Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegelisahan sering melahirkan kreativitas. Juga pada Johan Silas. Awal Januari lalu, peraih The Aga Khan Award for Architecture itu datang pagi-pagi ke ruang kerjanya. Sebagai Kepala Laboratorium Permukiman dan Perumahan Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dia merasa harus berbuat sesuatu bagi korban bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh.
Kegelisahan itu disampaikan ke anggota tim laboratoriumnya. Tak lama kemudian muncullah gagasan Rumah ITS untuk Aceh (RI-A). "Ketika itu yang dipikirkan adalah rumah yang bisa dibangun siapa saja dan dapat diproduksi segera," kata Hertiarti Idajati, anggota tim Laboratorium, kepada Tempo, Rabu 2 Maret lalu.
Arsitektur muda ini lebih suka menyebut rumah itu 3S, karena serba bisa, serba guna, dan serba cepat. Paling lama satu hari rumah bisa langsung digunakan, juga dapat dikembangkan menjadi kantor, masjid, sampai pasar dan puskesmas. "Tak perlu jadi tukang kayu untuk bisa merakitnya, perempuan pun bisa," kata Hertiarti.
Rumah kayu ini dirancang kuat menahan gempa karena dibangun dengan fondasi umpak dari campuran semen dan tanah atau bata. Setiap kaki kuda-kuda juga diperkuat dengan angkur besi. "Ibaratnya, setiap kaki kuda-kuda ada sepatunya," ujarnya.
Pilihan papan kayu sebagai dinding, bukannya tembok, juga dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan guncangan gempa. "Kalau ada gempa, yang bergoyang kan kayunya. Setelah itu stabil kembali," kata Hertiarti. Selain itu, bentuk rumah beratap seng dinilai sesuai dengan kultur masyarakat Aceh.
Ada dua jenis rumah yang disiapkan, tunggal dan gandeng (kopel). Rumah tunggal berukuran 6x5 meter, lengkap dengan dapur dan kamar mandi di teras belakang. Khusus jenis kopel berukuran 12x5 meter, yang ditopang 13 kuda-kuda setiap unitnya. Untuk sebuah unit rumah jenis biasa dibutuhkan tanah 8x12 meter, sedangkan untuk rumah kopel butuh tanah 12x16 meter.
Biayanya sangat murah. Rumah tunggal Rp 14 juta dan kopel Rp 26 juta. Bermodal sumbangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan donatur lainnya, ITS akan membangun 37 rumah kopel di Calang, ibu kota Kabupaten Aceh Jaya. Lokasi ini dipilih karena kondisinya paling parah dan sulit dijangkau.
Semula tim ITS memilih Rumah Instan (RI)-A tipe 21, tapi pemerintah pusat meminta setiap rumah dibangun minimal seluas 36 meter. Pimpinan Proyek RI-A Wahyu Setyawan, mengatakan perubahan itu tidak berdampak besar. Konsep RI-A memang dapat dikembangkan menjadi beberapa varian, 5x5 meter, 6x5 meter, 7x5, sampai 8x5 meter.
Rumah ini juga disiapkan untuk tumbuh. Memperluas bangunan cukup menambah panjang bentang, tanpa mengubah struktur fondasi. Mengingat kondisi Aceh yang cukup panas, RI-A memiliki dua buah jendela, ventilasi di dekat atap dan dua buah pintu yang dapat dibuka bagian atasnya.
Pada pertengahan Februari, ITS mengirimkan 4 dosen dan 40 mahasiswa ke Aceh. Targetnya, seribu unit RI-A berdiri di atas lahan 15 hektare. Dari jumlah itu, 350 unit dari ITS dan 400 unit sumbangan Grup Jawa Pos serta Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Wahyu tidak yakin apakah ia mampu membangun 350 unit RI-A menurut target. Pasalnya, pemerintah setempat ternyata sangat antusias atas konsep rumah instan. Mereka minta bantuan warga Jawa Timur tidak sekadar berupa rumah, tapi juga kantor dinas, sekolah, dan puskesmas. Akibatnya, bantuan seribu unit rumah tahan gempa yang dijanjikan berkurang jumlahnya.
"Tapi semua bangunan kalau ditotal luasnya sama dengan seribu rumah," kata Wahyu. "Yang penting kami menghabiskan bahan saja dulu."
Bahan kayu meranti yang dipakai tim ITS memang terbatas. Semua diangkut dari Jawa Timur memakai kapal TNI AL dari jajaran Komando Armada RI Kawasan Timur. "Hanya semen yang kami ambil dari Padang, mengantisipasi kesulitan bahan baku di Aceh," kata dosen muda itu.
Saat dihubungi pada Rabu lalu lewat ponselnya, Wahyu tengah mengamati proses pembangunan kantor dinas dan sekolah. Suara palu memukul paku di kayu terdengar dari balik sambungan telepon. "Kami sedang membangun kantor dinas dan sekolah. Pembangunan rumah dimulai besok," katanya. Untuk kantor dinas, ukurannya 16x5 meter, sekolah taman kanak-kanak 5x8 meter, dan sekolah dasar 5x9 meter.
Di lapangan, banyak konsep RI-A yang harus diubah. Kontur lahan yang tajam dan banyaknya pohon kelapa tidak sesuai dengan block plan yang disiapkan. Saat Tempo berkunjung ke Desa Batee Hitam, Calang, Sabtu dua pekan lalu, belum ada satu pun RI-A yang rampung. Baru tiang-tiang kayu kerangka rumah yang berdiri tegak di antara pohon kelapa.
Ketua Tim Pelaksana RI-A, Muji Irmawan, mengakui pekerjaan ini terlambat dibandingkan dengan rencana semula. Hampir satu minggu mereka berada di sana menunggu kepastian lahan. Wahyu dan kawan-kawan, dibantu pasukan Batalion Infanteri Zeni Tempur 5 Brawijaya, bertekad tak akan menebang pohon kelapa sebatang pun. "Malah lebih indah, seperti rumah di perkebunan kelapa," ujarnya.
Sebenarnya, bukan cuma ITS yang menawarkan rumah instan sehat untuk Aceh. Ada RI-A, ada juga Risha alias Rumah Instan Sederhana Sehat produksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum. Modelnya hampir sama, gampang dibongkar-pasang, bahkan motonya "Pagi Pesan, Sore Huni". Bedanya, sistem struktur dan konstruksinya memungkinkan Risha berbentuk panggung.
Harga Risha sedikit lebih mahal, Rp 20 juta untuk tipe 36. Tapi usianya dapat mencapai 50 tahun karena komponen struktur memakai beton bertulang, diperkuat pelat baja di bagian sambungannya. Kekuatannya terhadap gempa juga telah diuji di laboratorium sampai zonasi enam.
Tak kalah dengan ITS Surabaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga menawarkan konsep serupa. Dalam situs UGM, rumah semipermanen karya Ir. Ismudiyanto dari Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur UGM itu dirancang berbentuk panggung setinggi dua meter. Luasnya 28,8 meter persegi. Lantai bawah dapat dipakai memasak, bermain, dan aktivitas sosial bersama. Rumah contohnya sudah terpasang di Stadion Harapan Bangsa sebanyak 100 unit.
Berbeda dengan konsep RI-A yang melengkapi kamar mandi ke rumah induk, konsep rumah tahan gempa UGM lebih difokuskan membentuk lingkungan permukiman lengkap dengan meunasah, tempat mandi-cuci-kakus, serta ruang bersama untuk pengobatan, gudang logistik dan dapur umum. Rencananya, UGM akan membuat 372 rumah pada tahap awal. Harga satuannya hanya sekitar Rp 8 juta dan berdiri dalam waktu enam jam.
Terserah, pilih yang mana. Semuanya serba cepat, dan harga terjangkau. Struktur tahan gempanya cocok pula untuk kondisi alam Aceh dan Sumatera Utara yang berada di zonasi gempa 4-5.
Tjandra Dewi/Jojo Raharjo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo