Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat Tanggung Jawab Newmont

Kementerian Lingkungan Hidup menggugat PT Newmont sekitar Rp 1 triliun. Newmont akan membawa kasus ini ke meja arbitrase.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENDERANG perang antara kantor Menteri Lingkungan Hidup dan PT Newmont Minahasa Raya sudah ditabuh. Lokasi perang itu akan terjadi di ruang pengadilan Jakarta Selatan. Rabu pekan lalu, perusahaan tambang asal Amerika itu resmi digugat Kementerian Lingkungan. ?Sidangnya mungkin akan dimulai sepekan atau dua pekan mendatang,? ujar Panitera Muda Perdata Pengadilan Jakarta Selatan, Suratno, yang menerima berkas tersebut.

Inilah buntut kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat, Minahasa, yang heboh sepanjang penghujung 2004. Walau Newmont bersikeras pencemaran itu tak terjadi, kantor Lingkungan Hidup merasa memiliki fakta kuat. ?Tujuan gugatan ini untuk pemulihan lingkungan di sana,? ujar Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak Perdata Kejaksaan Agung, Santoso. Kejaksaan Agung memang akan bertindak sebagai ?wakil? kantor Lingkungan Hidup di pengadilan. Menurut pihak kejaksaan, PT Newmont diduga telah membuang limbah berbahaya yang mengakibatkan pencemaran lingkungan di Teluk Buyat.

Syahdan, 19 tahun silam Newmont mulai melakukan penambangan di Minahasa berdasarkan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia. Dalam kontrak itu, selain meminta melindungi sumber alam dan mencegah pencemaran lingkungan, pemerintah meminta perusahaan itu melakukan studi analisis dampak lingkungan (amdal) dalam setiap operasi penambangannya.

Program pengelolaan lingkungan Newmont disetujui Komisi Amdal Pusat Departemen Pertambangan dan Energi. Isi program itu meliputi, antara lain, emisi udara, pembuangan tailing (ampas tambang), dan reklamasi. Pembuangan tailing dilakukan melalui pipa yang dipasang hingga ke seputar dasar laut Teluk Buyat. Rata-rata setiap hari tailing yang dibuang perusahaan ini mencapai 5.000 kubik.

Pada April 2000, Newmont meminta izin Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) menempatkan ampas tambang mereka di bawah laut. Newmont melakukan ini karena keluar instruksi Bapedal yang menyebut setiap usaha melakukan dumping ke laut wajib mendapat izin Menteri Lingkungan Hidup. Bapedal mengabulkan permintaan perusahaan ini dengan syarat Newmont melakukan studi ecological risk assessment (ERA) untuk pembuangan tailing tersebut. Studi itu harus dirampungkan dalam enam bulan.

Awalnya semua berjalan lancar. Newmont menyusun ERA. Pada Januari 2001, dokumen itu diserahkan kepada Bapedal. Namun, selewat itu, mulailah terjadi gesekan antara Bapedal dan Newmont. Bapedal menuduh Newmont tidak memiliki itikad baik dalam memenuhi syarat pembuangan ampas tambang. Perusahaan itu disebut telah ?melemparkan? ampas tambangnya tanpa izin ke laut sejak Februari 2001 hingga perusahaan itu tutup pada Agustus silam.

Pada Juli 2004, pemerintah mengirim tim untuk memeriksa ulah Newmont itu. Anggota tim itu, antara lain, berasal dari Departemen Kesehatan, Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Polri. Sekitar sebulan di sana, tim itu mengeluarkan kesimpulan: terjadi pencemaran akibat pembuangan limbah bahan beracun berbahaya (B3) oleh Newmont.

Menurut Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak Perdata Kejaksaan Agung, Santoso, kerugian yang timbul dari pencemaran ini meliputi kerugian lingkungan, sosial ekonomi masyarakat, dan kesehatan. Newmont akan dijerat dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup. Newmont dan presiden direkturnya, Richard Bruce Ness, dituntut membayar ganti rugi materiil US$ 117 juta (sekitar Rp 1,058 triliun) dan ganti rugi imateriil Rp 150 miliar. ?Itu semua yang menghitung ada ahlinya,? kata Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar kepada Tempo.

Menurut pakar hukum lingkungan Koesnadi Hardjasoemantri, gugatan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup terhadap Newmont adalah tindakan yang sah saja. ?Ini kan untuk pemulihan lingkungan dan memang itu harus dilakukan negara,? ujarnya. Ini, katanya, lain jika menyangkut kerugian yang dialami masyarakat. ?Masyarakat sendiri yang menggugat, misalnya karena sakit akibat pencemaran,? ujarnya.

Pihak Newmont menganggap gugatan yang diajukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup itu tidak beralasan. ?Karena sampai sekarang masih ada perkara pidana yang belum selesai,? kata Luhut M. Pangaribuan, pengacara Newmont. Sebelumnya, juga berkaitan dengan kasus pencemaran ini, polisi pada November silam melakukan penahanan dan menetapkan enam pegawai perusahaan tersebut sebagai tersangka. Terhadap penahanan ini, Newmont melakukan gugatan praperadilan. Pengadilan memenangkan Newmont dan kepolisian mengajukan kasasi atas putusan tersebut.

Pengacara Newmont lainnya, Palmer Situmorang, membantah Newmont melakukan pencemaran. ?Pembuangan tailing di sana itu juga sudah izin pemerintah sendiri,? katanya. Palmer menyebut gugatan lewat pengadilan juga tidak tepat. ?Seharusnya melalui arbitrase. Kami memang akan membawa kasus ini ke arbitrase internasional,? ujarnya. ?Kami siap untuk berperang.?

Tapi, Santoso tidak sependapat jika kasus ini diselesaikan lewat arbitrase. Menurut Santoso, dasar hukum untuk kasus ini bukan porsi arbitrase. ?Arbitrase diajukan berdasarkan perjanjian antara pemerintah dengan Newmont, sedangkan gugatan perdata ini diajukan berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997,? ujar Santoso. Maka, perang antara Newmont dan pemerintah akan segera dimulai di ruang sidang.

Sukma N. Loppies, Agriceli, dan Maria Ulfah


Dari Kerusakan, Menuju Gugatan

Menurut gugatan pemerintah, inilah yang harus dibayar Newmont berdasarkan biaya pemulihan lingkungan per tahun. Berikut rinciannya:

Kerugian material:

  1. Reklamasi pantai: US$ 100.000.000 (sekitar Rp 900 miliar) Berdasarkan penghitungan, aktivitas pertambangan PT Newmont Minahasa Raya (NMR) tergolong skala besar. Dengan skala itu, total estimasi biaya pembersihan lingkungan US$ 100.000.000.
  2. Perikanan pantai: US$ 2.130.000 (Rp 19,2 miliar)
  3. Di luar perikanan: US$ 1.600.000 (Rp 14,4 miliar) Kerugian yang meliputi, antara lain, pertanian, perdagangan, dan nilai rekreasi.
  4. Penimbunan lahan bekas tambang: US$ 10.000.000 (Rp 90 miliar)
  5. Kontaminasi air tanah: US$ 8.200.000 (Rp 73,8 miliar)
  6. Ekosistem pantai: US$ 2.900.000 (Rp 26,1 miliar)
  7. Keanekaragaman hayati: US$ 1.250.000 (Rp 11,250 miliar)

Berdasarkan data hilangnya atau punahnya beberapa jenis biota benthos?biota yang hidup di air?yang sebelumnya ada di lokasi penambangan (hasil penelitian terakhir diperoleh data hilangnya 10 jenis benthos).

Total kerusakan: US$ 126.080.000 (Rp 1,134 triliun)

Community Development: US$ 8.400.000 (Rp 75,6 miliar) (Dana yang dikeluarkan Newmont selama enam tahun untuk program Community Development)

Jadi total ganti rugi material: US$ 126.080.000-US$ 8.400.000= US$ 117.680.000 (Rp 1,058 triliun)

Kerugian imaterial: Rp 150 miliar terdiri dari:

  • Rusaknya pranata sosial, antara lain munculnya rasa saling tidak percaya antar warga masyarakat.
  • Kecurigaan yang bahkan telah mengarah pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur pemerintah dalam menangani kasus-kasus pencemaran di Indonesia.
  • Ketidakpercayaan masyarakat internasional terhadap efektivitas pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus