Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahan seluas lima hektare itu dikelilingi pagar tembok. Di dalamnya berdiri kukuh lima blok bangunan untuk mengurung rapat mereka yang ada di dalamnya. Itulah penjara Semenyih, yang lokasinya 45 kilometer dari Kuala Lumpur, Malaysia.
Di tempat yang disebut kamp di Semenanjung Malaysia ini, sekarang telah meringkuk sebagian perantau dari Indonesia. Mereka digaruk Polisi Diraja Malaysia dari berbagai tempat pada akhir Februari hingga pekan lalu.
Mereka yang ditahan di sana tak lain adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dianggap tak memiliki surat-surat resmi dan lengkap sebagai pekerja, yang dipersyaratkan oleh pemerintah Malaysia. Sampai akhir pekan lalu, tak seorang pun diberi izin untuk membesuk. Alasannya, para tahanan itu belum dihadapkan ke mahkamah.
Wartawan Tempo yang berkunjung ke Semenyih, Rabu pekan lalu, hanya diperbolehkan menyaksikan dari luar pagar ketika para TKI itu dikumpulkan di sebuah lapangan. Dalam susunan barisan, mereka diperiksa satu per satu. Petugas memastikan mereka pendatang asing tanpa izin.
Salah seorang dari TKI, Muhammad Nur, yang pernah ditahan di kamp Semenyih, bertutur suasana di dalam penjara dirasa benar-benar tak nyaman. TKI ilegal yang pernah mendekam di sana itu?karena tak memiliki dokumen lengkap?berujar bahwa para tahanan dipaksa hanya memakai celana pendek. Dalam soal makanan juga tampak seadanya. "Memang diberi tiga kali sehari. Tapi ikan asinnya kadang sudah berulat," katanya.
Muhammad Nur termasuk yang bernasib mujur ketimbang tahanan lainnya. Dia selamat lantaran UNHCR datang dan mendesak agar dirinya dibebaskan. Alasannya, Muhammad Nur datang ke Malaysia karena suasana politik di kampungnya di Aceh sedang tidak stabil. Sedangkan TKI lainnya diharuskan menjalani proses hukum. Menurut data yang diperoleh Tempo, di sebelas penjara yang tersebar di Malaysia, kini TKI yang ditahan jumlahnya mencapai lebih dari 1.300 orang.
Menurut catatan pemerintah Malaysia, masih ada 300 ribu TKI ilegal lainnya yang bersembunyi di berbagai tempat. Kini petugas yang tergabung dalam Operasi Tegas sedang menguber TKI ilegal ini. "Titik target razia adalah bedengan di kawasan pembinaan dan kebun kelapa sawit," kata seorang "rela" (petugas Operasi Tegas), Muhammad Azizan, kepada Tempo yang menemuinya di Pelabuhan Klang, Selangor.
Semua pendatang asing tanpa izin itu jika ditangkap dipastikan akan ditindak. "Mereka memasuki negara ini secara haram dan bekerja tanpa izin kerja yang sah," kata Menteri Keselamatan Dalam Negeri Malaysia, Dato' Azmi Khali. Bila tertangkap dan terbukti bersalah, TKI itu bisa dipenjara dan dihukum cambuk.
Pemerintah Indonesia tak bisa berbuat banyak dengan kebijakan Malaysia ini. "Namun, tentunya kami tak tinggal diam," kata Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris kepada Tempo. Pemerintah, kata Fahmi, sudah menyiapkan penasihat hukum untuk membantu proses pengadilan tenaga kerja ilegal di sana. Fahmi menyalahkan ulah perusahaan penyalur tenaga kerja nakal yang mengirim tenaga kerja ilegal. Karena itu, pemerintah mencabut izin 28 perusahaan penyalur tenaga kerja yang ada di Indonesia.
Selain itu, kata Fahmi, pemerintah akan menuntut perusahaan dan majikan yang mempekerjakan tenaga kerja yang tidak memiliki kelengkapan dokumen. "Kesalahan tidak hanya pada tenaga kerja tersebut, tetapi juga majikannya," ujarnya. Menyangkut masalah majikan nakal itu, Menteri Keselamatan Dalam Negeri Malaysia, Dato' Azmi Khali, juga sepaham dengan Fahmi.
Azmi menjelaskan para majikan ini memang mengambil kesempatan mengeksploitasi pekerja. Si majikan ini memakai TKI ilegal untuk menghindari pajak. Itu sebabnya pemerintah Malaysia berjanji menindak majikan yang memakai pekerja ilegal. Pihak TKI tentu juga sangat dirugikan, karena banyak TKI ilegal yang tidak dibayar gajinya tapi toh tak bisa berbuat banyak. "Mereka tidak berani melaporkan ke polisi karena pada saat yang sama posisi mereka juga salah," kata Azmi.
"Padahal, secara prinsip, walau apa pun statusnya, mereka adalah pekerja yang wajib dibayar upah oleh majikannya," kata Koordinator Labour Resource Centre (LRC), Khairul Anuar Zainudin, kepada Tempo di Kuala Lumpur.
Khairul, yang juga Koordinator Biro Hal Ehwal Pekerja Angkatan Muda Partai Keadilan Rakyat, menunjuk kasus pembangunan kondominium di kawasan Damansara Damai sebagai contohnya. Dua kontraktor utama, Plato Construction Sdn. Bhd. dan sub-kontraktor Sri Mega Jaya Sdn. Bhd., yang dituduh tak membayar gaji 90 TKI, telah dilaporkan ke Jabatan Tenaga Kerja Kuala Lumpur pada Senin, 28 Februari lalu.
Laporan ini disampaikan mandor proyek Damansara, Lukman bin Rifa'i. Dia didampingi Radzi Mustafa, pengacara yang ditunjuk Kedutaan Indonesia untuk urusan TKI yang ditangkap di Malaysia. Dalam laporan itu disebutkan, 90 pekerja di Damansara tak dibayar sisa gajinya selama 3 bulan kerja senilai RM 123 ribu (Rp 300 juta).
Menurut Khairul, pihak Jabatan Tenaga Kerja (JTK) yang telah menerima laporan itu berjanji memprosesnya. "Inilah pertama kali JTK menerima laporan pengaduan yang dibuat pekerja asing tanpa izin. Ini perkembangan positif," kata Khairul. Itu sebabnya, Khairul menyerukan agar semua pekerja asing tanpa izin yang mempunyai masalah gaji mengadu ke Jabatan Tenaga Kerja.
Kuasa hukum TKI, Radzi Mustafa, yakin usaha pembelaan TKI dalam kasus Damansara akan berhasil. Hanya, keberadaan Lukman yang kini di Jakarta cukup merepotkannya. Sampai akhir pekan lalu Lukman belum juga muncul di Malaysia. Padahal Jabatan Buruh Malaysia mensyaratkan Lukman harus ada di negara itu dalam proses perkara perburuhan tersebut.
Sedianya, jika Lukman berada di Malaysia, dia akan segera disumpah untuk kebenaran laporannya. "Usaha pembelaan terganjal birokrasi yang bertele-tele di Indonesia," kata pengacara jebolan Universitas Malaya itu.
Padahal perkara ini bukanlah termasuk enteng. Apalagi, pengelola proyek, Direktur Sri Mega Jaya, Dhayabaran, membantah tuduhan itu. "Saya sudah menyerahkan gaji 90 pekerja saya ke mandor yang juga TKI ilegal," katanya. Dhayabaran menduga Lukman-lah yang melarikan uang gaji para pekerja itu. Dhayabaran kini merasa di atas angin dan tak khawatir dengan gugatan pekerja itu. "Lebih baik diproses melalui jalur hukum supaya semua jelas," katanya.
Radzi sepakat persoalan ini diselesaikan secara hukum. "Untuk menilai siapa salah dan siapa betul sangat susah. Kita tunggu saja penilaian pejabat buruh dan pembicaraan di mahkamah," katanya. Sebab, menurut dia, pihak Sri Mega Jaya juga tidak pernah memberi tahu siapa yang menyerahkan uang pembayaran itu dan siapa yang menerima. "Jadi, samar-samar," katanya.
Nurlis E. Meuko, T.H. Salengke (Kuala Lumpur), dan Yuswardi A.S (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo