MATI itu tidur panjang, dan bermimpilah yang indah. Itu menurut sebuah lagu. Tapi Suparmo -- bukan nama sebenarnya -- yang sakit jantung akut, di sebuah rumah sakit di Semarang, belakangan ini marah melulu. Lelaki berusia 67 tahun itu mengalami depresi. Menurut dokter, perilaku Suparmo demikian karena ia tak sembuh dan dapat mendadak meninggal. Tapi, bagi pasien yang menghadapi vonis mati, bukan hanya reaksi dalam bentuk depresi yang muncul. Sebab, ada yang menolak nasib dan pasrah. Inilah yang ditemukan Siswati, dosen Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Universitas Diponegoro, Semarang. Dengan tesis Kecemasan dalam Menghadapi Kematian, Ditinjau dari Reaksi Psikologis terhadap Penyakit Kardiovaskuler, ia menjadi sarjana utama (SU) dalam Program Studi Psikologi, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Siswati, 40 tahun, diwisuda Sabtu dua pekan lalu. Menurut Prof. Siti Rahayu Haditono dari UGM -- promotor Siswati -- penelitian dengan cara partisipasi observasi itu menghasilkan ketajaman. Penelitiannya orisinal dan belum pernah ada di dalam negeri. Ia juga belum menemukan di luar negeri penelitian seperti yang dilakukan Siswati. Untuk penelitiannya itu, Siswati mengambil 150 pasien penyakit jantung dan pembuluh darah di sebuah rumah sakit di Jawa Tengah (semua lelaki) sebagai respondennya. Ketika penelitian, ia kematian empat responden. Pilihannya terhadap pasien kardiovaskuler itu karena mereka sudah divonis dokter dengan diagnosa: tidak dapat disembuhkan, dan di ambang kematian. Selama 15 bulan Siswati meneliti mereka. Menurut Siswati, ada tahap perubahan sikap yang dialami si pasien. Ia, misalnya, berharap diagnosa dokter salah. Dan tahap berikutnya, ia marah dan menolak makan minum serta pengobatan. Contohnya Suparmo tadi. Kemudian, ada tawar-menawar, dengan harapan matinya ditunda, dan ia mendekatkan diri pada Tuhan. Tahapan berikutnya, karena tak berhasil menolak mati, ia memasuki periode depresi -- dan biasanya jadi pendiam, sedih, serta sering menangis. "Tingkah laku ini normal sebagai usaha melepaskan diri dari semua objek yang dicintainya," ujar Siswati yang ibunya meninggal karena penyakit jantung itu. Tahap selanjutnya adalah tahap menerima kematian: pasrah. Pada tahap ini pasien biasanya tenang, dapat tersenyum, damai, dan menerima kematian yang akan terjadi. Selain menemukan tahapan emosi tadi, Siswati juga mengukur tingkat kecemasan respondennya. Semua responden mengalami kecemasan yang tinggi. Namun, ada perbedaan antara kelompok orang usia lanjut dan kelompok usia madya. "Ternyata, responden usia lanjut mempunyai kecemasan lebih tinggi dalam menghadapi kematian daripada yang usia madya. Jadi, terbalik dengan dugaan saya semula," ujar Siswati. Penyebabnya bermacam-macam. Misalnya, si responden belum rela mati karena masih ingin melihat semua anaknya naik haji. Ada juga yang masih ingin hidup karena baru membangun rumah. "Ada pula yang ingin hidup karena baru kawin dengan seorang istri yang usianya lebih muda," kata Siswati. Menurut alumni Fakultas Psikologi UGM tahun 1984 ini, kebanyakan kecemasan yang tinggi timbul dari kelompok usia lanjut karena mereka punya pekerjaan yang dianggap belum selesai. Siswati juga meneliti reaksi orang usia lanjut tadi yang ia kelompokkan dalam reaksi depresi (25 orang), yang menolak nasib (25 orang), dan yang menerima nasib atau pasrah (25 orang). Ia menemukan bahwa kelompok orang yang menunjukkan reaksi mengingkari kematian merupakan kelompok yang mengalami kecemasan paling tinggi. Lalu, disusul yang menunjukkan reaksi menerima. Dan yang paling rendah tingkat kecemasannya adalah yang depresi. Dari pengamatan Siswati, kelompok usia lanjut yang menolak mati dan cemasnya paling tinggi itu bereaksi demikian karena masih merasa punya pekerjaan yang belum selesai. Lalu, yang bereaksi menerima kematian tetap punya tingkat kecemasan nomor dua tertinggi karena kecemasan menghadapi kematian tak mudah dihilangkan. Sedangkan yang terendah tingkat kecemasannya adalah kelompok yang menunjukkan reaksi depresi. Siswati menduga, menangis, marah, dan lain-lain justru menjadi katalisator yang dapat mengurangi cemas. Perilaku cemas kelompok usia lanjut hampir sama dengan kelompok 75 orang usia madya (dengan kategori yang sama): 25 orang usia madya yang bereaksi mengingkari nasib memiliki tingkat cemas paling tinggi. Hanya, alasannya berbeda. "Mereka menolak karena beranggapan masih dalam puncak prestasi, dan ingin menikmati hasil jerih payah itu," ujar Siswati. Mereka yang memiliki tingkat kecemasan kedua dari kalangan madya adalah kelompok depresi. Dan yang paling rendah tingkat kecemasannya adalah kelompok yang menerima penyakitnya -- karena lebih berkaitan dengan kepribadian yang umumnya lebih santai, bahagia, dan lainnya. Bagaimana menghadapi penderita kardiovaskuler agar bisa menerima kenyataan: mati? Siswati, sampai saat ini, hanya bisa menganjurkan: hendaknya si kerabat tahu dan bersikap simpatik terhadap si sakit. Ia juga menyarankan agar psikolog yang menangani pasien yang menjelang ajal jumlahnya ditambah dan lebih dini.Rustam F. Mandayun dan M. Faried Cahyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini