KOBARAN api itu dengan lahapnya menelan bangunan semipermanen
milik Yahya, di Desa Dua, 15 km dari Medan. Dan penduduk desa di
Kecamatan Percut itu hanya bisa termangu-mangu. "Ternyata
bedebah itu betul-betul melaksanakan ancamannya," ujar Yahya
sambil mendekap ketiga anaknya.
Dua bulan sebelumnya, rumah Yahya itu dimasuki 15 perampok,
bersenjatakan clurit dan golok panjang. Pintu didobrak dengan
kayu balok dan penghuninya diikat menjadi satu. Lalu, tanpa
gangguan, mereka menggaet uang tunai Rp 2 juta, perhiasan emas
20 gram, dan tape-reorder. Ketika meninggalkan rumah itu
seorang perampok itu sempat mengancam: "Jangan coba-coba
berteriak atau mengadu ke polisi, kalau tidak mau rumah ini kami
bakar."
Tapi Yahya tak peduli -- sebab kerugian yang dideritanya cukup
banyak -- esok harinya ia mengadu ke polisi. Ternyata para
perampok membuktikan ancamannya. Senin lalu, menjelang dini
hari, rumah Yahya mereka bumihanguskan. Habislah sudah seluruh
harta pedagang ikan itu.
Rampok bergerombolan disertai ancaman membakar rumah, kini
seperti menjadi modus baru di Sumatera Utara. Awal bulan lalu,
rumah Salekan, di Lorong II, Patatal, menjadi sasaran. Dini
hari, pukul 03.00, pintu rumah didobrak benda keras hingga
terkuak dan belasan perampok berhamburan ke dalam.
Salekan yang terjaga, masih sempat memukul salah seorang
perampok itu dengan sepotong besi bulat, senjata yang biasa
dipakainya untuk ber-"siskamling". Tapi jumlah perampok itu
membuat perlawanan orang tua itu tak berarti. Dengan sekali
sabetan parang panjang, Salekan pun tersungkur. Istri dan ketiga
anaknya, yang berteriak dan mencoba melawan, juga habis
dipukuli.
Hasil keberingasan itu tak seberapa, cuma uang tunai Rp 7.000,
emas 10 gram dan sejumlah pakaian. "Kami orang miskin, apa yang
mau kalian ambil," tutur Salekan mengulang ucapannya waktu itu.
Ia pun pingsan karena darah yang terlalu deras mengucur dari
tiga jari tangannya yang putus dan kakinya yang koyak.
Malam itu juga rumah Amir, tetangga Salekan, mendapat giliran.
Tak ada harta yang berarti di rumah keluarga miskin ini kecuali
uang beberapa ribu serta beberapa lembar pakaian bekas, yang
digaet kelompok bedebah itu. Seperti mencari imbalan atas "jerih
payah", seorang anak gadis Pak Amir sempat mereka gagahi.
Giliran berikutnya, masih pada malam itu, rumah Ponirin. Tanpa
kesulitan perampok itu menyikat harta tak seberapa -- beberapa
ribu uang tunai dan seuntai kalunemas. Nasib Ponirin masih
baik. Ia tak mengalami siksaan, mungkin karena Ponirin memang
tak melawan ketika perampok mengobrak-abrik isi rumahnya.
Ketiga korban malam itu, dikenal sebagai petani miskin, yang
hanya memiliki ¬ha sawah. Salekan, misalnya, terpaksa
mengerahkan istri dan anaknya bekerja di perkebunan dengan upah
Rp 500 sehari, untuk membantu dapur keluarganya. "Kami memang
orang miskin," ujar Salekan kepada TEMPO. "Tapi kok kami yang
menjadi sasaran mereka."
Seperti belum puas mengacau, besok malamnya gerombolan perampok
itu kembali menggilir tiga tetangga Salekan yang lain. Ketiga
korban itu, Sulam, Randio, dan Syahriden, yang saling
bertetangga, persis di pinggir desa, bersisian dengan perkebunan
karet PTP V Dusun Ulu. Seperti malam sebelumnya, hasil rampokan
itu tak seberapa, karena ketiga korban itu juga miskin.
"Kami tak berani melawan," ujar Randio pekan lalu, karena
"perampok itu mengancam akan membunuh dan membakar rumah."
Polisi? "Percuma saja mengadu," kata Randio setengah mengeluh.
"Selain hasilnya tak ada, silap-silap rumah kami dibakar
perampok."
Yang jelas suasana di desa itu kini kacau dan penduduk akhirnya
takut berdiam di situ. Ponirin dan Amir, misalnya, kontan
meninggalkan desa itu, konon pindah ke Kota Kisaran. "Lebih baik
meninggalkan desa ini ketimbang terus dicekam ketakutan,"
seperti tutur Amir kepada tetangganya.
Langkah Amir dan Ponirin itu akhirnya diikuti banyak tetangga
lain. Malam hari mereka mengungsi, baru pagi hari mereka berani
pulang. Sementara seluruh barang yang ada harganya, mereka
titipkan ke tempat famili.
Hingga Sabtu lalu, sebagian penduduk terus mengungsi, meski
polisi setempat meminta agar mereka kembali menempati rumahnya.
"Apa polisi bisa menjamin bajingan itu tak muncul lagi?" tanya
Salekan agak sengit. Tampaknya polisi tak bisa berbuat banyak.
"Desa itu memang rawan karena letaknya berbatasan dengan
perkebunan karet," ucap Letda Pol. M. Simanjuntak, komandan
Kepolisian Labuhanruku kepada TEMPO.
Desa yang berpenghuni 15 keluarga itu, sebelumnya selalu aman,
karena sistem ronda kampung yang aktif, sejak desa itu didirikan
dua puluh tahun lalu. "Pokoknya tak terdengar ada satu ayam pun
dicuri," ujar Simanjuntak. Tapi "rampok ramai-ramai" belakangan
itu, membuat sistem ronda swasta itu menjadi lumpuh. Misdi yang
sempat memergoki rampok di rumah Salekan itu, misalnya, tak
berdaya menghadapi jumlah perampok yang sekian banyak. Ia
mencoba lari mencari bala bantuan, tapi apa mau dikata, baru
satu jam kemudian tenaga bisa terkumpul. Karuan saja bajingan
itu sudah kabur.
Perampok itu seperti hendak mencobakan cara menembus benteng
siskamling yang selama ini ampuh. "Boleh jadi mereka dendam,"
kata Perwira Penerangan Kodak II, Mayor J. Sihombing, "melihat
sasarannya bukan orang yang berpunya -- tujuan perampok
sebenarnya bukan harta."
Namun, menurut perwira penerangan itu, untuk mengembalikan
suasana tenteram, tak bisa mengandalkan polisi saja. "Kita
kekurangan tenaga dan biaya," ujarnya menjelaskan. Seperti
dikemukakan Simanjuntak sebelumnya, "suasana aman hanya penduduk
yang bisa menciptakannya."
Tapi, "bagaimana bisa aman, kalau polisi sendiri tak mau
bergerak," ujar seorang penduduk itu. Dan pengungsian pun terus
berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini