IMBAS krisis moneter bisa sangat keras dan tak terduga-duga. Im-bas semacam itulah yang menerpa perusahaan pengembang apartemen mewah yang berlokasi tak jauh dari Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Setelah ditunggu delapan bulan perusahaan ini belum juga menyerahkan apartemen siap huni?seperti tercantum dalam kontrak standar?Hernawati, 50 tahun, tanpa ragu menuntut pihak pengembang ke pengadilan. Ibu rumah tangga yang bersuamikan seorang pengusaha itu, pekan-pekan ini, menggugat PT Prima Adhitama International Development, perusahaan pengembang apartemen The Plaza Residence Ces Kempinski, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hernawati menuntut PT Prima agar mengembalikan uang yang telah dibayarnya sebesar US$ 392 ribu atau Rp 3,3 miliar, berdasarkan kurs Rp 8.500 per dolar AS.
Kisruh itu bermula pada 3 Januari 1995, ketika Hernawati meneken perjanjian jual-beli Apartemen Kempinski dengan PT Prima. Berdasarkan pertimbangan kenyamanan dan letak strategis apartemen itu di daerah Karet Tengsin, Tanahabang?tak jauh dari Jalan Jenderal Sudirman?dia pun memilih apartemen seluas 310 meter persegi di lantai 35 dan 36. Gedung Kempinski itu direncanakan terdiri dari dua susun bangunan, yakni lantai 1 sampai lantai 30 berupa hotel dan lantai 31 hingga lantai 36 berupa apartemen. Hernawati mau menggabungkan apartemennya di lantai 35 dan yang terletak di lantai paling atas.
Menurut perjanjian, apartemen seharga US$ 979.427 itu mesti dibayar dengan hard currency alias dolar Amerika. Waktu itu kurs dolar baru sekitar Rp 2.300. Hernawati membayar uang muka 10 persen dari harga apartemen. Dia juga melunasi angsuran US$ 9.478 per bulan, sejak 3 Januari 1995 sampai 3 Juli 1997. Jadi, Hernawati telah membayar 40 persen dari harga apartemen atau sebesar US$ 392 ribu.
Menurut jadwal, pada 1 Agustus 1997, apartemen itu selesai dibangun dan Hernawati bisa menempatinya. Ternyata, sampai batas waktu lewat, apartemen tak kunjung dibangun. Mungkin pengembang terguncang gara-gara krisis moneter yang merebak sebulan sebelumnya. Menurut kontrak, Hernawati lalu memberikan tenggang waktu selama dua kali empat bulan, jakni delapan bulan. Namun, sampai 1 April 1998, pembangunan Apartemen Kempinski tak kunjung selesai.
Dua bulan kemudian, tepatnya 5 Juni 1998, PT Prima meminta Hernawati melakukan serah-terima apartemen?katanya karena sudah selesai dibangun. Untuk itu, dia diminta melunasi uang sisa pembelian, sebesar 60 persen dari harga apartemen atau US$ 587.656?ini tentu berdasarkan kurs saat itu.
Hernawati lalu meninjau ke lokasi, tapi tak terlihat banyak perubahan. "Naik ke lantai atas saja masih menggunakan lift barang. Lantai belum beres, juga lampu, air, dan lainnya. Bagaimana bangunan yang belum layak huni, malah minta diserah-terimakan?" tutur Hernawati. Yang lebih membuatnya gusar, apartemen tersebut belum memiliki izin bangunan alias IMB.
PT Prima mencoba bernegosiasi. Namun Hernawati telanjur menganggap pengembang telah wanprestasi (ingkar janji). Itu sebabnya, melalui Pengacara Hanan, dia mengajukan tuntutan agar uangnya dikembalikan. "Saya sudah menunggu apartemen itu bertahun-tahun. Uang yang saya bayar juga tak sedikit," ujarnya. Belum lagi bila bunga uang itu diperhitungkan.
Menurut Hernawati, dia bersedia uangnya dipotong sampai 15 persen. "Rugi sedikit tak apa-apa. Yang penting uang saya kembali," tambahnya. Ia mengaku membayar apartemen itu dari uang hasil penjualan sahamnya di suatu perusahaan.
Namun PT Prima menilai tuntutan Hernawati mengada-ada. Dalil bahwa pengembang terlambat membangun apartemen, menurut kuasa hukum PT Prima, Bambang S.M. Praptomo, hanya alasan yang dicari-cari untuk membatalkan perjanjian secara sepihak. Persoalan sebenarnya, "Lebih karena kenaikan kurs dolar Amerika terhadap rupiah yang begitu besar, sehingga penggugat menuntut uangnya kembali," ucap Bambang.
Adalah benar, sewaktu Hernawati membayar 40 persen harga apartemen, kurs dolar AS masih bertengger rendah di tingkat Rp 2.300. Pada Mei 1998, ketika Hernawati menuntut pengembalian uangnya, kurs dolar sudah Rp 11.000. "Kalau bukan karena kenaikan kurs dolar, kenapa dia menuntut pengembalian uangnya berdasarkan kurs dolar sekarang, atau mau melunasi 60 persen sisa harga apartemen tapi dengan kurs dolar per Agustus 1997?" ujar Bambang.
Lagi pula, sebelum April 1998, Hernawati menunjuk sendiri kontraktor untuk merenovasi apartemen sesuai dengan desain yang dikehendakinya. Itu berarti, "Secara faktual dan yuridis telah terjadi serah-terima apartemen yang dibelinya," tutur Bambang. Dengan kata lain, Hernawati telah melaksanakan perjanjian jual-beli, karena itu dia harus mematuhi pelunasannya.
Bambang pun menambahkan bahwa sejak Mei 1998, Apartemen Kempinski sudah selesai dibangun, adapun hotelnya rampung sejak 10 Juni 1998. Jadi, kalau soalnya adalah lonjakan kurs dolar terhadap rupiah, kan tinggal hitung-hitungan saja? Tentu pengembang mesti juga memperhitungkan kerugian konsumen yang cukup lama menanti sedangkan uangnya sudah pula dibayarkan.
Happy Sulistyadi dan Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini