TINDAKAN terpuji dilakukan Polres Bantul, Yogyakarta. Instansi penegak hukum itu mengambil langkah damai ketika dipraperadilankan seorang pedagang sayur-mayur dari Dusun Plempuh, Sleman, yang bernama Jembadi, 35 tahun -- sebelumnya telanjur dijadikan polisi sebagai tersangka. Luar biasa, atas kekeliruan mendakwa Jembadi itu, polisi bersedia membayar ganti rugi Rp 1,7 juta dan merehabilitasi nama baik korban. Apa yang terjadi di Pengadilan Negeri Bantul Sabtu pekan lalu itu tercatat sebagai peristiwa pertama kali dalam sejarah praperadilan Indonesia. Pada Rabu dini hari, 2 Mei 1990, seperti biasanya Jembadi mengendarai pikap untuk berjualan sayur ke Pasar Kranggan. Ia ditemani istrinya, Zaenab, dan kakak iparnya, Nyonya Dalinem. Ketika mereka melewati bulak Ngentak, Kasihan, Bantul, tiba-tiba ia mendengar suara orang berteriak. Tanpa curiga Jembadi menghentikan kendaraannya. Mendadak tiga orang tak dikenal, dengan pedang terhunus, muncul dari rerimbunan kebun tebu di pinggir jalan. Mereka menghampiri Jembadi dan mengancam agar menyerahkan uang. Tanpa ba-bi-bu lagi, para begundal itu merampas tas Nyonya Zaenab, yang berisi uang Rp 700 ribu. Secepat kilat, kawanan itu menghilang ke rerimbunan tebu. Jembadi pun melapor ke Mapolsek Kasihan, Bantul. Hari itu juga laporannya diproses. Enam petugas 7 mengajak Jembadi, Nyonya Zaenab, dan Nyonya Dalinem untuk memperagakan perampokan itu di tempat keiadian. Ternyata, polisi tak mempercayai cerita Jembadi. "Masa, di sini ada begal (perampok). Tidak mungkin," celoteh salah seorang polisi. Jembadi mencoba meyakinkan keenam penyidik itu bahwa musibah yang menimpa dirinya itu benar-benar terjadi. Tapi Jembadi dan istrinya malah digiring ke Mapolsek Kasihan. Lalu, menurut Jembadi, mereka malah diancam agar menyatakan bahwa laporan perampokan itu palsu. Pasangan itu mengaku ketakutan sehingga terpaksa menuruti kehendak polisi. Pada malam harinya, bagaikan kerbau yang tercucuk hidungnya, Jembadi membiarkan saja polisi menggeledah rumahnya. Padahal, penggeledahan itu sama sekali tanpa surat perintah yang sah. Jembadi juga menurut saja sewaktu polisi meminta uang Rp 700 ribu sebagai barang bukti. Hebatnya lagi, saat itu pula status Jembadi berubah, dari saksi pelapor menjadi tersangka laporan palsu. Entah kenapa, baru pada Agustus lalu, melalui LKBH UII, Jembadi membawa perkara itu ke praperadilan. Ia menuntut ganti rugi hampir Rp 24 juta, yang terdiri dari uang Rp 700 ribu dan kerugian selama 20 hari tak bisa berdagang akibat modalnya disita. Ia juga menuntut agar Polsek Kasihan, yang berada di bawah Polres Bantul merehabilitasi nama baiknya. Ternyata, pada sidang pertama, Kamis pekan lalu, Polres Bantul memilih damai. Lusanya, perdamaian itu tercapai. Selain membayar ganti rugi Rp 1,7 juta dan merehabilitasi nama baik Jembadi, pihak Polres juga akan menghentikan pemeriksaan kasus laporan palsu itu. Dengan perdamaian itu, kata pengacara Jembadi dari LKBH UII, Eko Widiyanto Handoyo, praktis polisi mengakui kesalahannya, sekaligus menyatakan permohonan maaf. "Akta perdamaian itu kan hanya sekadar sarana untuk diakuinya kesalahan polisi," kata Eko. Kuasa hukum Polres Bantul, Kapten (Pol.) Muchyiddin, membantah anggapan itu. "Sekali lagi, ini bukan berarti kami salah. Penyidikan kasus itu sudah benar. Uang Rp 700 ribu itu dikembalikan karena memang hak Jembadi. Adalah hak kami pula untuk memberi ganti rugi Rp 1 juta," kata Muchyiddin. Salah atau tidak, tindakan Polres Bantul itu patut dipuji. Agar tak semakin banyak rakyat kecil yang sudah jatuh tertimpa tangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini