LEMBAGA YUDIKATIF yang in dependen seharusnya merupakan pilar utama bagi negara hukum. Upaya ke arah penegakan kekuasaan hukum sudah dirintis sejak masa awal Orde Baru, 33 tahun yang lalu. Pada masa itu, kalangan intelektual, pengacara, dan wartawan, tak henti-hentinya menuntut wewenang kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan apa pun, termasuk politik pemerintah dan uang.
Namun aspirasi itu kalah manakala Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 dinyatakan berlaku. Akibatnya, kekuasaan kehakiman pecah dua: wewenang yudisial tetap berada di Mahkamah Agung (MA), tapi wewenang administrasi, organisasi, dan finansial, ada pada pemerintah (eksekutif).
Dari situ, muncul wewenang non-yudisial Menteri Kehakiman terhadap hakim di peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Juga wewenang Menteri Agama terhadap hakim agama dan Menteri Pertahananan dan Keamanan terhadap hakim militer. Dualisme seperti itu kemudian menimbulkan pemeo ''Perut hakim di departemen, tapi kepalanya di MA."
Sebagai imbalan atas tuntutan ''satu atap satu komando" terhadap hakim di MA, lahirlah lembaga Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Umum di Departemen Kehakiman. MA juga memiliki hak uji materiil, tapi terbatas dan pasif. Maksudnya, judicial review tersebut hanya mampu menjangkau peraturan perundang-undangan yang kelasnya di bawah undang-undang dan melalui perkara kasasi. Diduga, sistem itu tak lepas dari konsep integralistis (kekeluargaan)—yang mendengungkan pentingnya kerja sama antara MA dan pemerintah.
Pada perkembangannya, dualisme kekuasaan kehakiman cenderung menjadi pintu masuk bagi pengaruh yang datang dari pihak eksekutif. Sebab, para hakim tentu lebih mengutamakan pihak eksekutif yang memutuskan gaji, promosi, dan karirnya.
Hal itu dihubung-hubungkan dengan vonis hakim yang jarang sekali mengalahkan pemerintah. Fenomena itu terlihat mencolok pada gugatan Partai Demokrasi Indonesia, kasus tanah Kedungombo, tanah suku Ohee di Irianjaya, Muchtar Pakpahan, dan pembredelan TEMPO.
Dualisme itu juga yang memacu kalangan pengacara dan para hakim—melalui Ikatan Hakim Indonesia—untuk tak henti-hentinya memprotes. Dan ketika reformasi berkibar, setelah pemerintahan Orde Baru pudar, berbagai kalangan di pemerintahan menyetujui konsep hakim beratap satu, yakni pada MA. Pendapat ABRI pada Mei lalu pun demikian.
Bahkan Tap MPR Nomor X pada November lalu mencantumkan pemisahan secara tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Keputusan politik itu pun menjadi kajian hangat pada lokakarya peradilan yang bersih dan mandiri, di Jakarta, dua pekan lalu.
Tak terkecuali MA—yang selama ini terkesan mengiyakan saja pola dualisme itu—kini mengaku siap mewujudkan sistem satu atap. Bagaimanapun, ''Era reformasi banyak memberikan hikmah bagi kami, yang seperti terjaga dari tidur," ujar Sekretaris Jenderal MA, Pranowo, agak bergurau. Untuk itu, tentu MA mesti membenahi organisasi dan mutu hakim.
Memang, perubahan kekuasaan kehakiman tak cukup dengan tekad satu atap. Menurut Benny K. Harman, yang pernah meneliti masalah kekuasaan kehakiman, sumpah hakim yang menyebutkan ''setia pada segala undang-undang dan peraturan di Indonesia" mesti dibatasi hanya ''loyal pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945". Sebab, gara-gara sumpah tadi, hakim tak berani menguji beleid eksekutif.
Selain itu, menurut Moh. Mahfud, ahli hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, seperti juga anggota DPR, DPA, dan BPK, hakim mestinya bukan pegawai negeri, melainkan pejabat negara. Hakim juga dipilih oleh parlemen, bukan diangkat oleh pemerintah.
Sampai di sini, pemerintahan Habibie tampaknya seperti kehilangan arah, ragu-ragu. Menteri Kehakiman Muladi, yang pada mulanya menyetujui penghapusan dualisme kekuasaan kehakiman, belakangan malah menyatakan bahwa pemisahan itu belum perlu dilakukan. ''Dari studi perbandingan di 26 negara maju dan berkembang, urusan administrasi peradilan tetap dipegang Departemen Kehakiman. Itu memang bidang tugas eksekutif," katanya.
Muladi juga mengatakan, MA sebaiknya berkonsentrasi pada judicial power—maksudnya urusan memutus perkara. ''Kalau MA dibebani urusan administrasi, nanti supremasi hukum malah terganggu. Apalagi tumpukan perkara di MA sekarang 14 ribu lebih," kata Muladi menambahkan. Ditegaskannya, hakim peradilan militer tidak mungkin dialihkan ke MA karena peradilan militer ini menganut sistem komando ABRI.
Tapi Muladi setuju agar kemandirian hakim direvisi. Masalah sumpah hakim, misalnya, juga perlu peninjauan kembali, begitu pula gagasan agar hakim menjadi pejabat negara. Hanya saja, penolakannya atas pemisahan kekuasaan kehakiman dari Departemen Kehakiman sangat kuat mengesankan bahwa Muladi bersikap setengah-setengah. Padahal desakan para pejuang reformasi akan kedaulatan hukum—yang sangat terkait dengan kekuasaan hakim—sulit untuk dibendung.
Happy Sulistyadi dan Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini