Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengaku Korupsi demi Kantor

Seorang bekas pegawai Komisi Yudisial dihukum lima tahun karena dituding melakukan korupsi Rp 4,19 miliar. Dia menyebutkan para atasannya ikut bertanggung jawab.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagar hitam setinggi sekitar dua meter itu berdiri kokoh "menjaga" rumah di Jalan Way Seputih V, Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat. Terletak di atas lahan sekitar 200 meter persegi, pemiliknya pasangan suami-istri yang sudah pensiun. Di rumah itu tinggal pula menantu dan cucu mereka.

Dikenal sebagai warga yang ramah, sang empunya rumah dalam beberapa bulan terakhir ini mengurangi pergaulan sosialnya. Mereka memilih lebih banyak berdiam di rumah. "Kami gundah. Bahkan menantu saya berhenti bekerja sejak suaminya diberitakan melakukan korupsi," kata Sri Nardjo, pensiunan pegawai Kementerian Pekerjaan Umum, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Senin dua pekan lalu, anak Sri, Al Jona Al Kautsar, divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bekas anggota staf pada Subbagian Perbendaharaan Bagian Keuangan Biro Umum Sekretariat Komisi Yudisial itu dinyatakan terbukti melakukan korupsi Rp 4,19 miliar.

Sri menyebutkan tudingan kepada Al Jona janggal karena selama ini tak ada harta benda berlebihan yang dimiliki anaknya jika ia memang melakukan korupsi sebesar itu. Tiga harta milik Al Jona sudah disita, yakni sebuah mobil Toyota Innova, mobil Mini Cooper, dan sepeda motor. Menurut Sri, Innova itu adalah hasil patungan Al Jona dengan istrinya yang bekerja di bank. Adapun mobil Mini Cooper bekas Al Jona sudah menjadi milik adiknya. Mobil itu dibeli sang adik seharga Rp 30 juta.

Al Jona kini mendekam di penjara Cipinang, Jakarta Timur. Ditemui Tempo pada Selasa dua pekan lalu, ia menumpahkan unek-uneknya, merasa diperlakukan tidak adil karena hanya dirinya yang diadili. "Saya tidak sendirian," ujar pria 36 tahun itu.

Al Jona menyatakan sebenarnya ia mencatat dan menyimpan semua kuitansi dan bon pengeluaran yang berkaitan dengan markup anggaran dalam dua binder map plastik. Dokumen itu pernah disimpannya di ruang kerjanya di lantai tiga kantor Komisi Yudisial. "Tapi dokumen itu hilang," katanya.

Adik Jona, Alonda Al Kautsar, pernah mendatangi kantor Komisi Yudisial, yang terletak di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, untuk mengambil data tersebut setelah Al Jona ditetapkan sebagai tersangka. Kepada Tempo, Alonda bercerita, saat ia masuk, semua dokumen itu sudah tak ada. "Mejanya sudah bersih dari segala dokumen," ucapnya.

Kuasa hukum Al Jona, Zulham Mulyadi, mengatakan kliennya hanya korban konspirasi para pejabat di Komisi Yudisial. Menurut dia, Al Jona mengaku sudah menilap uang kantornya sebesar Rp 311 juta. Uang sejumlah itu sudah dikembalikan kliennya. "Para atasannya yang terlibat seharusnya juga diperiksa," katanya.

l l l

Sekitar November 2007, para pegawai dan pimpinan Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial mengadakan pertemuan di Hotel Salak, Bogor. Pertemuan membahas berbagai persoalan, antara lain masalah keuangan Komisi.

Bagian keuangan kerap menghadapi masalah ketersediaan uang kas untuk kegiatan komisioner dan sekretariat. Dana operasional sebesar Rp 1 miliar per bulan sering tak mencukupi. Dana yang tak tersedia membuat kegiatan komisioner terhambat dan Sekretariat Jenderal pun menjadi sasaran keluhan.

Ketika acara makan malam, menurut Al Jona, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial saat itu, Muzajjin Machbub, meminta bagian keuangan mencari dana taktis. "Pertemuannya informal, hanya dengan beberapa pegawai bagian keuangan," ujarnya.

Setelah pertemuan di Bogor itu, Al Jona mengaku mencari "celah" mendapatkan dana taktis. Pada 2009, dia menemukan "lubang" itu, yakni melalui anggaran uang pelayanan pemeriksaan (UPP) laporan pengaduan masyarakat dan uang layanan penanganan/penyelesaian (ULP) laporan masyarakat.

Adanya anggaran ini berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Tahun 2005. Penerima dana adalah pimpinan komisioner, staf ahli, pegawai negeri, calon pegawai negeri, dan tenaga honorer dengan jumlah yang diterima berbeda-beda. Al Jona-lah yang bertugas membuat rekapitulasi dan mendistribusikan dana ini ke pegawai.

Al Jona pun menaikkan jatah dana UPP dan ULP yang masuk ke rekeningnya. Menurut jaksa, pada 2009, Al Jona merekapitulasi anggaran UPP dan ULP yang masuk ke rekeningnya sebesar Rp 166,9 juta. Padahal, sesuai dengan golongannya (III-B), jatahnya dalam setahun hanya Rp 13,06 juta. Hal serupa ia lakukan pada 2010. Duit yang masuk ke rekening Al Jona Rp 1,15 miliar, padahal haknya hanya Rp 24 juta.

Pada 2011, anggaran ini berganti nama menjadi uang pelayanan sidang pembahasan laporan pengaduan masyarakat dan uang layanan persidangan. Al Jona melakukan penggelembungan dengan modus yang sama. Pada tahun itu dia menerima Rp 1,584 miliar, padahal seharusnya hanya Rp 26,2 juta. Kemudian, sepanjang 2012, uang yang masuk ke rekeningnya Rp 1,488 miliar. Padahal seharusnya dia hanya menerima Rp 32,9 juta. Sedangkan pada 2013, Al Jona mendapatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp 207 juta. 

Menurut Al Jona, markup selama Mei 2009-Maret 2013 dengan total Rp 4,5 miliar ini digunakan untuk kepentingan kantor. Setiap bulan, dia mengeluarkan dana khusus untuk berkoordinasi dengan pegawai dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan Direktorat Jenderal Anggaran. Dia memberikan uang sekitar Rp 20 juta per bulan untuk kelancaran pengurusan anggaran tambahan uang persediaan.

Dana markup itu, kata Al Jona, juga digunakan untuk biaya makan saat rapat atau membiayai keperluan pimpinan ketika berkunjung ke daerah. Dia juga mendistribusikan anggaran untuk pembayaran tunjangan hari raya para petugas keamanan dan kebersihan.

Al Jona menyebutkan dia juga pernah mengeluarkan Rp 50 juta untuk keperluan kampanye Muzajjin, yakni untuk membuat kaus dan spanduk. Saat itu, Muzajjin maju menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah dengan daerah pemilihan Brebes dan Tegal.

Zulham Mulyadi menegaskan, mustahil Al Jona melakukan korupsi atau "memakan" uang itu sendiri. Menurut dia, dalam melakukan tugasnya, Al Jona membuat rekapitulasi anggaran berdasarkan data biro kepegawaian yang dirinci berdasarkan nama pegawai, nomor rekening penerima, daftar absensi, nilai potongan, dan nominal hak pegawai setelah pemotongan. Rekapitulasi anggaran kemudian diperiksa bagian verifikasi. Jika ada kesalahan, akan dikembalikan ke Al Jona.

Nah, setelah ditandatangani bagian verifikasi, dana diajukan ke pejabat pembuat komitmen dan bendahara pengeluaran. Dua unit ini bertugas memeriksa kembali kebenaran dan mengeluarkan cek. Cek ditandatangani antara bendahara pengeluaran dan kuasa pengguna anggaran. "Apabila atasan melakukan fungsi pemeriksaan dengan baik, penyimpangan tak akan terjadi," kata Zulham.

Manipulasi anggaran ini sendiri baru terkuak ketika terjadi pergantian pejabat Sekretariat Jenderal di Komisi Yudisial dari Muzajjin kepada Danang Wijayanto. Saat itu, Danang menemukan adanya markup sebesar Rp 200 juta yang dibuat Al Jona. Lalu temuan ini merembet ke mana-mana. Tim pengendali teknis yang diperintahkan menelusuri kasus ini pun kemudian menemukan "simsalabim" permainan anggaran itu.

Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki menyatakan, sejak pertama kali kasus ini ditemukan, dia langsung memerintahkannya diusut tuntas. Pihaknya tak menemukan adanya indikasi keterlibatan pihak lain. "Kami juga tak menemukan adanya dokumen yang berisi kuitansi penggunaan anggaran itu," ujarnya.

Adapun Muzajjin membantah jika dituding pernah memerintahkan Al Jona mencari dana taktis. Dia heran terhadap munculnya tudingan itu. Sebab, menurut dia, selama diperiksa di kejaksaan dan persidangan, tak pernah ada lontaran pertanyaan ini. Sebagai pemimpin Sekretariat, ia menjamin semua biaya berasal dari pendanaan yang jelas. "Semua kegiatan sudah memiliki anggaran," katanya. Muzajjin juga membantah perihal adanya uang yang dikirim Al Jona untuk membiayai kampanyenya. Dia mengaku hanya pernah dikirim Rp 2 juta oleh Al Jona sebagai titipan kurban kambing di daerah pemilihannya.

Sejauh ini kasus itu memang hanya "melemparkan" Al Jona seorang ke bui. Sri Nardjo tetap yakin anaknya tak mungkin menilap uang miliaran rupiah itu. "Jejak" uang sebanyak itu tak terlihat pada Al Jona. "Rumah saja ia masih menumpang," ucapnya.

Yuliawati, Moyang Kasih Dewimerdeka, Dimas Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus