IBARAT kata peribahasa "tongkat membawa rebah", begitulah ulah banyak penegak hukum. Buktinya, pekanpekan lalu Pengadilan Negeri Bogor memvonis dua praktisi hukum, Notaris Kol. (Purn.) Hulman Sipahutar, 62 tahun, dan Pengacara Syamsudin Aritonang, 73 tahun, masing-masing 2 tahun penjara. Mereka dianggap terbukti bersalah memanipulasi surat-surat tanah seluas 11.666 m2. Pada Kamis pekan lalu, Hulman dianggap ierbukti membuat akta pengalihan hak tanah tersebut, yang asli tapi palsu. Sebelumnya, Jumat dua pekan lalu, Syamsudin dihukum karena memberikan keterangan palsu ke dalam akta yang dibuat Hulman tadi. Kecuali itu, Syamsudin dianggap bersalah menjual tanah milik bekas kliennya itu, yang sedang disita pengadilan. Tanah yang terletak di Desa Kawungluwuk, Kelurahan Bantarjati, Kecamatan Bogor Utara, Jawa Barat itu semula berasal dari warisan almarhum Raden Angkana. Setelah ia wafat, tanah tersebut dipersengketakan anaknya, Mijaya Putra, dan adiknya, Raden Awan -- paman Mijaya. Syamsudin muncul sebagai kuasa hukum Mijaya. Untuk itu, Syamsudin membawa Mijaya ke Notaris Hulman guna membuat kontrak. Dalam kontrak, diperjanjikan bahwa jika Mijaya menang, Syamsudin akan memperoleh separuh tanah tadi -- sisanya tetap milik Mijaya. Tapi, pada 10 Januari 1982, Mijaya mencabut perjanjian itu secara sepihak. Bahkan pada Juli 1982, ia menjual tanah itu kepada Johan Gunawan dengan harga Rp 52 juta -- baru dibayar Rp 40 juta. Syamsudin berang dan balik menggugat Mijaya. Pengadilan Negeri Bogor -- tanpa dihadiri Mijaya -- konon, menurut Syamsudin, mengabulkan gugatan itu. Mendengar kabar itu, Johan segera melayangkan verzet (perlawanan). Karena itu, pengadilan menetapkan tanah itu sebagai sita jaminan. Ternyata, diam-diam, dengan bantuan Hulman, Syamsudin berhasil memperoleh sertifikat tanah tersebut. Melalui akta "buatan" Hulman, sertifikat tanah itu dipecah dua. Separuh atas nama Syamsudin, yang seolah-olah telah memperoleh hibah dari Mijaya, sisanya atas nama Hotnida -- putri Hulman -- yang seakan-akan telah membeli tanah itu dari Mijaya. Setelah itu, Hotnida menjual tanah bersertifikat bodong itu kepada Perumnas Bogor dengan harga Rp 97 juta. Sementara itu, bagian Syamsudin dijual kepada Nyonya Robin Manurung, yang kemudian menjual lagi seharga Rp 97,6 juta kepada Perumnas Bogor. Keruan saja, Johan mengadukan "permainan" itu ke Polresta Bogor. Syamsudin Hulman ditahan dan Hulman ditahan dan kemudian diadili. Secara terpisah, bekas Camat Bogor Utara, Neno Sulaksaria, dan bekas Lurah Bantarjati, M.S. Romli, juga disidangkan. Kedua pejabat daerah ini dianggap ikut membantu memuluskan "proyek" manipulasi tanah tersebut. Syamsudin dan Hulman, selain dibidik dakwaan pemalsuan dan menjual barang sitaan, juga dijaring tuduhan korupsi. Ternyata, majelis hakim yang diketuai Nyonya Reni Retnowati hanya menghukum mereka dengan pasal pemalsuan dan membebaskannya dari tuduhan korupsi. Sebab, pihak Perumnas di persidangan menyatakan instansinya tidak dirugikan. Toh keduanya menyatakan naik banding. Apa alasannya, Hulman enggan menjelaskan. Pengacaranya, Achmad Djohari, hanya bertamsil, "Keputusan itu kan baru versi majelis hakim pengadilan negeri. Ibarat orang punya peluru, kan tak boleh dimuntahkan semua, harus disisakan. Nah, sisanya untuk persiapan di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung." Yang jelas, sebuah perkara lain kini menanti Syamsudin. Yakni, pemalsuan vonis hakim dalam perkara gugatan Syamsudin terhadap Mijaya tadi. Ternyata, menurut sebuah sumber di Departemen Kehakiman, perkara itu sebenarnya belum pernah diputus Pengadilan Negeri Bogor. Laporan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini