Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengadili kursi yasin

Yasin syarif alias fie yong sin diadili secara in absentia.yasin berstatus buron.bermukim di singapura. dituduh memanipulasi sertifikat ekspor senilai rp 47 milyar.rekannya bambang h. divonis 36 tahun.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI baru namanya bandit berkerah putih. Yasin Syarif alias Fie Yong Sin, 48 tahun, pekan-pekan ini disidangkan dalam kasus-kasus manipulasi sertifikat ekspor (SE) senilai Rp 47 milyar lebih. Itulah rekor tertinggi pembobolan uang negara untuk manipulasi SE. Bukan bandit "berkerah putih" kalau untuk kejahatan itu Yasin harus duduk di kursi pesakitan. Ia sejak dini hari 13 Juli 1989, berkat menyuap beberapa oknum kejaksaan, berhasil kabur kejaksaan, berhasil kabur dari tahanan di markas besar Kejaksaan Agung sendiri di Jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan. Karena itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Nyonya Noorati dan Jaksa Taslim Hasyim terpaksa mengadili kursi kosong alias sidang in absentia. Nama Yasin memang tak asing lagi bagi kejaksaan, yang pernah me-Nusakambangankan orang itu pada operasi penyelundupan, 902, 1976. Ia kali ini didakwa memanipulasikan insentif yang diberikan negara bagi ekspor nonmigas SE sebesar Rp 47 milyar lebih, melalui ekspor 11 juta set gasket dan 136.500 lusin botol minyak wangi. Pemilik PT Top Star Jaya dan PD Nusa Mulia itu memperoleh insentif SE itu sejak Maret sampai September 1984, atas nama PT Aria Girimai, CV Sugiharto, dan PT Angkasa Jaya Santika. Namun, sewaktu kasus itu diusut, Yasin mengaku nama ketiga perusahaannya itu dicatut bekas anak buahnya, Bambang Hermawan, yang ketika itu buron ke luar negeri. Karena itu, aparat kejaksaan tak mengusik-usiknya lagi. Ternyata, pada 11 Agustus 1988 Bambang menyerahkan diri ke Kejaksaan Agung. Ia mengaku bahwa Yasinlah otak manipulasi SE itu. Beberapa hari kemudian, pada 29 Agustus 1988, Yasin diciduk. Ketika itu ia sempat ditahan selama 90 hari. Tapi Yasin membantah tuduhan Bambang. Karena tak cukup bukti, pada 26 November 1988, kejaksaan menangguhkan penahanan Yasin, dengan jaminan Pengacara Soeprapto dan uang Rp 500 juta. Tapi pada 1 Juni 1989, entah kenapa, kejaksaan kembali menahan Yasin. Melalui Pengacara Soeprapto, Yasin mempraperadilankan kejaksaan. Ternyata, Yasin menang. Seharusnya ia dilepaskan dari tahanan. Tapi pada 22 Juni 1989, sehari setelah keputusan praperadilan itu, kejaksaan justru memperpanjang penahanan Yasin selama sebulan. Toh Yasin "lebih lihai". Dengan "membujuk" petugas jaga, kabarnya juga "bermain" dengan beberapa oknum kejaksaan, pada hari raya Idul Adha 1409 H, ia kabur dari sel tahanan Kejaksaan Agung. Boleh jadi Yasin menjadi jeri begitu mendengar kabar Bambang sudah divonis 36 tahun. Lolosnya Yasin bagai menampar muka Jaksa Agung Sukarton, yang ketika itu tengah getol-getolnya memburu buron kelas kakap. Setidaknya sampai pekan lalu, Yasin tak jelas rimbanya. Padahal, pada Juli lalu, wajahnya sudah dua kali ditayangkan di TVRI sebagai buron. Yang bisa dipegang kejaksaan cuma tiga buah rumah berikut kantor dan gudang -- kesemuanya di Jakarta -- senilai Rp 4 milyar. Menurut Bambang, yang mengaku cuma dikambinghitamkan Yasin, buron itu kini punya greencard (kewarganegaraan) Singapura dan paspor Malaysia. Yasin, katanya, kini bermukim di sebuah flat mewah di Singapura. Di sana, kata Bambang, Yasin tinggal bersama istri dan tiga anaknya, tak jauh dari flat yang ditinggali mertua, istri, dan anak-anak Bambang. Bahkan dua pekan lalu, sambung Bambang, salah seorang anaknya masih menjumpai Yasin di flatnya. "Belum lama ini Yasin berkali-kali diiklankan sebuah koran Singapura, sewaktu ia memberi mobil Mercedes baru sebagai hadiah ulang tahun anaknya," tutur Bambang. Apa yang dikatakan Bambang itu dibenarkan Jaksa Margono, ketua tim penyelidik kasus Yasin. Menurut Margono, kemungkinan Yasin bisa memperoleh paspor aspal atas nama adiknya dari imigrasi di Merak, Jawa Barat. Berkat paspor itu Yasin terbang ke Singapura, melalui Bandara Soekamo-Hatta. Sebab itu, "Kami sekarang mengusut petugas imigrasi Merak," ujar Margono. Menurut Margono, tim kejaksaan juga sudah beberapa kali mencari Yasin di Singapura. Tapi itulah, mereka selalu pulang dengan tangan kosong. Karenanya, "Kami juga meminta bantuan Interpol untuk menangkap Yasin," tambahnya. Margono, mudah-mudahan, bercanda. Sebab, siapa pun tahu bahwa tak seorang buron pun -- apalagi berkantung tebal -- pernah bisa ditangkap jika ia bermukim di Singapura. Bahkan beberapa petugas kejaksaan yang pemah bertemu Yasin di Singapura juga tak mampu membawanya pulang. Hp. S., Yudhi Soerjoatmodjo (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus