Siapa yang tidak takut kepada Un dang-Undang Antisubversi? Ja wabannya: semua takut, kecuali pegawai negeri dan tentara. Dengan UU Nomor 11/Penetapan Presiden/1963 itu, orang bisa dihukum mati. Berbekal UU Antisubversi juga, petugas keamanan dengan mudah bisa menahan seseorang sampai satu tahun tanpa ada kepastian mengenai proses peradilannya.
Tapi apa yang dimaksud dengan subversi? Batasannya kabur. Rumusannya gampang mulur-mengkeret, tak ubahnya jaring karet yang bisa menjerat ke sana kemari. Dengan Undang-Undang Antisubversi, pemerintah bisa menyeret aktivis politik, penyelundup rotan, bandar judi, bahkan pemalsu pestisida.
Kasus terakhir dan paling mencolok dari penerapan undang-undang itu adalah hukuman atas Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik. Pemuda kurus berusia 27 tahun ini ditangkap karena tuduhan menyulut kerusuhan 27 Juli 1996. Padahal yang terjadi justru penyerbuan Kantor PDI Megawati oleh orang-orang berpenampilan preman yang diperkuat polisi dan tentara. Siapa yang bersalah sudah sangat jelas, tapi tetap saja Budiman Sudjatmiko dijebloskan ke penjara dan sampai kini masih mendekam di sana.
Begitulah saktinya UU Antisubversi, sehingga dalam pelaksanaannya perangkat hukum itu identik dengan kesewenang-wenangan. Loebby Loqman?ahli hukum pidana yang mempersoalkan undang-undang itu dalam disertasinya pada 1990?menegaskan bahwa UU Antisubversi sudah lama tak punya kekuatan yuridis. Sebab, dasar UU Antisubversi, yakni dua ketetapan MPR pada 1960, telah dicabut pada 1968 dan 1973.
Lagi pula, undang-undang ini memang tak diperlukan karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah mengatur delik-delik keamanan negara. Berbagai rambu terhadap orang yang membangkang dan ingin memisahkan suatu wilayah, mengubah ideologi negara, dan melakukan sabotase atau kegiatan mata-mata ada pada KUH Pidana.
Kini tamatlah riwayat hitam UU Antisubversi karena MPR, melalui ketetapan nomor X, November lalu telah menyetujui penghapusan undang-undang yang merupakan sumber ketakutan itu.
Menteri Kehakiman Muladi pun menyatakan bahwa departemennya dalam waktu dekat akan menyampaikan rancangan undang-undang pencabutan Undang-Undang Antisubversi ke Sekretariat Negara, untuk kemudian diajukan ke DPR.
Namun, hilangnya sumber ketakutan tak otomatis menghadirkan rasa tenteram. Soalnya, MPR ternyata juga setuju mengganti Undang-Undang Antisubversi dengan Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara. Itu mungkin semacam Internal Security Act seperti di Singapura dan Malaysia?yang juga menjadi sumber kesewenang-wenangan pemerintah di sana.
Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara, selain memuat rumusan antisubversi, juga akan mengatur penetapan daerah tertentu sebagai daerah bahaya hingga harus ditutup, pemberlakuan jam malam di suatu kota, dan soal ancaman dari luar negeri.
Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan, Letnan Jenderal (Purn.) Suyono, sebetulnya rancangan undang-undang tersebut?disebut Undang-undang Keamanan Nasional?sudah lama diajukan oleh instansinya ke Sekretariat Negara. Kini, untuk melaksanakan amanat MPR, Departemen Pertahanan dan Keamanan akan menarik kembali rancangan tadi dan memperbaruinya.
Rencana mengorbitkan Undang-Undang Keamanan Nasional sebagai pengganti Undang-Undang Antisubversi, tak syak lagi, ditentang banyak orang. Muladi dan Loebby Loqman tetap berpendapat bahwa kejahatan politik cukup dibidik dengan pasal-pasal pidana pada KUH Pidana.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Hendardi, mengingatkan bahwa yang dibutuhkan sekarang justru perangkat hukum yang melindungi hak asasi masyarakat dan membatasi wewenang aparat yang berlebihan. Dan wewenang itu nyata-nyata berperan dalam berbagai kasus: penculikan, penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, dukun santet Banyuwangi, tragedi Semanggi, dan juga bentrokan berdarah di Aceh.
Jadi, apalagi alasan untuk mempertahankan UU Anti Subversi atau "keturunannya"?
Happy Sulistyadi dan Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini