TAK di hutan, tak di kota, nasib wong cilik sama saja: sudah jatuh tertimpa tangga. Coba saja tilik kemalangan tiga warga Desa Sagara, Garut, Jawa Barat, yakni Sahrum, 45 tahun, Bahri, 70 tahun, serta Omon, 35 tahun. Sabtu pekan lalu, Pengadilan Negeri Garut memvonis ketiganya masing-masing 2 sampai 4 bulan penjara dalam masa percobaan 4 sampai 8 bulan penjara. Semula mereka didakwa menggarap tanah negara yang merupakan hutan lindung milik Perhutani, seluas 1.100 ha, di Desa Sagara dan Desa Karyamukti, Garut. Ternyata di persidangan terbukti tuduhan itu tak benar, karena hutan itu belum pernah ditetapkan Menteri Kehutanan sebagai hutan lindung atau milik Perhutani. Toh majelis hakim tak hendak melepaskan mereka. "Mereka terbukti menggarap hutan lainnya," kata ketua majelis hakim H. Toyib Matderis. Padahal, tanah itu sudah selama hampir setengah abad mereka garap -- juga ratusan kepala keluarga lainnya -- secara turun temurun dan pada l960-an mereka tanami pohon jati. Menurut Umri, 70 tahun, salah seorang kepala dusun di situ, tanah itu bekas perkebunan Belanda, yang kemudian menjadi tanah negara. Pada 1930-an, secara alamiah dan dengan berladang secara berpindah-pindah, penduduk menggarap tanah tersebut. Usaha itu terputus pada 1949 gara-gara gangguan gerombolan DI/TII. Setelah situasi aman sekitar l960-an, barulah penduduk mulai menggarap lagi tanah tersebut. Mereka menanam padi, pisang, bahkan jati bibitnya diperoleh dari perkebunan swasta di sekitar tempat itu. Belakangan, aktivitas mereka itu "dicegah" petugas Perhutani, yang mengklaim areal itu sebagai miliknya. Bahkan pada 1971, beberapa penduduk sempat ditangkap petugas Perhutani, bahkan dituduh BTI/PKI. Karena "teror" terus membayangi, pada 1984 Kepala Desa Sagara, Imid Syamsudin, memprakarsai permohonan hak kepemilikan tanah tersebut secara kolektif. Tapi upaya itu tak ditanggapi pihak agraria. Permohonan itu diulangi Imid pada 1988. Sambil menanti keputusan itu, Imid mengizinkan warganya agar terus menggarap tanah itu. "Daripada mereka mati kelaparan," ujarnya. Apalagi di daerah itu sudah dua kali terjadi krisis pangan, yakni pada 1975 dan 1986. Tindakan Imid itu direstui pula oleh atasannya, Camat Cibalong. Toh rongrongan terhadap warga tak berhenti. Sekitar 130 warga secara bergantian dijemput dan diintimidasi pihak Perhutani. Bahkan Februari dan April lalu, beberapa orang penduduk ditangkap dan ditahan, termasuk Imid, yang ditahan selama 7 hari -- bahkan Bahri sempat ditahan selama 35 hari. Belakangan, ketiga warga tadi diadili dan dijatuhi hukuman. Pengacara dari LBH Bandung, yang membela mereka, hingga kini tak habis pikir kenapa kliennya sampai diadili. "Samnai kini diadili. "Sampai kini tak ada keputusan Menteri Kehutanan yang menyatakan areal itu termasuk kawasan hutan milik Perhutani," kata Pengacara Effendi Saman. Bahri sendiri, tragisnya, merasa lega setelah divonis hakim. Sebab katanya, ia kini tak usah lagi capek-capek pergi ke pengadilan, yang memakan waktu enam jam perjalanan dari tempat tinggalnya. Selama persidangan tak kurang dari 31 kali ia harus bolak-balik dari kampungnya ke pengadilan. Angin baik memang lagi bertiup ke penduduk. Pada April lalu, BPN Jawa Barat menyatakan bahwa tanah negara itu belum pernah ditetapkan haknya kepada siapa pun. Dan awal Agustus lalu, Bupati Garut, Momon Gandasasmita, mengizinkan para penduduk dan penggarap memanfaatkan tanah seluas 453 ha dari keseluruhan tanah perkara itu. Syaratnya: mereka tak boleh memperluas lahan garapan, menebangi kayu, dan rela melepaskan tanah itu jika statusnya sudah jelas. Kalau begitu, buat apa hakim memvonis penduduk bersalah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini