KANTOR berita nasional Malaysia, Bernama, disiapkan untuk memegang monopoli distribusi semua berita yang bersumber dari kantor berita asing. Jadi, Bernama akan berperan sebagai agen tunggal bagi kantor berita Reuters, Agence France Presse (AFP), Associated Press (AP), dan lain-lain. Ketika ditelusuri latar belakangnya, ternyata berujung pada masalah duit. "Kami memang perlu uang untuk mengurangi ketergantungan bantuan keuangan dari pemerintah," ujar Abdul Rahman Sulaiman, Pemimpin Redaksi Bernama. Sebenarnya, peran ganda Bernama itu -- sebagai kantor berita nasional dan agen buat semua kantor berita asing -- sudah dirancang sejak 1984. Ini merupakan tindak lanjut RUU yang digodok sejak 1983, dalam upaya memperbarui UU Kantor Berita Nasional (Bernama) tahun 1967. Dalam UU yang lama, antara lain dijelaskan posisi Bernama yang merupakan badan usaha semipemerintah yang nonprofit, alias tak boleh mencari keuntungan. Dengan UU yang baru, Bernama halal meraup laba. Caranya, ya, dengan mengageni distribusi berita-berita dari kantor berita asing. Dan keagenan ini klop dengan neraca Bernama yang dibelit defisit. Anggaran tahunan yang dialokasikan Pemerintah Malaysia M$ 4 juta (sekitar Rp 2,6 milyar) buat Bernama -- berdiri sejak April 1967 -- dirasakan terlalu sedikit. Menurut Wan Mustapha Mohammad, Sekretaris Umum Bernama, alokasi dana tadi hanya mencukupi 30% dari seluruh anggaran belanja kantor berita itu. Sedangkan sisanya ditutup dengan hasil penjualan jasa informasi dan berita kepada sekitar 40 media cetak dan elektronik di negeri itu -- seperti harian New Straits Times, Utusan Malaysia, Berita Harian, atau Radio Televisi Malaysia (RTM). Tapi itu semua tidak cukup. Pada tahun 1987 defisitnya M$ 4 juta. Tahun 1988, sekitar M$ 1,8 juta. Dan tahun 1989 defisit ditaksir masih tetap ada kendati semakin tipis. Dengan UU yang baru ini, Abdul Rahman berharap, Bernama juga bisa mengayunkan langkah awal menuju realisasi rencana jangka panjang, yakni swastanisasi. "Mungkin baru beberapa tahun lagi bisa dilaksanakan," katanya. Anggota parlemen Lim Guan Eng dari kelompok oposisi Partai Aksi Demokrasi (DAP) mengecam keras RUU itu. "Bernama akan dijadikan sebagai mesin propaganda sekaligus penyensor berita," katanya. Amendemen yang diusulkan itu, katanya, justru menentang deklarasi PBB tahun 1948 tentang Kebebasan Informasi. Segera Abdul Rahman membantah provokasi Lim. Katanya, tak benar Bernama akan berfungsi sebagai "filter" buat penguasa di Malaysia. "Berita yang dikirim kantor berita transnasional akan kami switch ke pelanggan lain, tanpa sedikit pun disunting," katanya. Tapi bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lim. Formula RUU itu juga memberi peluang buat Bernama untuk menjadi distributor tunggal majalah dan koran-koran asing yang masuk ke Malaysia. "Pemerintah tampaknya berhasrat mengontrol dan membatasi penyebaran informasi, untuk menutupi skandal dan penyalahgunaan kekuasaan," ujar Lim. Lebih jauh ia menuding, kelak Bernama bisa menyetop distribusi majalah dan koran asing. Contohnya, koran Asian Wall Street Journal yang pernah memberitakan adanya penyelewengan keuangan di Bank Sentral Koperasi. Atau misteri pembelian timah Maminco di London, yang menyebabkan Pemerintah Malaysia mengalami kerugian M$ 2,5 milyar. Menurut Lim, informasi seperti itulah yang oleh Pemerintah Malaysia dilarang disebarluaskan. Tapi apa yang dikhawatirkan Lim dibantah keras oleh seorang pejabat Malaysia. "Bernama hanya meneruskan bisnis dengan kantor berita asing," kata H. Dusuki Ahmad, Sekretaris Kementerian Penerangan Malaysia. Ia berpendapat, kekhawatiran Lim itu terlalu berlebihan. AKS dan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini