Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kasus Bapindo: bangkrutnya bank kita

Kredit bermasalah di bapindo menunjukkan rapuhnya kondisi ekonomi nasional dan citra negara. dengan kondisi sistem keuangan dan kualitas pimpinan bankhingga tingkat lembaga tinggi negara, sulit dibayangkan indonesia bisa lepas landas

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERUNGKAPNYA kasus manipulasi kredit Bapindo pada PT Golden Key Group (GK) dan jawaban pers Sudomo dan Sumarlin memberikan dua indikasi. Yakni, rapuhnya kondisi ekonomi nasional dan citra negara kita yang bak sebuah banana republic. Raibnya dokumen persetujuan Direksi Bapindo atas perubahan L/C GK secara tiba-tiba kian membuat bank itu mencerminkan buruknya moral personel maupun administrasinya. Menghilangkan dokumen bank diancam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Rangkaian kejadian itu memperkuat dugaan tentang meluasnya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kondisi sistem keuangan dan kualitas pimpinan bank hingga tingkat lembaga tinggi negara seperti itu, sulit dibayangkan Indonesia dapat lepas landas mulai 1 April 1994. Pertumbuhan ekonomi, yang direncanakan rata-rata 6,2% setahun selama Pelita VI, memerlukan investasi, dan investasi memerlukan dana. Pembelanjaan investasi kian sulit karena secara teknis bank negara bisa dikatakan sudah bangkrut. Bagaimana menghitung bahwa bank negara bangkrut? Jumlah kredit macet yang dapat ditarik kembali diasumsikan hanya Rp 8,1 triliun, atau hanya 30% dari jumlah kredit bermasalah yang Rp 26,7 triliun (US$ 13,3 miliar) itu, pada posisi September 1993. Rendahnya tingkat pengembalian kredit merupakan akibat berbagai hal: tingginya komisi untuk memperoleh kredit, mahalnya biaya pengurusan surat izin investasi proyek, adanya penggunaan kredit bagi keperluan lain, dan mahalnya biaya penarikan kembali kredit bermasalah. Bila diasumsikan rata-rata tiap bank negara memiliki jumlah modal (modal disetor, cadangan, keuntungan, dan pinjaman subordinasi) tahun 1993 sebesar Rp 1 triliun, jumlah modal kelompok bank negara (Rp 7 triliun) kurang dari separuh jumlah potensi kerugian karena kredit macetnya (Rp 18,6 triliun atau US$ 9,3 miliar). Secara makro, besarnya kredit bermasalah bank negara itu merupakan beban amat berat bagi ekonomi nasional: 10% dari PDB 1993 atau 37% dari jumlah APBN 1994-'95. Sementara itu, keadaan yang dihadapi ekonomi nasional saat ini akibat bangkrutnya bank negara, situasinya agaknya lebih sulit dari ketika terjadi krisis Pertamina (1975), maupun dampak yendaka tahun 1985-'87. Ketika pecah krisis Pertamina, harga migas masih cenderung naik, dan dunia masih takut terhadap ancaman embargo dari negara produsen. Jepang, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Dunia waktu itu masih mampu mengurangi beban pembayaran utang luar negeri Indonesia akibat yendaka dengan memberi pinjaman khusus bersyarat lunak. Dewasa ini, prospek harga migas cenderung turun,kemampuan negara donor untuk membantu Indonesia tak lagi sebesar dulu. Ini tercermin dalam Sidang CGI di Paris, Juli 1993. Pemberian pinjaman kian dikaitkan dengan faktor nonekonomis: tertib pemerintahan (governance), demokratisasi, hak asasi manusia, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Di dalam negeri, kebangkrutan bank negara menyebabkan stagnasi ekspansi kredit mereka. Stagnasi itu bersifat regresif: lebih banyak mengurangi kredit pada pengusaha menengah dan kecil. Ini akan memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Di luar negeri, dunia enggan melakukan transaksi dengan bank negara dan perusahaan nasional kita. Ini, antara lain, tercermin dari rendahnya rating perekonomian Indonesia di pasar dunia, sulitnya mendapatkan kredit, dan meningkatnya spread yang berlaku bagi perusahaan kita. Diperlukan banyak uang, energi, dan waktu untuk membangun kembali bank negara yang sudah keropos. Ini bukan sekadar masalah suntikan dana. Tanpa adanya perubahan, orientasi, organisasi, personalia, kultur perusahaan, dan cara kerja internal, suntikan dana tak akan ada manfaatnya. Jika taksiran Menteri Mar'ie bisa terwujud, yakni krisis bank negara dapat diselesaikan dalam masa Pelita VI, bolehlah kita syukuran potong kambing. Selama ini bank negara menamakan dirinya sebagai "pelaku pembangunan" -- dengan pengertian yang disalahgunakan. Yang mereka artikan sebagai pelaku pembangunan saat ini tak banyak berbeda dari kegiatan kas negara: menyalurkan dana negara pada sektor ekonomi, dan penerima yang telah diidentifikasikan oleh Pemerintah dengan syarat yang ditentukan oleh Pemerintah pula. Padahal, menurut pengertian sebenarnya, pelaku pembangunan harus memberikan sumbangan positif dalam meningkatkan: (a) mobilisasi tabungan nasional (dalam rupiah dan devisa) (b) efisiensi alokasi penggunaan faktor produksi yang amat langka dan (c) penumbuhan kewiraswastaan. Kenyataannya, tak satu pun bank negara yang telah memberikan sumbangan positif dalam ketiga aspek tersebut. Orientasi dan kultur bank negara yang birokratis perlu diubah menjadi orientasi dan kultur badan usaha komersial. Sesuai perubahan itu, standar kriteria penilaiannya juga perlu diganti: diukur berdasarkan kriteria yang berlaku bagi bank swasta, yakni berdasarkan patokan objektif yang dapat diukur dalam satuan mata uang. Juga perlu ditelusuri sumber untung- rugi usaha itu. Keuntungan yang bersumber dari kegiatan pemangsa rente, misalnya fee karena menyalurkan uang negara, bukanlah keuntungan yang menggembirakan. Sebagaimana dalam peperangan, cara menang atau kalah sama pentingnya dengan kemenangan atau kekalahan itu sendiri. Walaupun kalah dalam pertempuran di Afrika Utara pada Perang Dunia II, Jenderal Rommel tetap dihormati oleh kawan dan lawan. Adapun tugas nonkomersial seyogianya juga dapat diukur dalam satuan mata uang. Sementara perlunya perubahan struktur organisasi adalah untuk memotong kaitan bank negara dari birokrasi pemerintahan. Kasus kredit macet memberikan indikasi bahwa perubahan status hukum bank negara menjadi PT, setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, baru mengubah kulit. Bank negara belum mandiri dalam arti yang sebenarnya. Dalam keadaan seperti itu, dengan orientasi yang belum berubah, memo Sudomo, yang diperkuat oleh Sumarlin, amatlah sakti dan ikut menyeleksi nasabah di lingkungan bank negara. Sebab, direksi bank negara diangkat oleh Menteri Keuangan, dan surat keterangan dari pihak sekuriti, seperti Menko Polkam, sangat menentukan dalam pengangkatan tersebut. Boleh dianggap memo-memo itu bak "jimat". Dewasa ini, pemilihan personel pimpinan komisaris maupun eksekutif perusahaan dan bank negara mulai mengarah pada hal yang kurang sehat. Orang mendapatkan pekerjaan lebih karena pertimbangan koneksi dan kualifikasi politis daripada kemampuan profesional teknis. Perusahaan negara dijadikan sumber penerimaan nonanggaran, setidaknya sebagai suplemen gaji, bagi pejabat departemen teknis yang membawahkannya. Menjawab pertanyaan pers, Sumarlin mengatakan fungsinya sebagai Komisaris Utama Bapindo hanya terbatas pada pengawasan pelaksanaan anggaran yang telah disetujui oleh Departemen Keuangan yang dipimpinnya. Kalau memang hanya demikian, sopirnya pun sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi komisaris utama bank negara. Jawaban itu bertentangan dengan tugas dan tanggung jawab komisaris bank yang disebut dalam UU No. 7 Tahun 1992, yang dikonsepnya sendiri. Dari kasus GK, ternyata operasi Bapindo tak banyak berbeda dari PT Bank Summa. Proses seleksi nasabah sangat lemah pada kedua bank itu. Administrasi kredit dan agunannya serta pengawasan kreditnya amburadul. Keterangan Tommy Soeharto memberikan indikasi bahwa nilai buku proyek yang diagunkan oleh GK dua kali lipat dari harga pasar yang berlaku. Kelemahan juga tercermin dari kemampuan Bapindo menagih kembali pokok dan bunga kreditnya. Liberalisasi di sektor keuangan selama ini cuma menyangkut pembukaan pintu masuk pasar, dan aturan yang menyangkut kegiatan lembaga keuangan. Di pihak lain, aturan yang berhati- hati untuk memelihara kesehatan sistem keuangan itu justru diperketat. Perangkat hukum dan akuntasi merupakan bagian penting dari infrastuktur pasar. Pasar baru efisien dan mewujudkan pemerataan jika ada infrastrukturnya yang memadai. Aturan yang makin ketat tak ada artinya jika tak diimplementasikan. Implementasi aturan yang lemah dan sistem akuntansi yang tak bisa dipercayai, menyebabkan lemahnya infrastruktur pasar. Dalam kaitan ini diperlukan peningkatan kemampuan maupun ketegasan BI untuk mengadministrasikan aturan itu. Rentetan kasus kebangkrutan bank, baik sebelum maupun setelah deregulasi, menggambarkan rendahnya mutu pemeriksaan dan pengawasan bank oleh BI. Hal terakhir yang diperlukan oleh bank negara untuk memulihkan kegiatannya adalah menambah modal. Sebagaimana diuraikan di atas, karena secara teknis sudah bangkrut, bank negara tidak memenuhi syarat untuk menjual saham di bursa efek. Karena itu, tambahan modal dari sumber lain perlu diupayakan. Di bulan November 1992, Bank Dunia cuma bisa meminjami US$ 307 juta kepada Pemerintah RI, guna memperkuat modal bank-bank negara. Jumlah ini jauh di bawah modal sumbangan yang disuntikkan ke dalam PT Bank Duta sebesar US$ 350 juta, September 1990. Barangkali baru Bank Duta satu-satunya bank dalam sejarah dunia yang pernah mendapatkan modal sumbangan. Dewasa ini, inventarisasi dan penyelesaian kredit bermasalah bank negara dilakukan sendiri oleh pimpinan Departemen Keuangan dan BI, bersama direksi bank bersangkutan. Akibatnya, sering mereka pulang ke rumah di waktu sahur. Hal seperti ini tidak sehat. Seperti dalam bencana gabungan antara gempa dan kebakaran rumah, tugas seperti itu hanya menginventarisasi kerugian, menyelamatkan yang masih dapat diselamatkan, dan melihat apakah pertapakannya masih layak. Tugas pokok Menkeu dan Gubernur BI adalah menyiapkan pembangunan dalam menyongsong Pelita VI. Pimpinan bank negara harus tetap melayani nasabah yang lain, mencari uang untuk menghasilkan laba, dan mengendalikan banknya dalam menyongsong masa depan. Kian banyak waktu digunakan untuk rapat dengan DPR, menjawab pertanyaan jaksa penyidik, dan menghindari kejaran wartawan, kian sedikit waktu tersisa untuk berusaha. Padahal tugas pengendalian ekonomi dan komersial tak bisa didelegasikan ataupun dikontrakkan pada orang lain. Sebaiknya, tugas untuk menyelesaikan kredit bermasalah bank negara diserahkan pada suatu badan khusus, swasta atau pemerintah, atau campuran keduanya. Badan ini menginventarisasi kredit bermasalah, menagih, dan memperkarakan, dan menjual agunannya. Sebab terbatasnya tenaga profesional, anggaran, dan gaji, tugas penyelesaian kredit macet tidak cukup diserahkan kepada BPULN dan penegak hukum saja. Penyelesaian masalah itu memerlukan tenaga hukum komersial yang piawai, akuntan yang terpercaya, ahli ilmu keuangan yang cerdik, ahli penilai yang tajam, dan konsultan makro maupun sektoral yang berpengalaman. Di Cili, badan khusus yang mengambil alih kredit bermasalah dibelanjai dengan penjualan obligasi Pemerintah. Di Jepang, badan seperti itu didirikan secara patungan oleh bank-bank swasta. Di negara lain, kredit bermasalah diurus oleh bank yang bersangkutan itu sendiri. Penagihan kredit macet bank negara akan berantai dampaknya dalam Pelita VI. Pada gilirannya, ini akan menyebabkan resesi, setidaknya di berbagai sektor ekonomi terkait. Sebagian barang agunan kredit terpaksa dijual obral untuk mendapatkan uang tunai secepatnya, dan menghindari kerugian lebih besar. Harga obral jelas di bawah harga pasar dan, tergantung tingkat mark up, jauh di bawah harga buku. Salah satu korban yang sudah pasti adalah perusahaan yang bergerak dalam industri pertanahan (perumahan, perhotelan, bangunan komersial, kawasan industri, dan lapangan golf).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus