Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kotoran manusia dapat dengan mudah ditemukan bertebaran di hutan Leda, kawasan utara Distrik Teknaf, Kota Chittagong, di selatan Bangladesh. Hutan ini bagai kakus raksasa bagi 15 ribu pengungsi etnis Rohingya yang tinggal di sana. Mereka membuat jajaran rumah seadanya beratap plastik dan rangka bambu. Di sela-sela rumah, ada pasar kecil berisi kios penjual barang kebutuhan sehari-hari dan buah-buahan.
Menurut laporan Al Jazeera America, untuk bertahan hidup, tak sedikit di antara mereka pergi ke tengah kota lalu mengemis. Yang lain bekerja dengan status ilegal. "Kami menghadapi insiden pekerja lokal marah karena harga buruh Rohingya lebih murah," ujar Mohammad Didarul Ferdous, inspektur polisi Teknaf, seperti dikutip Al Jazeera America, Jumat dua pekan lalu. Ia juga mengeluh. "Mereka terlalu banyak mengambil kayu bakar dari bukit dan hutan, padahal semua orang bergantung pada kayu bakar di sini. Kami tidak punya gas."
Yang lebih menyakitkan, kata Dudumir Kingtaung, seorang pengungsi, mereka tak boleh mendirikan sekolah. Pengungsi Rohingya kini khawatir terhadap nasib anak-anak mereka. "Ini membuat kami miskin dan kami seperti binatang hutan. Kenapa kami tidak bisa punya satu sekolah?" ujarnya. Tak mengherankan, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut mereka pengungsi paling menderita di dunia.
Abu Tahay, Direktur Rohingya Resources Center, bercerita kembali tentang asal-usul Rohingya. Etnis keturunan Hindu-Aria ini adalah penduduk Arkhane atau Rakhine, bagian barat Myanmar. Awalnya mereka beragama Hindu, lalu memeluk Islam pada abad ke-8. "Myanmar baru merdeka dari Inggris pada 1948. Rohingya sudah ada di Arkhane jauh sebelum itu," katanya dalam Forum Perdamaian Dunia di Jakarta, 22 November lalu. Ia mengacu pada empat dokumen, yaitu Laporan Singkat Arakan oleh Charles Paton pada 1826, Sensus Inggris-Burma pada 1872, Sensus India Volume IX pada 1911, dan Laporan Imigrasi India pada 1941.
Menurut aktivis Rohingya ini, pemerintah militer Myanmar menolak keberadaan etnisnya melalui Undang-Undang Kewarganegaraan 1982. Mereka mengkategorikan Rohingya sebagai imigran ilegal karena dianggap etnis Bengali dari keturunan India atau Bangladesh. Pada 1978, sebanyak 200 ribu orang Rohingya melakukan eksodus ke Bangladesh karena tekanan pemerintah militer. Mereka diusir dari rumah dan tanahnya disita.
Serangan besar-besaran terhadap Rohingya terjadi lagi pada 2012. Ketika itu meledak kerusuhan sektarian antara Rohingya muslim dan penganut Buddha yang dipicu oleh kasus pemerkosaan dan pembunuhan perempuan. Belum jelas duduk perkara, ratusan orang Rohingya sudah terbunuh. Rumah-rumah mereka dibakar kalangan ekstremis Buddha.
Akibatnya, 100 ribu orang Rohingya kocar-kacir kabur ke negara tetangga. Mereka menggunakan perahu menuju Bangladesh, India, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Pertengahan Oktober lalu, sebanyak 10 ribu orang lagi datang di Bangladesh karena tak mau menyebut diri Bengali seperti dipaksakan pemerintah Myanmar. Kini, dari 2,8 juta warga Rohingya, hanya 1,2 juta orang yang masih di Myanmar.
Muhammad Ismail, pengungsi yang sudah setahun tinggal di Chittagong, masih ingat pelariannya lewat Sungai Naf. Mayat perempuan, anak-anak, dan orang tua mengapung di sana. "Banyak orang Rohingya meninggalkan Myanmar dengan perahu, lalu angkatan laut menyerang perahu mereka," ucap pria yang bekerja sebagai penjual telur di pasar ini. Sekitar 100 ribu orang lainnya gagal lari, terpaksa tinggal di tempat penampungan yang jorok.
Pengungsi Rohingya di luar negeri tak berarti dapat hidup aman. Permukiman pengungsi di hulu Sungai Naf, dekat Teknaf, yang membentuk perbatasan Bangladesh dan Myanmar, misalnya. Kawasan ini terkenal sebagai sarang penyelundup dan pedagang manusia sekaligus jalur perdagangan narkotik yang diproduksi di Myanmar. Baku tembak antara bandit dan polisi biasa meramaikan malam di sini.
Belum habis penderitaan mengungsi, orang Rohingya juga akan diusir pemerintah Bangladesh. Diam-diam Bangladesh berencana memulangkan 270 ribu pengungsi yang kini tinggal di kawasan pinggiran miskin. Mereka terkumpul di Chittagong, kota terbesar kedua di Bangladesh. Rata-rata mereka tinggal di Kutupalong dan Noapara di DCox's Bazar dan Bandarbans di selatan serta Distrik Khagrachhari di utara kota itu. Chittagong memang jadi tujuan utama pengungsi karena berbatasan langsung dengan Provinsi Rakhine, barat Myanmar, daerah asal etnis Rohingya.
Pemerintah Bangladesh tak mempublikasikan rencananya itu secara detail. Dalam salinan dokumen Kementerian Luar Negeri Bangladesh bertanggal 31 Maret 2014 yang diperoleh Organisasi Migrasi Internasional (IOM) tertulis Bangladesh telah menampung 200 ribu pengungsi Rohingya pada 1978 dan naik menjadi 250 ribu pada 1991. Pemerintah dan media Bangladesh juga menyebutkan pengungsi datang dengan paspor palsu dan terlibat kejahatan yang membahayakan citra Bangladesh di mata internasional. Ini seperti dituduhkan Ferdous, inspektur polisi Teknaf, bahwa etnis Rohingya terlibat penyelundupan narkotik dan aktivitas ilegal lain.
Karena itulah dalam dokumen tercantum strategi penanganan pengungsi yang telah disetujui kabinet melalui rapat rutin bersama perdana menteri pada 9 September 2013. Strategi pertama, pengungsi Rohingya akan diidentifikasi. "Pengungsi yang terdaftar akan diberi tempat tinggal sementara di tempat berbeda sambil menunggu kepulangan mereka ke Myanmar melalui jalur diplomatik," begitu tertulis dalam dokumen.
Kedua, masih menurut dokumen itu, lembaga swadaya masyarakat lokal dan Palang Merah Bangladesh akan bekerja sama dengan sejumlah pihak menyediakan kebutuhan dasar pengungsi. Di antaranya IOM, Badan Perkembangan PBB (UNDP), Badan Pangan Dunia (WFP), Yayasan Populasi Dunia (UNFPA), dan Badan Anak Dunia (UNICEF). Ketiga, perbatasan Bangladesh-Myanmar akan dipagari kawat berduri dan di Sungai Naf akan dibuat bendungan untuk patroli mencegah kedatangan lebih banyak pengungsi.
Menurut Al Jazeera America, pejabat Kementerian Luar Negeri Myanmar yang tak mau menyebutkan nama mengatakan pemerintahnya hanya akan menerima pengungsi Rohingya yang berasal dari tenda PBB. Padahal hanya 30 ribu jiwa yang mendapat status resmi pengungsi dan tinggal di kamp PBB. Mereka pun tetap tak memiliki kebebasan bergerak, apalagi memperoleh pekerjaan.
Dokumen yang sama juga memuat peraturan yang akan mengancam penduduk Bangladesh jika membantu pengungsi. "Hukum nasional akan diperbarui dan peraturan akan dikembangkan untuk mengadili pihak yang terlibat pemalsuan paspor dan sertifikat lainnya untuk membantu warga Myanmar serta menyediakan tempat tinggal bagi mereka ataupun mempekerjakan mereka secara ilegal."
Belum ada pejabat pemerintah Bangladesh yang mengakui rencana itu terang-terangan. Belum jelas pula waktu penerapannya. Namun Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina pernah menyatakan keberatannya ketika pengungsi berdatangan pada 2012. "Bangladesh sudah kelebihan penduduk. Kami tidak bisa menanggung beban (pengungsi) ini."
Rencana pemulangan pengungsi dikritik Phil Robertson, Deputi Direktur Pengamat Hak Asasi Manusia Divisi Asia. Menurut dia, pemerintah Bangladesh menipu diri sendiri karena rencana itu tak realistis. Ia yakin kecil kemungkinan etnis Rohingya mau dipulangkan ke Myanmar. "Di tengah-tengah, etnis Rohingya diperlakukan seperti bola pingpong, siap dipukul bolak-balik dan kehilangan hak-hak mereka," kata Robertson.
Dalam wawancara dengan Tempo, Matthew Smith, Direktur Eksekutif Fortify Rights, kelompok pemantau hak asasi manusia di Asia Tenggara, menyebutkan pemerintah Bangladesh mempersulit kondisi pengungsi untuk mencegah kedatangan lebih banyak lagi. Menurut dia, bantuan kemanusiaan cenderung dikontrol pemerintah Bangladesh dengan pendistribusian tak transparan. "Pengungsi mengalami krisis kesehatan dan malnutrisi," ujarnya. Di pengungsian, merebak tifus, diare, kolera, dan hepatitis B.
Hingga kini, kata Smith, yang mengkoordinasi relawan lembaganya ke Bangladesh, para pengungsi belum tahu rencana pemerintah Bangladesh mengusir mereka. "Mereka berfokus pada barang kebutuhan pokok untuk bertahan hidup."
Komite HAM Majelis Umum PBB pada 21 November lalu menyetujui resolusi yang mendesak Myanmar memberi hak kewarganegaraan bagi etnis Rohingya. "Akses terhadap kewarganegaraan penuh atas dasar kesetaraan," demikian bunyi resolusi itu. Resolusi juga meminta pemerintah Myanmar membatalkan rencana kontroversialnya terkait dengan identitas.
Sampai kini, aktivis seperti Abu Tahay terus berjuang menggalang dukungan bagi Rohingya. "Kami harap Saudara-saudara berpartisipasi dalam perjuangan kami untuk mewujudkan kehidupan bersama di Myanmar," ucapnya kepada peserta Forum Perdamaian Dunia.
Atmi Pertiwi (Al Jazeera America, The New York Times, DW)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo