Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Penjarahan Kampung Miskin

Rampok bergerombolan disertai membakar rumah terja di di desa dua (medan), banyak penduduk mengungsi. (krim)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOBARAN api itu dengan lahapnya menelan bangunan semipermanen milik Yahya, di Desa Dua, 15 km dari Medan. Dan penduduk desa di Kecamatan Percut itu hanya bisa termangu-mangu. "Ternyata bedebah itu betul-betul melaksanakan ancamannya," ujar Yahya sambil mendekap ketiga anaknya. Dua bulan sebelumnya, rumah Yahya itu dimasuki 15 perampok, bersenjatakan clurit dan golok panjang. Pintu didobrak dengan kayu balok dan penghuninya diikat menjadi satu. Lalu, tanpa gangguan, mereka menggaet uang tunai Rp 2 juta, perhiasan emas 20 gram, dan tape-reorder. Ketika meninggalkan rumah itu seorang perampok itu sempat mengancam: "Jangan coba-coba berteriak atau mengadu ke polisi, kalau tidak mau rumah ini kami bakar." Tapi Yahya tak peduli -- sebab kerugian yang dideritanya cukup banyak -- esok harinya ia mengadu ke polisi. Ternyata para perampok membuktikan ancamannya. Senin lalu, menjelang dini hari, rumah Yahya mereka bumihanguskan. Habislah sudah seluruh harta pedagang ikan itu. Rampok bergerombolan disertai ancaman membakar rumah, kini seperti menjadi modus baru di Sumatera Utara. Awal bulan lalu, rumah Salekan, di Lorong II, Patatal, menjadi sasaran. Dini hari, pukul 03.00, pintu rumah didobrak benda keras hingga terkuak dan belasan perampok berhamburan ke dalam. Salekan yang terjaga, masih sempat memukul salah seorang perampok itu dengan sepotong besi bulat, senjata yang biasa dipakainya untuk ber-"siskamling". Tapi jumlah perampok itu membuat perlawanan orang tua itu tak berarti. Dengan sekali sabetan parang panjang, Salekan pun tersungkur. Istri dan ketiga anaknya, yang berteriak dan mencoba melawan, juga habis dipukuli. Hasil keberingasan itu tak seberapa, cuma uang tunai Rp 7.000, emas 10 gram dan sejumlah pakaian. "Kami orang miskin, apa yang mau kalian ambil," tutur Salekan mengulang ucapannya waktu itu. Ia pun pingsan karena darah yang terlalu deras mengucur dari tiga jari tangannya yang putus dan kakinya yang koyak. Malam itu juga rumah Amir, tetangga Salekan, mendapat giliran. Tak ada harta yang berarti di rumah keluarga miskin ini kecuali uang beberapa ribu serta beberapa lembar pakaian bekas, yang digaet kelompok bedebah itu. Seperti mencari imbalan atas "jerih payah", seorang anak gadis Pak Amir sempat mereka gagahi. Giliran berikutnya, masih pada malam itu, rumah Ponirin. Tanpa kesulitan perampok itu menyikat harta tak seberapa -- beberapa ribu uang tunai dan seuntai kalunemas. Nasib Ponirin masih baik. Ia tak mengalami siksaan, mungkin karena Ponirin memang tak melawan ketika perampok mengobrak-abrik isi rumahnya. Ketiga korban malam itu, dikenal sebagai petani miskin, yang hanya memiliki ¬ha sawah. Salekan, misalnya, terpaksa mengerahkan istri dan anaknya bekerja di perkebunan dengan upah Rp 500 sehari, untuk membantu dapur keluarganya. "Kami memang orang miskin," ujar Salekan kepada TEMPO. "Tapi kok kami yang menjadi sasaran mereka." Seperti belum puas mengacau, besok malamnya gerombolan perampok itu kembali menggilir tiga tetangga Salekan yang lain. Ketiga korban itu, Sulam, Randio, dan Syahriden, yang saling bertetangga, persis di pinggir desa, bersisian dengan perkebunan karet PTP V Dusun Ulu. Seperti malam sebelumnya, hasil rampokan itu tak seberapa, karena ketiga korban itu juga miskin. "Kami tak berani melawan," ujar Randio pekan lalu, karena "perampok itu mengancam akan membunuh dan membakar rumah." Polisi? "Percuma saja mengadu," kata Randio setengah mengeluh. "Selain hasilnya tak ada, silap-silap rumah kami dibakar perampok." Yang jelas suasana di desa itu kini kacau dan penduduk akhirnya takut berdiam di situ. Ponirin dan Amir, misalnya, kontan meninggalkan desa itu, konon pindah ke Kota Kisaran. "Lebih baik meninggalkan desa ini ketimbang terus dicekam ketakutan," seperti tutur Amir kepada tetangganya. Langkah Amir dan Ponirin itu akhirnya diikuti banyak tetangga lain. Malam hari mereka mengungsi, baru pagi hari mereka berani pulang. Sementara seluruh barang yang ada harganya, mereka titipkan ke tempat famili. Hingga Sabtu lalu, sebagian penduduk terus mengungsi, meski polisi setempat meminta agar mereka kembali menempati rumahnya. "Apa polisi bisa menjamin bajingan itu tak muncul lagi?" tanya Salekan agak sengit. Tampaknya polisi tak bisa berbuat banyak. "Desa itu memang rawan karena letaknya berbatasan dengan perkebunan karet," ucap Letda Pol. M. Simanjuntak, komandan Kepolisian Labuhanruku kepada TEMPO. Desa yang berpenghuni 15 keluarga itu, sebelumnya selalu aman, karena sistem ronda kampung yang aktif, sejak desa itu didirikan dua puluh tahun lalu. "Pokoknya tak terdengar ada satu ayam pun dicuri," ujar Simanjuntak. Tapi "rampok ramai-ramai" belakangan itu, membuat sistem ronda swasta itu menjadi lumpuh. Misdi yang sempat memergoki rampok di rumah Salekan itu, misalnya, tak berdaya menghadapi jumlah perampok yang sekian banyak. Ia mencoba lari mencari bala bantuan, tapi apa mau dikata, baru satu jam kemudian tenaga bisa terkumpul. Karuan saja bajingan itu sudah kabur. Perampok itu seperti hendak mencobakan cara menembus benteng siskamling yang selama ini ampuh. "Boleh jadi mereka dendam," kata Perwira Penerangan Kodak II, Mayor J. Sihombing, "melihat sasarannya bukan orang yang berpunya -- tujuan perampok sebenarnya bukan harta." Namun, menurut perwira penerangan itu, untuk mengembalikan suasana tenteram, tak bisa mengandalkan polisi saja. "Kita kekurangan tenaga dan biaya," ujarnya menjelaskan. Seperti dikemukakan Simanjuntak sebelumnya, "suasana aman hanya penduduk yang bisa menciptakannya." Tapi, "bagaimana bisa aman, kalau polisi sendiri tak mau bergerak," ujar seorang penduduk itu. Dan pengungsian pun terus berlangsung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus