulis surat
wasiat, yang berbunyi: "Lebih baik saya bunuh diri daripada
tertangkap petugas." Sehari sebelumnya kakak Gani, Saelan, tewas
kena keroyok penduduk.
Begitu penembakan misterius terjadi di Jakarta, Ketua Yayasan
LBH Indonesia, Adnan Buyung Nasution, memprotes. Ia menganggap
bahwa mengganyang gali model Yogya sebagai tindakan main hakim
sendiri, (TEMPO, Nasional 21 Mei). Wakil Ketua Mahkamah Agung,
R.H. Poerwoto Soehadi Gandasubrata, akhir pekan lalu, uga
mengeluarkan pernyataan yang senada. "Penembakan harus bisa
dipertanggungjawabkan -- tidak bisa main tembak begitu saja,"
katanya sambil mengingatkan bahwa petugas juga terikat dengan
hukum dalam menjalankan tugasnya.
Semua peringatan itu segera dijawab Pangab/Pangkopkamtib
Jenderal Benny Moerdani. Tindakan aparat keamanan dalam
menanggulangi kejahatan, katanya, selalu berlandaskan hukum.
"Indonesia adalah negara hukum, sehingga kewajiban kita semua
untuk bertindak berdasarkan hukum," ujar Benny ketika menjawab
pertanyaan wartawan di Istana Negara, Sabtu lalu. "Penembakan
hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa," tambahnya.
Namun, bukan tidak ada residivis atau gali atau apa pun namanya,
yang tetap tewas walau sudah menyerahkan diri. Supeno, misalnya,
yang menyerahkan diri 12 April lalu ke Garnisun Yogya, dan
kemudian diserahkan ke polisi, "tiba-tiba saya tahu ia telah
mati," ujar istrinya. Nyonya Supeno diantar beberapa tetangganya
mengambil mayat itu ke RS Sardjito. "Saya tidak tega melihatnya,
karena banyak mayat di sana yang sudah membusuk," cerita Ny.
Supeno.
Sampai kini belum begitu jelas berapa sebenarnya gali Yogya yang
tertumpas. Ada sumber menyebut 60 orang. Tapi, kata Komandan
Korem Pamungkas Kolonel Siswadi, "korban itu ekses, tindakan itu
merupakan pilihan terakhir, dan hanya dilakukan dalam keadaan
terpaksa," kata Siswadi, sambil menegaskan bahwa penumpasan gali
tidak akan dihentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini